Re: [zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?

2009-02-16 Terurut Topik teddy sunardi
Israel-Palestina adalah masalah yang menyangkut banyak segi. dan bukan hanya
menyangkut urusan kalah atau menang.
Sebenarnya larangan mengebom rumah sakit atau sekolah juga harus diikuti
dengan larangan tidak menggunakan rumah sakit atau sekolah atau area
dengan radius tertentu dari gedung gedung tesebut sebagai pangkalan militer,
lokasi peluncur roket dan lain lain dan ini terbukti digunakan oleh
Hamas. JAdi kita tidak perlu heran akan banyaknya korban yang jatuh dari
kalangan sipil karena bagi yang pernah melihat dokumenter mengenai
peluru kendali pasti tahu bahwa peluru ini memburu titik panas tertentu yang
dikeluarkan oleh sumber peluncur roket - nah kebetulan ditaruhnya
dekat rumah sakit dan kawasan pemukiman rakyat ya kita tidak perlu heran
akan banyaknya korban di pihak Palestina.
Sekarang seharusnya fakta-fakta tersebut dibuka dimuka PBB dan HAMAS serta
militer ISRAEL diminta pertanggungan jawabannya - pertanyaannya
sekarang adalah apakah PBB berani atau tidak?
salam
Teddy

Pada 15 Februari 2009 14:20, wirajhana eka wirajh...@gmail.com menulis:

   isu palestina, sekarang bukan masalah penting lagi..kalah menang bukan
 hal penting.rakyat telah menjadi kormab komoditi agama dan politik
 negarajadi

 siapa yang menang? siapa yang kalah?

 tapi mau memenangkan apa kecuali nyawa yang terkapar dimedan perang ego


 2009/2/15 edogawa2000 edogawa2...@gmail.com

   Tulisan tidak berimbang dan nyata bahwa memang sudah ada rasa kebencian

 akan musuh palestina.
 Sayang sekali ada insan pers tidak dewasa seperti ini masuk ke dalam
 editorial Jawa pos yang mengklaim media berimbang dan tidak memihak.

 Abdul Rohim wrote:
 
 
  Siapa Pemenang di Gaza?
  Oleh Muhsin Labib *
 
  Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan
  Palestina secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil
  perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung
  dan rugi. Pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang.
 
  Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden
  Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan
  dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka
  kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai
  tolok ukur.
 
  *Pindah Isu*
 
  Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di
  lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski
  sementara. Fokus pindah ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah
  dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini.
 
  Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas.
  Asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya
  adalah kemenangan amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel
  pemenang dalam perang ini dan mencapai semua targetnya?
 
  Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa
  pemenang adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan
  syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi
  menerima kekalahan terebut. Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa
  sedikit pun keberatan, sebagaimana dialami Iraq yang kalah pada perang
  1991.
 
  Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses
  kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan
  handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang?
 
  Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik
  ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat
  rakyatnya dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai
  syarat-syarat yang diajukan Israel.
 
  Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal
  yang dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel
  mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh
  pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan
  militer.
 
  Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami
  kekalahan militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski
  telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga.
 
  Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis
  ke masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna
  mengawasi pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan
  dengan pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza?
 
  Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi
  perlawanan di dalamnya layaknya negara besar yang mengancam
  keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang
  bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel.
 
  Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu
  terowongan Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak
  intensif dengan negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat
  langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna
  melakukan misi ini.
 
  Maka sebenarnya, bila 

Re: [zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?

2009-02-15 Terurut Topik edogawa2000
Tulisan tidak berimbang dan nyata bahwa memang sudah ada rasa kebencian 
akan musuh palestina.
Sayang sekali ada insan pers tidak dewasa seperti ini masuk ke dalam 
editorial Jawa pos yang mengklaim media berimbang dan tidak memihak.

Abdul Rohim wrote:


 Siapa Pemenang di Gaza?
 Oleh Muhsin Labib *

 Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan 
 Palestina secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil 
 perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung 
 dan rugi. Pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang.

 Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden 
 Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan 
 dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka 
 kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai 
 tolok ukur.

 *Pindah Isu*

 Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di 
 lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski 
 sementara. Fokus pindah ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah 
 dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini.

 Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas. 
 Asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya 
 adalah kemenangan amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel 
 pemenang dalam perang ini dan mencapai semua targetnya?

 Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa 
 pemenang adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan 
 syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi 
 menerima kekalahan terebut. Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa 
 sedikit pun keberatan, sebagaimana dialami Iraq yang kalah pada perang 
 1991.

 Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses 
 kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan 
 handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang?

 Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik 
 ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat 
 rakyatnya dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai 
 syarat-syarat yang diajukan Israel.

 Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal 
 yang dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel 
 mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh 
 pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan 
 militer.

 Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami 
 kekalahan militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski 
 telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga.

 Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis 
 ke masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna 
 mengawasi pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan 
 dengan pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza?

 Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi 
 perlawanan di dalamnya layaknya negara besar yang mengancam 
 keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang 
 bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel.

 Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu 
 terowongan Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak 
 intensif dengan negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat 
 langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna 
 melakukan misi ini.

 Maka sebenarnya, bila Israel adalah sang pemenang dan faksi-faksi 
 perlawanan (dilukiskan sebagai) pecundang dan pihak yang kalah, 
 mengapa pasukan Israel tidak tetap menduduki lintasan Shalahuddin yang 
 dikenal dengan jalur Philadephia dan mengatasi masalah penyelundupan 
 ini tanpa meminta bantuan kepada pihak-pihak lain?

 Keempat, galibnya, perang dilakukan demi meraih tujuan-tujuan politik 
 bagi mereka yang mengambil keputusan untuk melemparkan peluru pertama 
 dan mengerahkan tentara untuk memasuki medannya.

 *Tak Mengubah Dominasi*

 Lalu, apa tujuan politik yang diraih petinggi politik Israel dalam 
 agresi ini? Ia sama sekali tidak mengubah dominasi dan mengganti 
 kekuasaan Hamas di Gaza. Tidak juga mampu menghentikan tembakan roket 
 ke arah negaranya. Tidak pula berhasil menyerahkannya kepada pejabat 
 Palestina di Ramallah.

 Kelima, semestinya porsi dan kontribusi pihak yang (mengaku) menang 
 dalam agresi ini menghiasi survei-survei dua pekan menjelang pemilu 
 Israel 10 Februari nanti. Namun, kenyataan menunjukkan kelompok kanan 
 Israel pimpinan Benjamin Netanyahu yang tidak ikut dalam agresi atas 
 Gaza malah melonjak (29 kursi hingga kini).

 Sebaliknya, porsi Partai Kadima pimpinan Menteri Luar Negeri Livni 
 menurun hingga 26 kursi. Sementara Ehud Barak, menteri pertahanan 
 Israel, hanya sibuk menghitung kursi-kursi yang tersisa untuk Partai 
 Buruh pimpinannya akibat agresi ini.

 Sebaliknya, saat 

[zamanku] Siapa Pemenang di Gaza?

2009-02-14 Terurut Topik Abdul Rohim


Siapa Pemenang di Gaza? 

Oleh Muhsin Labib *

Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi serta media Arab dan Palestina 
secara khusus seputar cara menentukan dan menilai hasil perang tiga pekan yang 
dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari untung dan rugi. Pendukung gerakan 
perlawanan mengaku sebagai pemenang.

Penentangnya di blok ''Arab moderat'', termasuk pejabat pro-Presiden Mahmud 
Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan dengan 
menjadikan jumlah korban luka dan meninggal serta angka kerugian material dan 
kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai tolok ukur.

Pindah Isu 

Mari kita diskusikan dengan rasional, apalagi sejumlah fakta di lapangan mulai 
muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski sementara. Fokus pindah 
ke isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah dianggarkan dan pihak manakah 
yang berhak melaksanakan tugas ini. 

Coba kita bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, Hamas. Asumsikan 
secara dialetik bahwa Hamas tak menang. Bahwa kemenangannya adalah kemenangan 
amat mahal, maka pertanyaannya, apakah Israel pemenang dalam perang ini dan 
mencapai semua targetnya?

Berbagai pengalaman pertempuran yang silam mengajarkan kita bahwa pemenang 
adalah yang mencapai target-targetnya dan memaksakan syarat-syarat untuk 
menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi menerima kekalahan terebut. 
Selanjutnya menandatangi dokumen tanpa sedikit pun keberatan, sebagaimana 
dialami Iraq yang kalah pada perang 1991.

Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses 
kepecundangan seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan handuk 
putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pemenang?

Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik ini 
dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat rakyatnya dan 
sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai syarat-syarat yang diajukan 
Israel. 

Bukan hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal yang 
dirancang Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel mengambil 
keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh pasukannya dari Gaza 
demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan militer.

Dapat dikatakan dengan tegas, Israel dalam agresi ini mengalami kekalahan 
militer sekaligus kerugian politik. Jadi pecundang, meski telah menciptakan 
kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga.

Pertama, bila Israel memang pihak yang menang, mengapa mereka mengemis ke 
masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna mengawasi 
pantai Gaza dan buru-buru menandatangani perjanjian keamanan dengan pemerintah 
AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza?

Kedua, jelas Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi perlawanan di 
dalamnya layaknya negara besar yang mengancam keamanannya, yang memiliki 
kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang bisa menjadi tantangan eksistensial 
bagi negara Israel.

Ketiga, mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu terowongan 
Rafah. Hingga kini, Tel Aviv terus melakukan kontak intensif dengan 
negara-negara besar dan Mesir demi memperkuat langkah-langkah keamanan dan 
mengimpor teknologi mutakhir guna melakukan misi ini.

Maka sebenarnya, bila Israel adalah sang pemenang dan faksi-faksi perlawanan 
(dilukiskan sebagai) pecundang dan pihak yang kalah, mengapa pasukan Israel 
tidak tetap menduduki lintasan Shalahuddin yang dikenal dengan jalur 
Philadephia dan mengatasi masalah penyelundupan ini tanpa meminta bantuan 
kepada pihak-pihak lain?

Keempat, galibnya, perang dilakukan demi meraih tujuan-tujuan politik bagi 
mereka yang mengambil keputusan untuk melemparkan peluru pertama dan 
mengerahkan tentara untuk memasuki medannya. 

Tak Mengubah Dominasi 

Lalu, apa tujuan politik yang diraih petinggi politik Israel dalam agresi ini? 
Ia sama sekali tidak mengubah dominasi dan mengganti kekuasaan Hamas di Gaza. 
Tidak juga mampu menghentikan tembakan roket ke arah negaranya. Tidak pula 
berhasil menyerahkannya kepada pejabat Palestina di Ramallah.

Kelima, semestinya porsi dan kontribusi pihak yang (mengaku) menang dalam 
agresi ini menghiasi survei-survei dua pekan menjelang pemilu Israel 10 
Februari nanti. Namun, kenyataan menunjukkan kelompok kanan Israel pimpinan 
Benjamin Netanyahu yang tidak ikut dalam agresi atas Gaza malah melonjak (29 
kursi hingga kini). 

Sebaliknya, porsi Partai Kadima pimpinan Menteri Luar Negeri Livni menurun 
hingga 26 kursi. Sementara Ehud Barak, menteri pertahanan Israel, hanya sibuk 
menghitung kursi-kursi yang tersisa untuk Partai Buruh pimpinannya akibat 
agresi ini.

Sebaliknya, saat orang-orang Palestina sibuk menghitung jumlah korban gugur, 
indikator-indikator menegaskan adanya perubahan tak berarti dalam perjudian 
politiknya di dalam dan di luar Israel. 

Yang ingin menetapkan Israel sebagai pemenang adalah rezim-rezim ''poros 
moderat'', bukan rakyat Palestina, masyarakat dunia Islam yang menjadi