Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi

2010-04-21 Terurut Topik Lakshmi Meilany S.
Nimbrung sedikit :
1. Kalo pada masanya mungkin memang RA Kartini menjadi sosok pejuang
emansipasi terutama untuk perempuan kalangan ningrat.
Karena pada masa-masa itu kan perempuan jelata justru lebih bebas, mereka
bertani, bercocoktanam, kepasar tapi minus pendidikan/sekolahan.  Di Bali
bahkan kaum perempuanlah yg bekerja di lapangan, laki2nya cuma sabung ayam
sama main judi[ mohon maap, ini duluuu 150 tahunan yg lalu].Jadi para
perempuan non bangsawan melakukan segala sesuatunya memang sudah seperti
begitu adanya. Kebiasaan.
RA Kartini membuka kesempatan bikin perempuan2 sekitarnya jadi'pinter'.
Bisa baca tulis, berhitung jadi orang profesional; guru misalnya. Tidak
sekedar melakukan hal-hal yg biasa. Menjadi guru menjadi tujuan bisa
menyebarkan hal2 yg baru bagi masyarakat sekitarnya, begitu keinginan RA
Kartini.

2. Penganugerahan tanda 'kepahlawanan' setahu saya diatur oleh negara.
Berdasarkan usulan dari tokoh masyarakat. Kenapa Kartini?. Karena mungkin
pada masa RI tegak, hanya beliaulah yg tampak jelas peninggalannya.
Padahal banyak tokoh perempuan lain yg justru sebelum RA Kartini, bisa
memajukan masyarakat sekitarnya.
RA Kartini setidaknya 'mendunia'. Banyak relasinya. Ada jejak pemikirannya
yg baku, meski cuma surat2.
Itu kan lumrah. Zaman sekarang juga begitu. Meskipun seseorang pinter baik
hati tapi ia nggak memperlihatkan kepandaiannya, nggak eksis, [nggak bikin
buku, karyanya nggak dipamerkan, nggak pernah nampang di tipi, nggak bikin
web, blog] ya tetap saja nggak dikenal sampai kiamat. :-)

3. Kalo baca buku biografi RA Kartini yg di tulis kerabatnya,justru pada
menjelang tahun2 terakhir kepergiannya, RA Kartini malahan 'membenci
Islam'- ia lebih senang menyebut dirinya menganut sinkretisme, sehubungan
dengan gaya hidup bangsawan di kala itu yg senang berpoligami tapi
menagatasnamakan Islam. Apalagi kemudian ia menjadi'korban' poligami.
Keluh kesahnya ini juga ditulis penuh haru biru pada sahabatnya yg
dianggap sebagai ibunya di Belanda. Sayangnya keluh kesah ini jarang di
tampilkan/dibahas oleh para pengagum Kartini. Karena momen inilah yg
dianggap sebagai ' kelemahan ' Kartini; apalagi masalah penolakan Kartini
terhadap poligami. Padahal memang iya gitu loh :-)
[ Kehidupan masa itu, hedonisme kaum bangsawan, tokoh agama terutama untuk
urusan seks ditulis dengan indah oleh Pramoedya AT ]

Salam,
l.meilany

Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB

Kartini Bukan Pejuang Emansipasi


Andi Perdana G - suaraPembaca

http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini-
bukan-pejuang-emansipasi?882205470


Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus
untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan
tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang
diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau
bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol
domestikisasi
perempuan).

Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini
dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA
Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia
emansipasi
sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19
muncul
benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam
wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang
berpusat
di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki
adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.

Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah
menyadarkan
kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah
tangga)
merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami
oleh
buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan
mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah
faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus
peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol'
diperjuangkan oleh orang-orang feminis.

Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai
penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini
dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan
'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang
menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap
sebagai
peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup
aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31)
dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan.

Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi
sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis?

Andai Kartini Masih Hidup
Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau
Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan
hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkung

Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi

2010-04-21 Terurut Topik Ari Condro
mur-sumur gas alam di daerah Arun) menjadi gas alam dicairkan (liquefied
> natural-gas, LNG) jauh lebih dikenal dari Cut Meutia. Padahal daerah Arun
> ini menjadi medan tempur perlawanan gerilya Aceh terhadap Belanda pada
> permulaan abad ke-20. Di daerah Arun inilah Cut Meutia syahid dalam perang
> bersosoh dengan tentera Belanda rencong versus pedang, disaksikan dari atas
> dahan pohon oleh Teuku Raja Sabi, putera Cut Meutia yang masih bocah. Teuku
> Raja Sabi di bawah bimbingan ayah tirinya, Pang Nanggroe, meneruskan
> perlawanan gerilya hingga tahun 1937. Di Arun inilah berdiri rumah panggung
> Cut Meutia yang menjadi obyek wisata sejarah. Mudah-mudahan rumah panggung
> itu masih berdiri hingga dewasa ini.
>
> Dari dunia empiris Kerajaan Aceh tersebut menunjukkan bahwa Syari'at Islam
> memberikan hak yang sama, tak terkecuali hak untuk mendapatkan pendidikan,
> kepada laki-laki dan perempuan, alhasil tidak ada masalah gender.
> Perempuanpun dapat menjadi Panglima Angkatan Laut, pemimpin gerilya, jika ia
> terdidik dan kapabel untuk itu, seperti halnya dengan Malahayati, Cut Nyak
> Din dan Cut Meutia. Maka ucapan Chusnul di The Jakarta Port itu
> sungguh-sungguh imajinasi.
>
> ***
>
> Firman Allah SWT (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
> -- A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. ALMAaDt, 5:8), dibaca: I'dilu- huwa aqrabu
> littaqwa- (s. alma-idah), artinya:
> -- Berlaku adillah, (adil) itu lebih dekat kepada taqwa.
>
> Dalam konteks ini publikasi informasi diperintahkan Allah SWT supaya adil
> merata. Pahlawan perempuan, pendekar bangsa tidak hanya sebatas di Jawa
> saja, dalam arti di samping RA Kartini yang mulia harum namanya, pendekar
> bangsa, haruslah pula marak dipublikasikan pahlawan-pahlawan perempuan di
> luar Jawa. Keadilan bukan hanya dalam pembagian rezeki antara pusat dengan
> daerah, akan tetapi juga dalam hal martabat dan kemuliaan. WaLlahu A'lamu bi
> Al Shawa-b.
>
> *** Makassar, 6 Mei 2001
> [H.Muh.Nur Abdurrahman]
>
> http://waii-hmna.blogspot.com/2001/05/473-malahayati-ra-kartini-publikasi-dan.html
> -
> (*)
> Dalam film itu tidak muncul nama Cut Meurah Gambang, anak Cut Nyak Dhien,
> yang meneruskan jihad melawan Belanda.
>
>
> - Original Message -
> From: "Floradianti Pamungkas" 
> 
> >
> To: >
> Sent: Wednesday, April 21, 2010 13:59
> Subject: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
>
> Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB
>
> Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
> Andi Perdana G - suaraPembaca
>
>
> http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini-
> bukan-pejuang-emansipasi?882205470
>
> Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus
> untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan
> tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang
> diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau
> bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi
> perempuan).
>
> Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini
> dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA
> Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia
> emansipasi
> sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul
> benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam
> wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat
> di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki
> adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.
>
> Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah
> menyadarkan
> kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah
> tangga)
> merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh
> buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan
> mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah
> faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus
> peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol'
> diperjuangkan oleh orang-orang feminis.
>
> Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai
> penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini
> dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan
> 'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang
> menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap
> sebagai
> peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup
> aurat

Re: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi

2010-04-21 Terurut Topik H. M. Nur Abdurahman
utia yang menjadi obyek wisata sejarah. 
Mudah-mudahan rumah panggung itu masih berdiri hingga dewasa ini.
 
Dari dunia empiris Kerajaan Aceh tersebut menunjukkan bahwa Syari'at Islam 
memberikan hak yang sama, tak terkecuali hak untuk mendapatkan pendidikan, 
kepada laki-laki dan perempuan, alhasil tidak ada masalah gender. Perempuanpun 
dapat menjadi Panglima Angkatan Laut, pemimpin gerilya, jika ia terdidik dan 
kapabel untuk itu, seperti halnya dengan Malahayati, Cut Nyak Din dan Cut 
Meutia. Maka ucapan Chusnul di The Jakarta Port itu sungguh-sungguh imajinasi.
  
***

Firman Allah SWT (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf): 
-- A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. ALMAaDt, 5:8), dibaca: I'dilu- huwa aqrabu 
littaqwa- (s. alma-idah), artinya: 
-- Berlaku adillah, (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. 

Dalam konteks ini publikasi informasi diperintahkan Allah SWT supaya adil 
merata. Pahlawan perempuan, pendekar bangsa tidak hanya sebatas di Jawa saja, 
dalam arti di samping RA Kartini yang mulia harum namanya, pendekar bangsa, 
haruslah pula marak dipublikasikan pahlawan-pahlawan perempuan di luar Jawa. 
Keadilan bukan hanya dalam pembagian rezeki antara pusat dengan daerah, akan 
tetapi juga dalam hal martabat dan kemuliaan. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 6 Mei 2001
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2001/05/473-malahayati-ra-kartini-publikasi-dan.html
-
(*)
Dalam film itu tidak muncul nama Cut Meurah Gambang, anak Cut Nyak Dhien, yang 
meneruskan jihad melawan Belanda.

- Original Message - 
From: "Floradianti Pamungkas" 
To: 
Sent: Wednesday, April 21, 2010 13:59
Subject: [wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi

Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB

Kartini Bukan Pejuang Emansipasi
Andi Perdana G - suaraPembaca

http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini-
bukan-pejuang-emansipasi?882205470

Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus
untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan
tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang
diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau
bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi
perempuan). 

Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini
dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA
Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia emansipasi
sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul
benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam
wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat
di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki
adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.

Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan
kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga)
merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh
buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan
mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah
faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus
peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol'
diperjuangkan oleh orang-orang feminis.

Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai
penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini
dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan
'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang
menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai
peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup
aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31)
dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan.

Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi
sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis?

Andai Kartini Masih Hidup
Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau
Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan
hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa.
Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama
dengan laki-laki. Tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang
mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu.

Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu yaitu mengubah
masyarakat. Khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan.
Juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham
materialisme untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan
mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan k

[wanita-muslimah] Kartini Bukan Pejuang Emansipasi

2010-04-20 Terurut Topik Floradianti Pamungkas
Rabu, 21/04/2010 08:08 WIB

Kartini Bukan Pejuang Emansipasi


Andi Perdana G - suaraPembaca

http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/04/21/080801/1342265/471/kartini-
bukan-pejuang-emansipasi?882205470


Jakarta - Tangal 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari yang khusus
untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi, sayangnya peringatan
tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang
diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau
bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi
perempuan). 

Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini
dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari keterlibatan RA
Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia emansipasi
sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat. Pada abad ke-19 muncul
benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam
wadah Women's Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita). Gerakan yang berpusat
di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki
adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan.

Pada tahun 1960 isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan
kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga)
merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh
buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystique (1963). Freidan
mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah
faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus
peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan 'getol'
diperjuangkan oleh orang-orang feminis.

Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai
penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini
dilakukan baik secara terang-terangan maupun 'malu-malu'. Tuduhan-tuduhan
'miring' yang sering dilontarkan antara lain peran domestik perempuan yang
menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai
peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup
aurat dengan memakai jilbab (QS Al-Ahzab: 59) dan kerudung (QS An-Nur: 31)
dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan.

Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi
sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis?

Andai Kartini Masih Hidup
Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau
Habis Gelap Terbitlah Terang, RA Kartini saat itu menuliskan kegelisahan
hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa.
Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama
dengan laki-laki. Tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang
mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu.

Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu yaitu mengubah
masyarakat. Khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan.
Juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham
materialisme untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan
mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya.
Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya
pada 4 oktober 1902 yang isinya,

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak
perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan
itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami
yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih
cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama."

Menurut Kartini ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini
sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas.
Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat
berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang
berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.

Dalam buku tersebut Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat
yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga
tidak seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul
keturunannya. Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan
liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun,
setelah sedikit mengenal Islam. Pemikiran Kartini pun berubah, yakni ingin
menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Kita dapat menyimak
pada komentar kartini ketika bertanya pada gurunya, Kyai Sholeh bin Umar,
seorang ulama besar dari Darat Semarang, sebagai berikut:

"Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat pertama dan induk Al Quran yang isinya begitu indah menggetarkan
sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun, aku
heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al