Re: [zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?
Israel-Palestina adalah masalah yang menyangkut banyak segi. dan bukan hanya menyangkut urusan kalah atau menang. Sebenarnya larangan mengebom rumah sakit atau sekolah juga harus diikuti dengan larangan tidak menggunakan rumah sakit atau sekolah atau area dengan radius tertentu dari gedung gedung tesebut sebagai pangkalan militer, lokasi peluncur roket dan lain lain dan ini terbukti digunakan oleh Hamas. JAdi kita tidak perlu heran akan banyaknya korban yang jatuh dari kalangan sipil karena bagi yang pernah melihat dokumenter mengenai peluru kendali pasti tahu bahwa peluru ini memburu titik panas tertentu yang dikeluarkan oleh sumber peluncur roket - nah kebetulan ditaruhnya dekat rumah sakit dan kawasan pemukiman rakyat ya kita tidak perlu heran akan banyaknya korban di pihak Palestina. Sekarang seharusnya fakta-fakta tersebut dibuka dimuka PBB dan HAMAS serta militer ISRAEL diminta pertanggungan jawabannya - pertanyaannya sekarang adalah apakah PBB berani atau tidak? salam Teddy Pada 15 Februari 2009 14:20, wirajhana eka wirajh...@gmail.com menulis: isu palestina, sekarang bukan masalah penting lagi..kalah menang bukan hal penting.rakyat telah menjadi kormab komoditi agama dan politik negarajadi siapa yang menang? siapa yang kalah? tapi mau memenangkan apa kecuali nyawa yang terkapar dimedan perang ego 2009/2/15 edogawa2000 edogawa2...@gmail.com Tulisan tidak berimbang dan nyata bahwa memang sudah ada rasa kebencian akan musuh palestina. Sayang sekali ada insan pers tidak dewasa seperti ini masuk ke dalam editorial Jawa pos yang mengklaim media berimbang dan tidak memihak. Abdul Rohim wrote: Siapa Pemenang di Gaza? Oleh Muhsin Labib * Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan Palestina secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung dan rugi. Pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang. Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai tolok ukur. *Pindah Isu* Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski sementara. Fokus pindah ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini. Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas. Asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya adalah kemenangan amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel pemenang dalam perang ini dan mencapai semua targetnya? Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa pemenang adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi menerima kekalahan terebut. Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa sedikit pun keberatan, sebagaimana dialami Iraq yang kalah pada perang 1991. Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang? Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat rakyatnya dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai syarat-syarat yang diajukan Israel. Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal yang dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan militer. Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami kekalahan militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga. Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis ke masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna mengawasi pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan dengan pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza? Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi perlawanan di dalamnya layaknya negara besar yang mengancam keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel. Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu terowongan Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak intensif dengan negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna melakukan misi ini. Maka sebenarnya, bila
Re: [zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?
Tulisan tidak berimbang dan nyata bahwa memang sudah ada rasa kebencian akan musuh palestina. Sayang sekali ada insan pers tidak dewasa seperti ini masuk ke dalam editorial Jawa pos yang mengklaim media berimbang dan tidak memihak. Abdul Rohim wrote: Siapa Pemenang di Gaza? Oleh Muhsin Labib * Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan Palestina secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung dan rugi. Pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang. Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai tolok ukur. *Pindah Isu* Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski sementara. Fokus pindah ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini. Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas. Asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya adalah kemenangan amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel pemenang dalam perang ini dan mencapai semua targetnya? Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa pemenang adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi menerima kekalahan terebut. Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa sedikit pun keberatan, sebagaimana dialami Iraq yang kalah pada perang 1991. Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang? Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat rakyatnya dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai syarat-syarat yang diajukan Israel. Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal yang dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan militer. Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami kekalahan militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga. Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis ke masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna mengawasi pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan dengan pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza? Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi perlawanan di dalamnya layaknya negara besar yang mengancam keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel. Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu terowongan Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak intensif dengan negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna melakukan misi ini. Maka sebenarnya, bila Israel adalah sang pemenang dan faksi-faksi perlawanan (dilukiskan sebagai) pecundang dan pihak yang kalah, mengapa pasukan Israel tidak tetap menduduki lintasan Shalahuddin yang dikenal dengan jalur Philadephia dan mengatasi masalah penyelundupan ini tanpa meminta bantuan kepada pihak-pihak lain? Keempat, galibnya, perang dilakukan demi meraih tujuan-tujuan politik bagi mereka yang mengambil keputusan untuk melemparkan peluru pertama dan mengerahkan tentara untuk memasuki medannya. *Tak Mengubah Dominasi* Lalu, apa tujuan politik yang diraih petinggi politik Israel dalam agresi ini? Ia sama sekali tidak mengubah dominasi dan mengganti kekuasaan Hamas di Gaza. Tidak juga mampu menghentikan tembakan roket ke arah negaranya. Tidak pula berhasil menyerahkannya kepada pejabat Palestina di Ramallah. Kelima, semestinya porsi dan kontribusi pihak yang (mengaku) menang dalam agresi ini menghiasi survei-survei dua pekan menjelang pemilu Israel 10 Februari nanti. Namun, kenyataan menunjukkan kelompok kanan Israel pimpinan Benjamin Netanyahu yang tidak ikut dalam agresi atas Gaza malah melonjak (29 kursi hingga kini). Sebaliknya, porsi Partai Kadima pimpinan Menteri Luar Negeri Livni menurun hingga 26 kursi. Sementara Ehud Barak, menteri pertahanan Israel, hanya sibuk menghitung kursi-kursi yang tersisa untuk Partai Buruh pimpinannya akibat agresi ini. Sebaliknya, saat
[zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?
Siapa Pemenang di Gaza? Oleh Muhsin Labib * Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan Palestina secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung dan rugi. Pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang. Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai tolok ukur. Pindah Isu Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski sementara. Fokus pindah ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini. Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas. Asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya adalah kemenangan amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel pemenang dalam perang ini dan mencapai semua targetnya? Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa pemenang adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi menerima kekalahan terebut. Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa sedikit pun keberatan, sebagaimana dialami Iraq yang kalah pada perang 1991. Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang? Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat rakyatnya dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai syarat-syarat yang diajukan Israel. Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal yang dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan militer. Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami kekalahan militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga. Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis ke masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna mengawasi pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan dengan pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza? Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi perlawanan di dalamnya layaknya negara besar yang mengancam keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel. Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu terowongan Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak intensif dengan negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna melakukan misi ini. Maka sebenarnya, bila Israel adalah sang pemenang dan faksi-faksi perlawanan (dilukiskan sebagai) pecundang dan pihak yang kalah, mengapa pasukan Israel tidak tetap menduduki lintasan Shalahuddin yang dikenal dengan jalur Philadephia dan mengatasi masalah penyelundupan ini tanpa meminta bantuan kepada pihak-pihak lain? Keempat, galibnya, perang dilakukan demi meraih tujuan-tujuan politik bagi mereka yang mengambil keputusan untuk melemparkan peluru pertama dan mengerahkan tentara untuk memasuki medannya. Tak Mengubah Dominasi Lalu, apa tujuan politik yang diraih petinggi politik Israel dalam agresi ini? Ia sama sekali tidak mengubah dominasi dan mengganti kekuasaan Hamas di Gaza. Tidak juga mampu menghentikan tembakan roket ke arah negaranya. Tidak pula berhasil menyerahkannya kepada pejabat Palestina di Ramallah. Kelima, semestinya porsi dan kontribusi pihak yang (mengaku) menang dalam agresi ini menghiasi survei-survei dua pekan menjelang pemilu Israel 10 Februari nanti. Namun, kenyataan menunjukkan kelompok kanan Israel pimpinan Benjamin Netanyahu yang tidak ikut dalam agresi atas Gaza malah melonjak (29 kursi hingga kini). Sebaliknya, porsi Partai Kadima pimpinan Menteri Luar Negeri Livni menurun hingga 26 kursi. Sementara Ehud Barak, menteri pertahanan Israel, hanya sibuk menghitung kursi-kursi yang tersisa untuk Partai Buruh pimpinannya akibat agresi ini. Sebaliknya, saat orang-orang Palestina sibuk menghitung jumlah korban gugur, indikator-indikator menegaskan adanya perubahan tak berarti dalam perjudian politiknya di dalam dan di luar Israel. Yang ingin menetapkan Israel sebagai pemenang adalah rezim-rezim ''poros moderat'', bukan rakyat Palestina, masyarakat dunia Islam yang menjadi