Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
Nimbrung sedikit : 1. Kalo pada masanya mungkin memang RA Kartini menjadi sosok pejuang emansipasi terutama untuk perempuan kalangan ningrat. Karena pada masa-masa itu kan perempuan jelata justru lebih bebas, mereka bertani, bercocoktanam, kepasar tapi minus pendidikan/sekolahan. Di Bali bahkan kaum perempuanlah yg bekerja di lapangan, laki2nya cuma sabung ayam sama main judi[ mohon maap, ini duluuu 150 tahunan yg lalu].Jadi para perempuan non bangsawan melakukan segala sesuatunya memang sudah seperti begitu adanya. Kebiasaan. RA Kartini membuka kesempatan bikin perempuan2 sekitarnya jadi'pinter'. Bisa baca tulis, berhitung jadi orang profesional; guru misalnya. Tidak sekedar melakukan hal-hal yg biasa. Menjadi guru menjadi tujuan bisa menyebarkan hal2 yg baru bagi masyarakat sekitarnya, begitu keinginan RA Kartini. 2. Penganugerahan tanda 'kepahlawanan' setahu saya diatur oleh negara. Berdasarkan usulan dari tokoh masyarakat. Kenapa Kartini?. Karena mungkin pada masa RI tegak, hanya beliaulah yg tampak jelas peninggalannya. Padahal banyak tokoh perempuan lain yg justru sebelum RA Kartini, bisa memajukan masyarakat sekitarnya. RA Kartini setidaknya 'mendunia'. Banyak relasinya. Ada jejak pemikirannya yg baku, meski cuma surat2. Itu kan lumrah. Zaman sekarang juga begitu. Meskipun seseorang pinter baik hati tapi ia nggak memperlihatkan kepandaiannya, nggak eksis, [nggak bikin buku, karyanya nggak dipamerkan, nggak pernah nampang di tipi, nggak bikin web, blog] ya tetap saja nggak dikenal sampai kiamat. :-) 3. Kalo baca buku biografi RA Kartini yg di tulis kerabatnya,justru pada menjelang tahun2 terakhir kepergiannya, RA Kartini malahan 'membenci Islam'- ia lebih senang menyebut dirinya menganut sinkretisme, sehubungan dengan gaya hidup bangsawan di kala itu yg senang berpoligami tapi menagatasnamakan Islam. Apalagi kemudian ia menjadi'korban' poligami. Keluh kesahnya ini juga ditulis penuh haru biru pada sahabatnya yg dianggap sebagai ibunya di Belanda. Sayangnya keluh kesah ini jarang di tampilkan/dibahas oleh para pengagum Kartini. Karena momen inilah yg dianggap sebagai ' kelemahan ' Kartini; apalagi masalah penolakan Kartini terhadap poligami. Padahal memang iya gitu loh :-) [ Kehidupan masa itu, hedonisme kaum bangsawan, tokoh agama terutama untuk urusan seks ditulis dengan indah oleh Pramoedya AT ] Salam, l.meilany Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB Kartini Bukan Pejuang Emansipasi Andi Perdana G - suaraPembaca http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini- bukan-pejuang-emansipasi?882205470 Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan). Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan. Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol' diperjuangkan oleh orang-orang feminis. Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan 'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis? Andai Kartini Masih Hidup Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkung
Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
mur-sumur gas alam di daerah Arun) menjadi gas alam dicairkan (liquefied > natural-gas, LNG) jauh lebih dikenal dari Cut Meutia. Padahal daerah Arun > ini menjadi medan tempur perlawanan gerilya Aceh terhadap Belanda pada > permulaan abad ke-20. Di daerah Arun inilah Cut Meutia syahid dalam perang > bersosoh dengan tentera Belanda rencong versus pedang, disaksikan dari atas > dahan pohon oleh Teuku Raja Sabi, putera Cut Meutia yang masih bocah. Teuku > Raja Sabi di bawah bimbingan ayah tirinya, Pang Nanggroe, meneruskan > perlawanan gerilya hingga tahun 1937. Di Arun inilah berdiri rumah panggung > Cut Meutia yang menjadi obyek wisata sejarah. Mudah-mudahan rumah panggung > itu masih berdiri hingga dewasa ini. > > Dari dunia empiris Kerajaan Aceh tersebut menunjukkan bahwa Syari'at Islam > memberikan hak yang sama, tak terkecuali hak untuk mendapatkan pendidikan, > kepada laki-laki dan perempuan, alhasil tidak ada masalah gender. > Perempuanpun dapat menjadi Panglima Angkatan Laut, pemimpin gerilya, jika ia > terdidik dan kapabel untuk itu, seperti halnya dengan Malahayati, Cut Nyak > Din dan Cut Meutia. Maka ucapan Chusnul di The Jakarta Port itu > sungguh-sungguh imajinasi. > > *** > > Firman Allah SWT (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf): > -- A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. ALMAaDt, 5:8), dibaca: I'dilu- huwa aqrabu > littaqwa- (s. alma-idah), artinya: > -- Berlaku adillah, (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. > > Dalam konteks ini publikasi informasi diperintahkan Allah SWT supaya adil > merata. Pahlawan perempuan, pendekar bangsa tidak hanya sebatas di Jawa > saja, dalam arti di samping RA Kartini yang mulia harum namanya, pendekar > bangsa, haruslah pula marak dipublikasikan pahlawan-pahlawan perempuan di > luar Jawa. Keadilan bukan hanya dalam pembagian rezeki antara pusat dengan > daerah, akan tetapi juga dalam hal martabat dan kemuliaan. WaLlahu A'lamu bi > Al Shawa-b. > > *** Makassar, 6 Mei 2001 > [H.Muh.Nur Abdurrahman] > > http://waii-hmna.blogspot.com/2001/05/473-malahayati-ra-kartini-publikasi-dan.html > - > (*) > Dalam film itu tidak muncul nama Cut Meurah Gambang, anak Cut Nyak Dhien, > yang meneruskan jihad melawan Belanda. > > > - Original Message - > From: "Floradianti Pamungkas" > > > > To: > > Sent: Wednesday, April 21, 2010 13:59 > Subject: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi > > Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB > > Kartini Bukan Pejuang Emansipasi > Andi Perdana G - suaraPembaca > > > http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini- > bukan-pejuang-emansipasi?882205470 > > Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus > untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan > tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang > diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau > bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi > perempuan). > > Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini > dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA > Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia > emansipasi > sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul > benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam > wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat > di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki > adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan. > > Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah > menyadarkan > kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah > tangga) > merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh > buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan > mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah > faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus > peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol' > diperjuangkan oleh orang-orang feminis. > > Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai > penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini > dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan > 'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang > menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap > sebagai > peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup > aurat
Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
utia yang menjadi obyek wisata sejarah. Mudah-mudahan rumah panggung itu masih berdiri hingga dewasa ini. Dari dunia empiris Kerajaan Aceh tersebut menunjukkan bahwa Syari'at Islam memberikan hak yang sama, tak terkecuali hak untuk mendapatkan pendidikan, kepada laki-laki dan perempuan, alhasil tidak ada masalah gender. Perempuanpun dapat menjadi Panglima Angkatan Laut, pemimpin gerilya, jika ia terdidik dan kapabel untuk itu, seperti halnya dengan Malahayati, Cut Nyak Din dan Cut Meutia. Maka ucapan Chusnul di The Jakarta Port itu sungguh-sungguh imajinasi. *** Firman Allah SWT (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf): -- A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. ALMAaDt, 5:8), dibaca: I'dilu- huwa aqrabu littaqwa- (s. alma-idah), artinya: -- Berlaku adillah, (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dalam konteks ini publikasi informasi diperintahkan Allah SWT supaya adil merata. Pahlawan perempuan, pendekar bangsa tidak hanya sebatas di Jawa saja, dalam arti di samping RA Kartini yang mulia harum namanya, pendekar bangsa, haruslah pula marak dipublikasikan pahlawan-pahlawan perempuan di luar Jawa. Keadilan bukan hanya dalam pembagian rezeki antara pusat dengan daerah, akan tetapi juga dalam hal martabat dan kemuliaan. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b. *** Makassar, 6 Mei 2001 [H.Muh.Nur Abdurrahman] http://waii-hmna.blogspot.com/2001/05/473-malahayati-ra-kartini-publikasi-dan.html - (*) Dalam film itu tidak muncul nama Cut Meurah Gambang, anak Cut Nyak Dhien, yang meneruskan jihad melawan Belanda. - Original Message - From: "Floradianti Pamungkas" To: Sent: Wednesday, April 21, 2010 13:59 Subject: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB Kartini Bukan Pejuang Emansipasi Andi Perdana G - suaraPembaca http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini- bukan-pejuang-emansipasi?882205470 Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan). Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan. Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol' diperjuangkan oleh orang-orang feminis. Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan 'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis? Andai Kartini Masih Hidup Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa. Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki. Tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu. Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu yaitu mengubah masyarakat. Khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan. Juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan k
[wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB Kartini Bukan Pejuang Emansipasi Andi Perdana G - suaraPembaca http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini- bukan-pejuang-emansipasi?882205470 Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan). Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan. Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol' diperjuangkan oleh orang-orang feminis. Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan 'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis? Andai Kartini Masih Hidup Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa. Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki. Tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu. Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu yaitu mengubah masyarakat. Khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan. Juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902 yang isinya, "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama." Menurut Kartini ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu. Dalam buku tersebut Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga tidak seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul keturunannya. Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah sedikit mengenal Islam. Pemikiran Kartini pun berubah, yakni ingin menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Kita dapat menyimak pada komentar kartini ketika bertanya pada gurunya, Kyai Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat Semarang, sebagai berikut: "Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun, aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al