Re: [RantauNet] Selingan menjelang Jum'at
Islam Liberal, Sekularis Berkedok Muslim Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema pembaruan pemikiran Islam. Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001. Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com. Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Masudi. Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM. Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Anti Islam Kaffah Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide pembaruan Islam, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam konservatif yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat. Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis. Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. Ia menghargai rasionalitas, kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara. Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar, kata Ulil menyebut lawan tandingnya. Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah
Re: [RantauNet] Selingan menjelang Jum'at
ISLAM LIBERAL, PEMURTADAN BERLABEL ISLAMOleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz AlDakwah.com-- Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL. Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama). Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975. Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya. Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam. Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam kehidupan. Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut: Kutipan:" sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid). Tanggapan:Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi. Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh. Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari
[RantauNet] Selingan menjelang Jum'at
Assalamualakum ww Bagi yang pernah mendapat kiriman dibawah ini, maaf di dilet aja, yaa? wasalam armanbaharpiliang Gerakan Wahabi dan Perang Padri Dimaklumi bahwa Islam masuk ke Sumatera Tengah melalui pantai Barat Sumatera sejak abad 8M, hal ini dibuktikan dengan diketemukan makam tertua di Ulakan Pariaman sebagai makam Tuanku Shekh Burhanuddin (murid Shekh Abdur Rauf Singkel Aceh) Ungkapan adat yang mengatakan bahwa Syara' mendaki adat menurun diartikan bahwa Agaman Islam datang dari daerah pesisir pantai mendaki kedaerah pegunungan pedalaman Minangkabau sementara adat resam datang dari pusatnya di Istano Alam Pagaruyuang dilereng gunung Merapi menurun kepesisir Barat dan Timur Salah seorang raja Minangkabau yang terkenal dalam memajukan Islam adalah Yam Dipituan Sutan Maharajo Alif yang menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan Penyebaran Islam gelombang kedua melalui pantai Timur ke pedalaman Sumatera Tengah adalah dengan memudiki sungai2 Rokan, Kampar, Siak, Kuantan dan Batanghari terutama dimasa jayanya pemerintahan Sultan Iskandar Muda Aceh dan Kesultanan Malaka dipantai Barat Semenanjung Tanah Melayu pada abad 15 Di Makkah Seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) bersama para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan Abdul Azis Ibnu Sa'ud memimpin sebuah gerakan untuk menyadarkan kaum Muslimin dari keterlenaan sejak beberapa dekade terakhir, dikenal sebagai Gerakan Wahabi ini lebih senang disebut Kaum Muwahiddin yang konsisten dengan ajaran tauhid Islam sebagai landasan azasi yang selanjutnya melahirkan cita-cita mewujudkan gerakan yang keras yang kemudian berhasil dengan terwujudnya sebuah Pemerintahan Islam yang berdaulat yang sekarang dikenal sebagai Saudi Arabian Monarch (1921) dengan ibukotanya Riyadh Gerakan Wahabi mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikek (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piobang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Data) tiga orang muda yang baru pulang dari tanah suci tahun 1802 ini membawa oleh2 berupa faham dengan obsesi mengembalikan ajaran Islam secara murni dan konsekwen berdasarkan al Qur'an dan Hadis tanpa kompromi dengan apapun selain itu termasuk mereka2 yang bersembunyi dibalik hadis2 daif, Ijma' dan Kias yang sebenarnya tidak dibutuhkan terlebih karena dianggap hanya untuk men-cari2 pembenaran atas perbuatan atau ritual yang tidak dicontohkan Rasulullah Paham Muwahhidin (Wahabi) antara lain: (a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata, siapa saja yang menyembah selain Allah adalah musyrik (b) Umat Islam yang meminta kepada para wali, syeikh, khalifah ataupun ulama berupa safa'at, kesaktian dan kekuatan magis lainnya adalah suatu kemusyrikan (c) Menyebut2 nama Nabi, wali, ulama atau siapa saja yang dianggap keramat untuk dijadikan perantara dalam berdo'a adalah termasuk perbuatan syirik (d) Mengikuti shalat berjamaah adalah wajib, hukuman bagi yang melalaikan (e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram (f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan kemaksiatan adalah wajib (g) Umat Islam wajib hidup sederhana, segala macam kemewahan duniawi yang berlebihan diharamkan Reformasi Islam di Sumatera Tengah melalui Perang Padri diawal abad ke-19 digolongkan pada beberapa priode yaitu: (a) Priode 1809 - 1821 Priode ini adalah merupakan sweeping (razia dan pembersihan) yang dilakukan oleh Lasykar Padri terhadap Kelompok Penghulu2 Adat yang dianggap menyimpang dari syari'at Islam yang tentu saja di-ikuti dengan berbagai bentrokan maupun pertempuran2 kecil antara Lasykar Padri dan Kelompok Penghulu Adat yang merasa dirugikan (b) Priode 1821 - 1832 Priode ini adalah merupakan parang basosoh (face to face war) antara Lasykar Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu beberapa Kelompok Penghulu Adat sebagai penguasa2 politik lokal yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya yang mulai terancam oleh Gerakan Reformasi Kaum Padri (c) Priode 1832 - 1837 Priode ini adalah merupakan perjuangan total seluruh rakyat Sumatera Tengah dipelopori Ulama2 Militan dan Seluruh Penghulu2 Adat yang telah menyadari kekeliruan selama ini bersatu padu mengusir Kolonial Belanda-Kristen yang jelas2 ingin menjajah dan menyengsarakan rakyat Sesampainya di Sumatera Tengah ketiga ulama muda yang jebolan Masjidil Haram Mekah ini berpendapat bahwa masyarakat dikampung memeluk Islam hanya sebatas nama dan symbol belaka, belum sepenuhnya mengerti dan mengamalkan ajaran Islam secara benar Didaerahnya masing2 mereka mencoba memberikan fatwanya namun Haji Muhammad Arif di Sumanik mendapat tantangan hebat dari masyarakatnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau, demikan pula dengan Haji Miskin terpaksa mengungsi sementara ke Ampek Angkek, hanya Haji Abdur Rahman di Piobang yang tidak banyak mendapat halangan yang berarti Kepindahan Haji Miskin ke Ampek Angkek mendatangkan angin segar karena disini ia mendapatkan rekan2 seperjuangan seperti Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang,
Re: [RantauNet] Selingan menjelang Jum'at
pendapat Nasr Hamid Abu Zaid bahwa Al-Qur'an adalah kalam Tuhan yang diturunkan dengan bahasa manusia sesuai kondisi masyarakat pada masa Nabi. Nashr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa nalar Arab sangat digunakan untuk memahami Al-Qur'an. Teks-teks klasik atau interpretasi ulama terdahulu sangat nalar Arab, sehingga Al-Qur'an harus dipahami tidak dengan nalar Arab melainkan nalar-nalar lain, misalnya nalar Eropa, nalar Indonesia, nalar Jepang, atau mungkin nalar Amerika. Sehingga Islam dan syariah bisa dibumikan tidak mengawang-ngawang dan hanya bisa diterapkan di Arab. Islam Liberal menolak ortodhoksi. Bisa dikatakan orang-orang Islam Liberal agak menolal istilah sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam, karena cenderung bertendensi pada perebitan lanskap ekonomi dan politik. Yang ada adalah Islamic ethics (etika Islam atau akhlaq Islam) yang sangat bernuanasa tasawuf. Istilah sistem justru bernuansa kekuasaan yang akhirnya berujung pada despotisme dan tiranisme. Semua itu menurut aktivis Islam Liberal merupakan sesuatu yang profan (duniawi), sedangkan agama adalah sesuatu yang sangat ukhrowi. Peta Islam Liberal di Indonesia Peta Islam Liberal ini menyangkut kelompok-kelompok mana saja yang termasuk dalam Islam Liberal maupun kelompok lainnya. Islam Liberal dalam sebuah majalah terbitan Ibukota dilawankan dengan Islam Literal yakni Islam yang sangat tekstual dalam memahami teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadis. Islam Liberal di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa organisasi maupun jaringan. Paralel dengan Islam Liberal adalah jaringan Post tradisionalisme yang dibentuk oleh anak-anak muda NU. Post Tradisionalisme pada intinya menginginkan adanya perombakan para paradigma fiqh Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang cenderung ortodoks. Beberapa paradigma fiqh yang dinilai cenderung terlalu menghambat adalah syarat-syarat mujtahid yang harus menguasai beberapa ilmu. Sebenarnya paradigma Post Tradisionalisme adalah kembali kepada penggunaan nalar dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dan doktrin-doktrin lama. Paralel dengan gerakan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam adalah gerakan Ikhwah atau. Gerakan ini sebenarnya hanya berupa gerakan dakwah bukan gerakan pemikiran. Namun berbeda dengan gerakan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam, gerakan ini cenderung 'agak' tekstual dan menginginkan sebuah masyarakat Islam yang ketat walaupun tidak seketat Salafy Laskar Jihad. Gerakan Tarbiyyah akan sangat mungkin bertabrakan dengan Post Tradisionalisme Islam karena dua perspektif yang sangat berbeda. Anak-anak Post Tra adalah anak-anak yang sudah paham akar-akar agama. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesantren. Namun entah kenapa setelah berkenalan dengan teori-teori Barat di IAIN mereka cenderung melakukan dekonstruksi. HMI : Islam Liberal ? Ada sementara sinyalemen bahwa HMI termasuk dalam Islam Liberal dalam pemahaman keagamaan. Saya tegaskan HMI sama sekali bukan Islam Liberal melainkan ia hanyalah bertindak sebagai sebuah organisasi belaka. Di sisi lain HMI banyak sekali menampung berbagai pemikiran dari Post Tra, Islam Liberal, Ikhwah, dan bahkan Salafy. Ia hanya sebuah bentuk, yang menampung berbagai isi. Walau demikian sering kali beberapa organisasi dinisbahkan dengan sebuah aliran-aliran tertentu. Hanvitra Penulis adalah mantan Ketua bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok dan pernah jadi Ketua Departemen Penerbitan dan Jurnalistik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Depok. Pernah menulis di beberapa surat kabar - Original Message - From: Arman Bahar [EMAIL PROTECTED] To: Arman Bahar [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, June 21, 2002 6:11 AM Subject: [RantauNet] Selingan menjelang Jum'at Assalamualakum ww Bagi yang pernah mendapat kiriman dibawah ini, maaf di dilet aja, yaa? wasalam armanbaharpiliang Gerakan Wahabi dan Perang Padri Dimaklumi bahwa Islam masuk ke Sumatera Tengah melalui pantai Barat Sumatera sejak abad 8M, hal ini dibuktikan dengan diketemukan makam tertua di Ulakan Pariaman sebagai makam Tuanku Shekh Burhanuddin (murid Shekh Abdur Rauf Singkel Aceh) ---dikarek--- RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 === Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar-- subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ===