Precedence: bulk


CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 1)

---------------------------------------------------------------------------
Catatan Redaksi:
        Pada akhir November hingga awal Desember 1998, koresponden MateBEAN (dari
Jakarta) melakukan kunjungan ke Timor Timur untuk membuat sejumlah kontak 
sekaligus memantau keadaan. Selain membuat sejumlah liputan jurnalistik 
(lihat: sejumlah laporan dan wawancara MateBEAN pada Desember lalu) ia juga
membuat semacam catatan perjalanan yang ditulis dalam gaya feature. Berikut 
adalah catatan tersebut. 

Redaksi MateBEAN.-
---------------------------------------------------------------------------

        Siapa pernah menduga krisis eknomi dan penembakan mahasiswa Trisakti akan
berdampak sedemikian dahsyat hingga Soeharto yang bertahta selama 32 tahun 
terpaksa mengundurkan diri dan memilih penasehatnya di bidang teknologi 
selama ini, Habibie sebagai penggantinya. Kemustahilan ini ternyata juga 
memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan penduduk di Timor Timur. 
        Ya, kata "reformasi" sepertinya merupakan sebuah kata ajaib bagi 
sebuah kawasan yang dianeksasi oleh para jendral Soeharto pada 7 Desember 
1975.  Memasuki Bandara Komoro dengan pesawat Merpati dari Jakarta, gambaran 
tentang Dili, yang pernah saya kunjungi beberapa kali sebelumnya, sungguh 
berbeda. Suasana bandara tampak lengang. Para intel berpakaian preman yang 
biasanya berjubel mengawasi setiap pendatang tak tampak lagi. Kecuali para 
pengemudi taxi dengan tampang kuyu sibuk mencari "muatan".
        Penerbangan ke Dili yang dulunya 3 kali sehari, kini sejak krisis 
moneter menciut jadi 1 kali sehari. Itu pun tak pasti. Tepatnya dalam 
seminggu cuma ada 5 penerbangan ke dan dari Dili, ibukota Propinsi termuda 
Timor Timor yang dinyatakan terbuka sejak 1986. Situasi krisis ekonomi 
memang membuat penerbangan Jakarta - Dili yang tadinya nyaman, menurun 
drastis. Jadwal penerbangan kerap ditunda, karena pesawat baru bisa 
berangkat bila  tempat duduknya terisi penuh. Pihak maskapai tampaknya 
takut memikul kerugian yang terlalu besar. Dalam soal makanan juga begitu. 
Kualitas dan kuantitas menyurut drastis. Makanan yang disodorkan pramugari 
sesaat setelah lepas landas dari Kupang adalah makanan yang keras dan agak 
berbau tengik. Jangan heran, menunya hanya dua jenis jajanan yaitu kue wajik 
dan kue mangkok yang rasanya lebih mirip irisan sandal jepit ketimbang kue. 
Barangkali gambaran tentang reformasi dan dampak krisis ekonomi mulai tampak 
dari sini. 
        Maskapai penerbangan Sempati yang merupakan hasil KKN Tommy Soeharto 
dan pengusaha Bob Hasan telah rontok pada akhir 1997, ketika krisis rupiah 
baru saja mulai.  Maskapai ini tadinya sempat punya "base camp" di Hotel 
Turismo di Dili, menyaingi "markas" Merpati Airlines yang berkantor di Hotel 
Lesende.  Maskapai ini kabarnya juga menangguk beban utang milyaran rupiah 
pada sejumlah perusahaan pendukung layanan jasa penerbangan.
        Naik taksi dari bandara jangan membayangkan hal yang sama dengan 
bandara di kota-kota di Jawa, sebab taksi yang kita naiki tak lain adalah 
sebuah mobil Chevrolet tua warna biru muda. Taksi jenis ini, sebetulnya 
tergolong mobil apkiran, beroperasi sejak 1990. Jangan heran, kadang Anda 
bisa masuk tapi tak bisa ke luar, sebab pintunya macet dan hanya bisa dibuka 
dari luar. Itu pun harus menggunakan sedikit kekerasan. Kendaraan tersebut 
adalah kendaraan mewah di Dili. Taripnya, jauh-dekat Rp 1.500,-. Itu untuk 
turis domestik yang tahu suasana Timor Timur. Untuk turis luar negeri, 
jangan harap bisa membayar dengan harga yang sama. Diminta membayar Rp 3.000 
saja sudah untung. Rupanya warga Dili juga tahu bahwa orang kulit putih 
sedang kebanjiran uang akibat nilai rupiah yang terpuruk drastis, terendah 
di kawasan Asia.
        Dengan ongkos Rp 6.000 termasuk pajak bandara, pengemudi asli Timor 
Timur tanpa banyak bicara akan langsung mengantar Anda dari bandara ke hotel 
tujuan. "Ke mana kah? Ke Turismo kah?" begitu biasanya pertanyaan pengemudi. 
Bila kita jawab ia akan langsung terdiam. Apalagi bila tampang kita berbeda 
dengan tampang kebanyakan orang Timor Timur yang berkulit hitam dan berambut 
kriting. Sepertinya, mereka masih mencurigai orang-orang yang bertampang 
"Jawa". Perlu diketahui, kebanyakan orang Timor Timor tak bisa membedakan 
mana orang Jawa, mana Madura, mana Batak, mana Bugis, mana Toraja, mana 
Sunda. Bagi mereka semua yang berambut lurus, berkulit lebih terang, tak 
mahir berbahasa Tetun adalah "Jawa", penjajah, penindas, orang jahat atau 
"mauhu".  Barangkali hingga saat ini mereka masih mencoba mencari definisi 
tentang arti persaudaraan mereka dengan saudara mereka, orang "Jawa". 
Menyebut Katolik, kadang bisa mengikat tali persaudaraan. Meski banyak di
antara mereka juga tak menaruh kepercayaan pada orang Katolik yang jadi 
tentara.
        Namun, wajah mereka akan berubah drastis bila kita mulai melontarkan 
sejumlah pertanyaan seperti "Bagaimana keamanan di sini?", "Apa kah ABRI 
masih kejam?", "Apa kah sudah tak ada pasukan ninja lagi?", "Apa kah 
penduduk telah berani ke luar malam hari?" dan seterusnya. Mereka akan 
langsung bercerita sambung-menyambung. Sepertinya dada mereka penuh berisi 
bom, lapili dan lava yang siap ditumpahkan mirip seperti gunung meletus.  Ia 
agak heran ketika saya mengajak berbincang tentang Timor Timur. "Bapa kok 
tahu keadaan sini?" tanyanya.
        Secara perlahan ia mulai menangkap isyarat bahwa saya bukan musuh yang
perlu ia curigai. Kepada sopir yang mengantar saya, saya tanyakan keadaan anak
muda di Timor Timur saat ini,  "Apa yang dilakukan anak muda sekarang, bukan 
kah Presiden Habibie sudah memberikan lampu hijau bagi pemberiran otonomi 
khusus untuk Timor Timur?" 
        "Ah, rakyat sini ingin merdeka bapa," jawabnya pendek.  Ia bercerita 
panjang lebar tentang ketidakpercayaan orang Timor Timur pada pemerintah 
Jakarta, kepada ABRI dan juga orang Timor Timur yang menggadaikan bangsanya 
kepada Indonesia hanya demi duit dan kedudukan. "Kami ingin orang semacam 
Xanana atau Uskup Belo," katanya.
        Perbincangan begitu hangat, tak terasa jalanan aspal serta panas 
matahari yang kering dan menyengat wajah begitu singkat dilalui taksi bobrok 
yang saya tumpangi. Saya tiba di hotel di pinggir pantai yang penuh sesak 
oleh peserta seminar. Saya sengaja memilih hotel ini setiap kali datang ke 
Dili, meski sekali-kali ingin juga menginap di hotel milik tentara, Hotel
Mahkota, yang konon jadi tempat rendevouz para "mauhu" dan tentara.
        Di depan hotel saya mendapat sambutan mengagetkan. Beberapa anak 
kecil mengemis meminta uang. Baru kali ini saya lihat ada pengemis di Timor 
Timur. Berkali-kali saya berkunjung dan menjelajah sejumlah wilayah Timor 
Timur tak sekali pun pernah saya jumpai ada pengemis. Memang ada banyak 
orang miskin di Timor Timur, tapi tak satu pun ada yang jadi pengemis 
seperti saudara-saudara mereka di Jawa yang pada putus harapan. Si anak 
kecil merajuk dan mencoba mendekati saya, tapi dengan ragu-ragu. Saya 
menangkap kekikukannya akibat tak biasa mengemis. 
        Akhirnya saaya di antar memasuki kamar hotel saya. Jangan kaget, 
yang disebut hotel bintang dua, tempat saya menginap, lebih mirip kamar 
asrama mahasiswa meski berkategori "deluxe" dan ber-ac. Saya memang kali ini 
bernasib sial, kamar depan yang berpemandangan pantai telah "fully-booked" 
dan saya dapat di ruangan pojok di belakang. Tak ada lemari es sebagaimana 
tertera dalam kategori 'de luxe". Jendelanya tak bisa dibuka karena memang 
dipaku mati akibat salah satu engselnya telah rontok dimakan karat. Jadi 
kalau ingin mendapat udara segar, satu-satunya jalan adalah membuka pintunya 
lebar-lebar dan mengundang nyamuk masuk. Saya coba amat-amati sejumlah sudut 
hotel yang saya tinggali, ternyata hotel ini belum pernah mengalami renovasi 
sama sekali. Masih persis ketika saya datang pertama kali pada 1993.
        Menikmati ketidak-nyamanan hotel dan membayangkan wajah pengemis 
cilik di halaman hotel, saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan ini semua 
akibat krisis moneter "Jakarta". Apa kah semua ini juga akibat Pak Harto 
dan para kroninya salah urus dalam mengelola negara yang disenandungkan grup 
Koes Plus sebagai "tanah surga", tempat  di mana penuh dengan kolam susu dan 
tongkat yang ditancap niscaya jadi tanaman? 
        Malam saya tak bisa tidur akibat ac hotel ngadat, sementara oparator 
teknis sudah pulang. Teman saya tidur ngorok kelelahan. Mungkin akibat 
sengatan "jet lag" Jakarta-Dili, mungkin juga akibat kue mangkok bantat yang 
disantapnya di pesawat siang tadi.  Ditemani suara nyamuk, saya jadi ingat 
pada lagu anak-anak "Nyamuk" yang diplesetkan seniman Harry Roesli dan 
mencoba menyenandungkannya kembali. "Banyak nyamuk di kamarku, gara-gara 
kamu (maksud saya: Soeharto!)," begitu kata-kata itu saya ulang 
berkali-kali. Tak terasa akhinya saya tertidur juga. Rasa penat menggulung 
semua rasa penasaran dan keingintahuan saya tentang detil keadaan Timor 
Timur. (Bersambung)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke