From: "Tom Iljas" <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Tuntutan klita adalah REHABILITASI
Date: Mon, 6 Mar 2006 18:05:47 +0100


      Tuntutan kita adalah REHABILITASI
   
  Sehubungan dengan pembahasan RUU Kewarganegaraan RI di DPR, sebagai pengganti 
UU No. 62 Tahun 1958, Himpunan Daya Sinergi Indonesia (HIDASINDO) dalam masukan 
terbatas yang disampaikan kepada Pansus RUU Kewarganegaraan DPR RI antara lain 
menulis:
   
  ”Dalam pada itu fakta nyata dalam kehidupan menunjukkan, di satu sisi ada 
sejumlah warga negara Indonesia yang demi  keselamatan/keamanan, kelancaran dan 
kelangsungan apa yang dikerjakannya, seperti yang dilakukan sebagian 
saudara-saudara kita yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atas 
maunya sendiri memilih menjadi warga negara asing yang oleh sebab itu yang 
bersangkutan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
   
  Sementara itu di sisi yang lain kita pun melihat kenyataan adanya sejumlah 
orang lelaki maupun perempuan Indonesia yang sepanjang masa pemerintahan Orde 
Baru, oleh sebab merasa terancam keselamatannya terpaksa menerima 
kewarganegaraan negara di mana mereka menyelamatkan dirinya. Mereka adalah 
orang-orang yang dikategorikan berkaitan dengan G 30 S.
   
  Kiranya menjadi tugas dan kewajiban PANSUS RUU KEWARGANEGARAN yang tengah 
giat bekerja sekarang ini untuk merumuskan pasal baru yang BERPERIKEMANUSIAAN 
dan BERKEADILAN bagi kedua kelompok manusia yang sama-sama ingin memperoleh 
kembali status kewarganegaraan Indonesia mereka  yang hilang.”  (kursif dari 
saya)
   
  Bung MD.Kartaprawira, anggota Indonesia Legal Reform Working Group, Nederland 
dalam tulisannya berjudul ”Indonesia Siap Lakukan Revolusi UU Kewarganegaraan: 
Tanggapan” antara lain juga mengusulkan:
                                              
  ”Penulis memandang perlu adanya pasal-pasal mengenai naturalisasi bagi 
orang-orang Indonesia (bangsa Indonesia), yang pada tahun 1965/66 karena 
pandangan politik yang berbeda dengan penguasa berakibat dicabut paspornya” 
(kursif dari saya).
   
  Jauh sebelum RUU tsb dibahas di DPR sementara pakar hukum di Indonesia juga 
telah mengusulkan agar masalah ”orang-orang terhalang pulang” diselesaikan 
dengan menyelipkannya dalam  pembaruan RUU Kewarganegaraan Indonesia, dengan 
penegasan prinsip non-apatride dalam batang tubuh UU Kewarganegaraan.
   
  Pendapat saya:
   
  Tindakan Pemerintah (Orde Baru) mencabut paspor sekelompok warganegara RI 
yang sedang bertugas diluarnegeri ketika terjadinya Peristiwa 30 Sept 65 tanpa 
pengadilan manapun, yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya, 
adalah suatu tindakan sewenang-wenang, tindakan melanggar hukum. Tindakan yang 
terang salah itu harus dikoreksi dengan suatu keputusan Pemerintah pula, yaitu 
dengan mengembalikan kewarganegaraan mereka melalui rehabilitasi. (Permintaan 
maaf dari Pemerintah mungkin tak diperlukan, karena Pemerintah Indonesia tidak 
mempunyai tradisi minta maaf).
   
  Tidak saya ragukan, masukan dan usul-usul dari HIDASINDO dan Bung 
Kartaprawira seperti saya kutip diatas adalah dengan maksud-maksud baik untuk 
menyelesaikan masalah ”orang-orang terhalang pulang”. Tetapi menurut hemat saya 
penyelesaiannya bukan dengan menyelipkannya dalam RUU Kewarganegaraan, tetapi 
dengan Keputusan Pemerintah khusus mengenai masalah ini, 
  Masalah ”orang-orang terhalang pulang” bukanlah masalah keimigrasian tetapi 
adalah masalah politik. Pencabutan paspor mereka oleh Pemerintah Orde Baru 
bukanlah karena alasan-alasan keimigrasian tetapi adalah karena alasan-alasan 
politik. Karena itu penyelesaiannya tak seharusnya diselip-selipkan dalam 
pasal-pasal dan prosedur-prosedur yang mengatur naturalisasi, tetapi harus 
dengan keputusan (politik) dari Pemerintah pula.
                        Kewarganegaraan mereka dicabut dengan sewenang-wenang 
oleh Penguasa baru di Indonesia pasca G30S. Meskipun demikian tidak berarti 
mereka lalu menjadi orang asing. Seperti dipaparkan oleh Bung Kartaprawira 
dalam tulisannya tersebut diatas, ”…mereka tetap cinta tanah air, mereka setiap 
tanggal 17 Agustus merayakannya dengan penuh hikmat dan kebanggaan, juga pada 
Hari Sumpah Pemuda dan lain-lainnya. Bahkan pada tahun 2001 di Negeri Belanda 
mereka mengadakan Peringatan 100 Tahun Bung Karno secara besar-besaran selama 
dua hari, yang dikunjungi dan didukung oleh Bapak Abdul Irsan, Duta Besar RI 
untuk Kerajaan Belanda. Itu semua menunjukkan betapa kentalnya rasa kebangsaan 
mereka, meskipun mereka memegang paspor asing yang sesungguhnya dirasakan 
sangat berat. Karena tanpa paspor tersebut, mereka tidak mungkin bisa menengok 
sanak keluarganya di tanah air.”  Artinya, meskipun terpaksa memegang paspor 
negeri asing, yang dengan demikian secara lahiriah mereka adalah WNA,
  tetapi mereka tidak pernah merasa diri sebagai orang asing. Secara hakekat 
mereka tetap warga negara Indonesia. Keadaan ini dimungkinkan pula oleh 
kenyataan, bahwa pemilikan kewarganegaraan dibanyak negeri maju Eropa Barat 
tidak dikaitkan dengan loyalitas warga bersangkutan. Seorang warganegara Swedia 
umpamanya, bisa saja memberikan loyalitasnya kepada negeri lain. Loyalitas 
dinegeri ini bukanlah prasyarat untuk menjadi warganegara. Karena itu pula 
dibanyak negeri maju Eropa Barat diperbolehkan dubel bahkan multi 
kewarganegaraan. Dan karena itu pula untuk menjadi warganegara negeri-negeri 
ini tidak perlu diambil sumpah.
                                                                                
             
  Mengenai anggota-anggota GAM diluarnegeri yang juga disinggung oleh HIDASINDO 
dalam masukannya sudah mendapat penyelesaian melalui MoU Helsingki. Mereka  
mendapatkan kembali kewarganegaraan RI melalui Amnesti. Sudah ada beberapa 
orang bekas anggota GAM di Swedia yang mendapatkan kembali kewarganegaraan RI 
dan telah dilaksanakan ceremoni penyumpahan di KBRI Stockholm. Anggota-anggota 
GAM yang terang-terang memberontak untuk melepaskan diri dari RI kini bisa 
mendapatkan kembali kewarganegaraannya melalui suatu keputusan (politik) 
Pemerintah dengan memberikan Amnesti, tanpa melalui prosedur naturalisasi. 
   
  Dibandingkan dengan anggota-anggota GAM, ”orang-orang terhalang pulang” 
adalah orang-orang yang kesetiaannya kepada Republik Indonesia tidak diragukan. 
Sebagian besar dari mereka adalah mantan mahid kiriman Pemerintah Bung Karno. 
Sebelum mendapat tugas belajar keluarnegeri, mereka adalah pemuda-pemudi yang 
dibesarkan dalam alam revolusioner perjuangan fisik dan perjuangan politik 
untuk mempertahankan eksistensi Republik yang relatif masih muda itu. Sebagian 
besar dari mereka adalah pemuda-pemudi yang ikut melawan rongrongan 
PRRI/Permesta, DI/TII, ikut serta dalam kempanye perjuangan pengembalian Irian 
Barat kepangkuan Ibu Pertiwi, dsb. Mereka adalah anak-anak bangsa yang terpilih 
ketika itu untuk melakukan tugas belajar keluarnegeri. Kesetiaan mereka kepada 
Republkik Indonesia tidak bisa diragukan. Penolakan mereka terhadap kekuasaan 
komprador Orde Baru Soeharto, dengan segala konsekwensinya, adalah bukti nyata 
pula atas kesetiaan itu.
  Kecuali mantan mahid, dalam kelompok ”orang-orang terhalang pulang” itu 
terdapat pula orang-orang yang ketika pecah Peristiwa 30 Sept 65 sedang 
menjalankan tugas negara diluarnegeri atau sedang mengemban tugas dari 
organisasi-organisasi progresif Indonesia. Kebanyakan mereka adalah bekas-bekas 
pejuang. Mereka tidak hanya ikut mempertahankan eksistensinya bahkani ikut 
serta mendirikan Republik ini. Kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia 
ditunjukkan dengan mempertaruhkan batang leher.
  Apabila prosedur pengembalian kewarganegaraan mereka ini dilakukan melalui 
penyelipan pasal-pasal dalam RUU Kewarganegaraan (meskipun dipermudah seperti 
apapun), yang tentunya termasuk dalam bagian yang mengatur naturalisasi 
(keimigrasian), yang tentunya pula melalui prosedur mengajukan permohonan yang 
kemudian dipertimbangkan oleh jawatan berwenang, yang kemudian kalau memenuhi 
syarat-syarat permohonan itu diterima, dan kemudian dilaksanakan dengan 
pengambilan sumpah dihadapan pejabat KBRI setempat, saya kira kebanyakan 
”orang-orang terhalang pulang”  akan merasa berat untuk menerimanya. Kebanyakan 
pegawai Pemerintah, tak terkecuali yang bekerja di perwakilan-perwakilan 
diluarnegeri, adalah generasi yang dibesarkan dalam alam subur korupsi, kolusi 
dan nepotisme Orde Baru Soeharto. Bagi kebanyakan mereka jabatan adalah lahan 
untuk memperkaya diri, terutama lahan-lahan yang banyak airnya yang terkenal 
dengan ”jabatan basah”.  Untuk bekas-bekas anggota GAM yang jelas jemelas
 memberontak, pengambilan sumpah dihadapan pejabat demikian untuk mendapatkan 
kembali kewarganegaraannya, masih bisa diterima. Tetapi bagi ”orang-orang 
terhalang pulang”, dengan kwalifikasinya yang tersebut diatas, pengambilan 
sumpah seperti itu rasanya sangat berat untuk ditelan. Rasanya tak ada lagi 
pelecehan yang lebih dari itu.
   
  Benar seperti dikatakan oleh Bung Kartaprawira, ”Agaknya tuntutan 
Rehabilitasi merupakan barang yang terlalu mahal untuk diberikan kepada mereka 
para korban pelanggaran HAM, yang sesungguhnya negara berkewajiban 
memberikannya sesuai asas Negara Hukum dan Dasar Negara Pancasila”. Meskipun 
kita menghadapi kenyataan pahit demikian, tidak berarti kita harus melepaskan 
tuntutan  rehabilitasi. Pemerintah-pemerintah pasca lengsernya Soeharto 
berusaha memberikan imij bahwa mereka adalah Pemerintah reformasi, demokratis, 
menegakkan hukum, HAM, dsb. Selama Pemerintah menolak untuk memberikan 
rehabilitasi, menolak memulihkan hak-hak kewarganegaraan ”orang-orang terhalang 
pulang” yang dirampas secara sewenang-wenang itu, selama itu pula orang-orang 
ini menjadi bagian dari monumen hidup yang membantah imij palsu itu. Meskipun 
kita tidak ilusi, kita tetap menuntut hak-hak kita dipulihkan. Tuntutan kita 
adalah rehabilitasi, bukan naturalisasi.
   
  Tom Iljas
  Sweden, 3 Maret 2006.


  



Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






                        
---------------------------------
 Yahoo! Mail
 Use Photomail to share photos without annoying attachments.

[Non-text portions of this message have been removed]



 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Serikat-Kaum-Terkutuk/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke