Precedence: bulk hersri setiawan: Surat Awal Tahun untuk R. William Liddle Tentang desa Brosot 2 SEWUGALUR. Stasion terakhir jaringan arah baratdaya NIS di daerah Vorstenlanden. Di situ ada sebuah pabrik gula, sandaran utama rumahtangga Kadipaten Paku Alaman. Ada beberapa gedung pemukiman Belanda tuan-tuan pabrik. Ada perguruan Islam Darul 'Ulum yang, karena wataknya yang modern, lebih kondang ketimbang pondok pesantren Krapyak di ujung selatan kota Yogya. Ada lapangan yang asri milik pabrik, tapi juga menjadi tempat salat jumat yang resik. Di situ juga Jepang merasa mendapat tempat yang sesuai untuk menjajakan politik perang fasistis Asia Timur Raya dalam kemasan "perang jihad" dan "perang sabil" untuk menghancurkan si kafir Inggris-Amerika. Tidak jauh dari Sewugalur, kurang dari 1 Km ke arah Brosot, terletak kesatrian tentara Peta, Pembela Tanah Air, di bawah pimpinan Cudanco Pak Danu. Dari kompleks kesatrian inilah selalu bergema berbagai lagu mars Jepang atau Indonesia, antara lain tentu saja: Awaslah Inggris dan Amerika musuh seluruh Asia yang mau memperbudakkan kita dengan sesuka hatinya (2 kali): Inggris kita linggis Amerika kita set'rika Di tanah lapang ini juga, di jaman Jepang itu, penduduk dan anak-anak sekolah, aku termasuk, pernah dikerahkan untuk mendengarkan sesorah Pak Kaji Jabir (bukan Haji Jabir yang Wong Solo, Digulis, PKI, dan ayah Prof. Baiquni yang ahli atom itu) tentang lahirnya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tetapi wajah Desa Sewugalur belum cukup tergambar hanya melalui cerobong pabrik gula dan beduk madrasah Muhammadiyah Darul 'Ulum. Wajah Desa Sewugalur juga menampilkan sisinya yang lain dan yang justru utama: sisi kejawen. Tidak jauh dari lapangan Sewugalur itu ada rumah seorang Denmas yang "orang pandai" yang, melalui azimatnya berupa "Kaca Paesan", mempunyai daya kemampuan tembus pandang. Banyak orang datang pada Denmas ini, masing-masing dengan permasalahannya sendiri: sepeda "fongers" hilang, menderita sakit menahun, suami-istri mandul, hama menthek dan keboijo mengganas dsb dsb. Si Denmas akan membantu menemukan jawabnya tentang segala musibah dan bencana itu, dengan jalan bertanya pada Sang Kaca Paesan. Kaca Paesan itu sepertinya kaca pengilon biasa, berbentuk lonjong, tinggi lk 25 Cm dan lebar lk. 15 Cm. Tapi barangkali berkaca cembung. Maka, apabila Denmas berkaca, wajahnya dalam ukuran maksi tercermin di sana. Konon jawaban masalah itu akan terbayang di balik bola matanya semdiri, sehingga memungkinkan baginya untuk "membaca" gambar jawaban persoalan. Kalau hama menthek ganas, sesaji apa misalnya harus dibikin; kalau sepeda hilang, di mana barang itu sekarang adanya; kalau suami-istri mandul, tirakat macam apa harus dilakukan; dll. dsb. Dulu, entah kapan, di Sewugalur pernah dibuka sekolah HIS. Tapi karena kekurangan murid, sekolah itu ditutup. Murid- muridnya yang tak sebanyak jumlah jari dua belah tangan, pindah bersekolah ke kota dan "nglajo" kereta api Sewugalur - Yogya setiap hari. Ke "negara" istilah rakyat waktu itu. Berangkat pukul setengah lima pagi, dan tiba kembali menjelang senja hari. Sampai menjelang Jepang datang, yang tersisa dari HIS itu tinggal kelas persiapan, voorklas, dan yang agaknya menjadi bagian dari kegiatan Gereja Katolik. Tidak lagi di Sewugalur, tapi di Brosot dan berjalan pada sore hari di ruangan kapel, yang terletak di sebelah timur pasar. Selain klas persiapan HIS Brosot punya dua "Sekolah Desa", laki-laki dan perempuan; masing-masing dengan tiga kelas, berpengantar bahasa Jawa dan menggunakan aksara Jawa. Kemudian ada satu "Sekolah Sambungan" dengan dua kelas. Tamat dari sekolah ini, bagi yang ingin menjadi "abdidalem priyayi" harus mencari jalan magang pada priyayi, atau bagi yang tak punya akses ke sana, kembali memegang pacul ke sawah atau ladang, atau masuk "Sekolah Penghubung" ("schakel" ke HIS) bagi yang punya akses untuk menjadi "priyayi gubermen". Entah kapan tepatnya dua jenis "sekolah pribumi" itu disatukan, menjadi lima kelas dan bernama "Sekolah Ra'iat". Kemudian pernah bernama "Sekolah Rakyat" dengan enam kelas, pernah pula sebentar menjadi "Sekolah Rakyat Sempurna" dengan tujuh kelas, sampai akahirnya kembali ke enam kelas dan disebut "Sekolah Dasar" sampai sekarang. Letak sekolah itu masih tetap pada tempatnya sampai sekarang. Di antara deretan toko-toko Tionghwa (waktu itu), mulai percabangan jalan di ujung barat, sampai di depan Balai Desa, di bibir aliran Kali Progo di ujung timur. Halaman sekolah itu luas, dahulu ditanam beberapa batang pohon waru dan melinjo. Satu dua batang di antaranya sekaligus berperanan selaku "pencokan" jika murid-murid berolahraga bermain kasti. Di jaman Jepang pohon-pohon ini ditebangi, diganti pohon-pohon talok yang mendapat sebutan aneh bagi telinga desa: "kersen". Konon kabarnya diperintahkan penanamannya oleh pemerintah militer Jepang, memang karena kemiripan bentuk daun dan warna bunganya dengan pohon sakura itu. Maka penanamannya pun dilakukan dengan upacara dan memilih "saat yang baik". Tanggal 8 Februari, yang pada penanggalan tahun Syowa dicetak merah. Tanggal itu juga mempunyai nyanyian khusus, yang syairnya tak lagi kuingat, tapi dua baris pertama lagunya tersusun dari nada-nada: sol- sol-sol la-mi-mi re mi-sol-sol sol-la-mi ... sol-sol-sol la-mi- mi re-do-re re-re-mi do ... Sementara itu beredar juga di masyarakat lagu "Bunga Sakura", entah komposisi siapa, tapi mungkin salah seorang dari Keimin Bunka Shidoso: "Bunga Sakura indah jelita dipandang mata putih kemerahan tampak warnanya Sakura indah jelita ..." dst Barangkali memang begitulah. Sakura indah di musim semi di Jepang. Ketika hamparan tipis selimut salju putih di sana sini saling membelai dengan lembar lembar sinar matahari terbit. Tapi di tengah warna desa yang compang camping kecoklatan, di manakah letak keindahan kembang talok, walaupun melalui inisiasi kemiliteran, telah diubah menjadi "kersen"? Hanya pasangan-pasangan burung prenjak yang bisa "plenyar- plenyir" menyanyi bersahutan, sambil mematuki buah-buahnya yang seperti berpasir tapi manis. Kenangan tentang "kersen" imitasi sakura kembali muncul padaku suatu hari di Buru. Ketika itu awal 1974. Desa Savanajaya sudah selesai dibangun di atas Unit IV Savanajaya, yang tapol-tapol penghuninya sudah dipindah dibagi-bagi ke berbagai Unit. Sawah sudah diperluas dengan 80 Ha, ladang 35 Ha, dan 164 bubung rumah beratap seng, berbilik dua sudah siap menunggu calon pemilik yang akan segera tiba. Istri dan anak- anak tapol dari Jawa yang kena jaring propaganda dan tipudaya Bapreru baru sekitar medio 1974 mulai berdatangan. Jalan-jalan raya yang lebar, antara 6-8 meter, berpagar banjaran pohon pohon turi ungu dan putih, membelah hamparan sawah Unit IV Savanajaya. Bendungan Waibini, tumpuan pengairan sekitar 200 Ha sawah, dipercantik dengan taman bunga dan prasasti para komandan besar dan kecil penguasa-penguasa Unit, serta mendapat nama abiseka "Bendungan Ampera". Jalan utamanya, penghubung Desa Savanajaya dengan Desa Sanleko, terlalu nista untuk sekedar disebut "jalan raya". Ia mendapat sebutan yang maha ganjil: "high way", dan nama pahlawan paling terhormat di negeri Indonesia yang Majapahit Modern: Gajah Mada - Panglima Tertinggi fiktif Korps Polisi Militer. Sedang nama-nama jalan dan lorong-lorong di kompleks pedesaan itu sendiri diberi nama berbagai macam bunga: Anggrek, Mawar, Melati, Kamboja dan lain- lain. Pada suatu hari datanglah rombongan murid-murid SD Negeri Namlea datang berdarmawisata. Mereka disambut Dan Tonwal (Komandan Peleton Kawal) Sersan Mayor Anu, selaku pemandu para wisatawan cilik itu. Tiba di Waduk Waibini Pak Serma menerangkan apa itu guna waduk, dan apa itu "ampera"; tiba di Jalan Tuparev, berceritalah ia tentang siapa-siapa itu Tujuh Pahlawan Revolusi; lalu tibalah rombongan di Jalan Kemuning yang memanjang di tepi desa berbatasan dengan areal pesawahan, dan yang satu ujungnya bermuara di Gajah Mada Highway. "Anak-anak!" Seru Pak Serma. "Nah, ini namanya Jalan Kemuning. Siapa tahu, apa itu kemuning?" Pak Serma berhenti sejurus. Menunggu. Tapi tidak seorang murid pun mengacungkan tangannya. Juga Pak Guru yang memimpinnya tidak. "Kemuning itu nama pohon yang terkenal di Tanahair kita". Lanjut Pak Serma. "Khusus tumbuh di Jawa. Bunganya indah berwarna putih, dan buahnya warna merah, besar besar dan sangat manis ..." Wajah wajah rombongan anak anak itu melongo tak terduga. Seperti Teluk Kayeli yang mencoba menerka dalamnya langit. Beberapa tapol yang bekerja tak jauh dari mereka, menghindari malapetaka, tak berani tertawa. Lalu terdengar lagi bual Pak Danton. "Nah ini, anak-anak!" Telunjuknya menuding ke papan nama jalan di seberang dia berdiri. "Gajah Mada hik'eh-wei. Gajah Mada torang* semua tahu, bukan? Itu nama pahlawan bangsa. Tapi hik'eh-wei itu apa? Siapa tahu? Tidak ada?" Semua diam. "Hik'eh-wei itu jalan yang memisahkan desa dengan areal persawahan ..." Saudara Bil, Maaf dengan cerita berpanjang-panjang tentang pengubahan "talok" menjadi "kersen", dan pemaksaan simbol-simbol canggih "kemuning" dan "high way" di tengah kehidupan hutan sabana. Aku hanya ingin menekankan, bahwa sesuatu yang tidak "empan papan" bisa membawa akibat terjadinya distorsi simbol. Makna menjadi terlepas, atau bahkan lebih buruk lagi, hilang sama sekali dari simbol. Sehingga sejatinya makna itu sendiri menjadi sia-sia!*** (bersambung) _______________________________ * torang, kita orang; dialek Maluku untuk "kita". ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html