Precedence: bulk Sleman, Indonesia 23 Desember 1998 LAPANGAN GOLF SUDWIKATMONO DAN SUKAMDANI S.GITOSARDJONO DIBANGUN DI KAWASAN TERLARANG Oleh Triatmoko Sukmo Nugroho Reporter Crash Program SLEMAN --- Kasus-kasus Lapangan Golf Merapi yang berada di bawah panji PT Merapi Golf Gelanggang Wisata, Jakarta, ternyata tak sebatas penggusuran atas nafkah penduduk setempat yang awalnya berdasarkan pertanian dan perkebunan serta tersedotnya air gara-gara proyek lapangan golf di kawasan Cangkringan, Sleman. Lapangan golf tersebut – yang sahamnya antara lain dimiliki Sudwikatmono, Sukamdani S. Gitosardjono, Yuwono Kolopaking, Mayjen (Purn) H.R. Pramono, dan lain-lain -- juga bermasalah pada keberadaan lokasinya yang ternyata dibangun di atas daerah terlarang. Dari posisi geografisnya, LGM berada di daerah bahaya bencana Gunung Merapi, selain berada di kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air hujan. Masalah serius lainnya berkaitan dengan pemakaian pupuk dan bahan kimia lain yang digunakan untuk perawatan rumput impor LGM. Pemakaian pupuk kimia ini oleh pemerhati lingkungan hidup dikhawatirkan akan mencemari dan memperburuk kualitas air tanah. Jika kualitas air tanah kawasan ini tercemar, dipastikan puluhan ribu warga akan mengonsumsi air tanah dengan kualitas buruk. Jelas hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Rusaknya ekosistem di daerah lindung seperti ini dikhawatirkan, antara lain, akan menyebabkan berubahnya fungsi hidrologi tanah, yang akan mendatangkan berbagai macam bencana, seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Dampak kasus serupa yang nyata-nyata sudah terjadi adalah datangnya banjir di daerah Bogor, Jawa Barat, akibat banyaknya bangunan vila, lapangan golf, dan perumahan yang didirikan di kawasan Puncak, Bogor, yang telah ditetapkan sebagai daerah resapan air hujan. Wuryanto, aktivis Kesatuan Aksi Rakyat Peduli Indonesia, yang kerap melakukan advokasi untuk warga lereng selatan Gunung Merapi, menyatakan bahwa proses pembebasan tanah untuk proyek ini bermasalah. "Yang digunakan untuk proyek LGM adalah tanah kas desa yang banyak digunakan sebagai tumpuan mata pencaharian warga sekitar. Sudah seharusnya sebelum dilakukan transaksi sewa, pihak perangkat pemerintah desa meminta pertimbangan atau melibatkan warga, misalnya melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Ternyata hal itu tak pernah dilakukan," paparnya. Lebih parah lagi, menurutnya, tanah desa tersebut disewa pihak LGM selama 60 tahun. "Dalam peraturan Undang-Undang Agraria, dalam kegiatan sewa menyewa tanah, tidak diperbolehkan lebih dari lima tahun," sambungnya. Nilai sewa untuk tanah tersebut dinilai Wuryanto sangat rendah, yakni sekitar Rp200 ribu per hektare per tahun. "Coba kalau itu ditanami sengon atau batunya ditambang oleh rakyat, hasilnya akan jauh lebih menyejahterakan warga," tambahnya. Sementara itu, Sofyan Eyank, aktivis lingkungan hidup Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (KAPPALA) mengatakan, pihaknya sebenarnya sangat tidak setuju dengan proyek LGM. Menurutnya, LGM dibangun di suatu kawasan lindung sebagai daerah peresapan air hujan yang tidak boleh didirikan bangunan atau dilakukan aktivitas yang akan mengubah ekosistem yang ada. Menurutnya, lokasi lereng selatan Merapi, termasuk lokasi proyek LGM, sudah ditetapkan dan dipertahankan kelestariannya sebagai kawasan resapan air. Anggota KAPPALA lain, Eko Teguh Paripurno, mengatakan bahwa keanekaragaman hayati pada suatu daerah tertentu harus selalu dipertahankan. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati. "Di antaranya adalah eksploitasi yang berlebihan, introduksi species asing, perusakan habitat, pencemaran air, dan udara, serta adanya konversi lahan alami ke pegunungan," jelas Paripurno. Keberadaan LGM Merapi, menurutnya, memenuhi beberapa kriteria di atas, yakni merusak lingkungan. "Jika dibangun LGM, kami sangat mengkhawatirkan fungsi wilayah lereng Merapi sebagai daerah resapan air hujan akan berkurang atau bahkan akan hilang sama sekali. Kalau sampai terjadi hal ini, akibatnya sangat fatal," tambahnya. Baik Eyank maupun Paripurno mengatakan, dampak negatif yang dihadapi akibat adanya LGM di lokasi daerah resapan air tersebut tidak dirasakan secara langsung atau dalam waktu singkat. Untuk jangka panjang, dampak LGM ini akan sangat merugikan warga yang berada di kawasan tersebut maupun yang berada di daerah bawahnya. Dampak nyata kedua adalah menurunnya kualitas air tanah, karena pengaruh penggunaan pestisida maupun bahan-bahan kimia untuk operasional LGM. Menanggapi hal tersebut, Ari Suseta, S.H., Kepala Bidang Lingkungan Hidup Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya, mengatakan bahwa secara khusus memang belum ada undang-undang yang melarang kawasan resapan air dan kawasan hutan lindung dilarang didirikan pembangunan. Namun demikian, dalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengenai hal itu telah diatur dengan tegas. Dalam pokok-pokok kebijaksanaan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 5/1992 disebutkan, perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mengurangi laju erosi, bencana, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga kelestarian fungsi hidrologi serta meningkatkan fungsi tanah, air tanah, dan air permukaan. Juga dikatakan, perlindungan terhadap kawasan resapan air yang terdapat di lereng Merapi dilakukan guna meningkatkan peresapan air hujan untuk keperluan penyediaan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawah maupun kawasan yang bersangkutan. Sungkan terhadap HB X Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek ini memang sudah ada. Namun, hal itu justru menjadikan tanda tanya besar: mengapa proyek yang nyata-nyata berada di daerah terlarang, amdalnya bisa lolos? Suseta yakin telah terjadi pelanggaran hukum yang serius dalam pelaksanaan proyek tersebut. "Jadi kami menduga, dalam proyek LGM tersebut telah terjadi manipulasi kajian data. khususnya amdal, yang dilakukan untuk memperoleh izin pelaksanaan dari pemerintah daerah untuk pembangunan proyek," tegasnya. Kepala Subbagian (Kasubag) Konservasi Biro Bina Lingkungan Hidup Pemda Provinsi DIY, Bambang Wahyu Indriya, membenarkan bahwa dokumen amdal untuk proyek tersebut memang sudah ada. Ia mengatakan, proses pembuatan amdalnya memang sempat mempersoalkan masalah lingkungan yang berkaitan dengan keberadaan proyek di daerah lindung dan resapan air. Masukan tentang hal tersebut, menurutnya, antara lain datang dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagai salah satu komponen penyusun amdal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, menurutnya, setelah permasalahan dikaji ulang dan dicarikan jalan keluar, ternyata proyek ini dianggap cukup layak untuk dilaksanakan. "Karena pelaksana proyek bersedia menjalankan alternatif jalan keluar untuk mengatasi dampak lingkungan, izin proyek tersebut dikeluarkan," jelasnya. Tindakan penanggulangan dampak lingkungan itu, menurut Indriya, pihak LGM bersedia membuat sumur-sumur resapan buatan. Ketika ditanya apakah pembuatan sumur-sumur resapan itu telah dilaksanakan, Indriya tidak berani memastikan. "Untuk mengontrol itu, bukan wewenang kami. Silakan tanya ke DPU," jelasnya. Kunto Riyadi, dari Seksi Perhubungan Bidang Fisik dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman, mengatakan bahwa izin untuk LGM secara resmi sudah ada. Kelengkapan perizinan berupa amdal juga sudah dibuat dan memenuhi kelayakan. Namun, Riyadi juga mengakui bahwa pemilihan lokasi LGM di lereng selatan Merapi itu bukan merupakan alternatif terbaik. "Seandainya ada dua alternatif dan alternatif yang kedua berada di daerah agak bawah, kami tentu akan memberikan rekomendasi izin pada lokasi kedua yang tidak berada di daerah resapan air," jelasnya. Kunto juga mengakui, proses pelaksanaan proyek ini juga mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu. Siapa? Ia tak mau memperincinya. General Manager LGM, Poerwijanto, mengatakan bahwa sumur-sumur resapan buatan itu memang belum ada. "Yang ada hanya bak untuk penapungan air dari Umbul Wadon sebelum digunakan untuk menyiram rumput dan tanaman lain," ujarn ya. Menurut informasi dari Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Berapi Yogya, sedikitnya 75 persen kawasan proyek LGM ini dibangun pada daerah yang dinyatakan terlarang. Sedangkan 25 persen sisanya berada di daerah bahaya I bencana Merapi. Dari dua indikasi pelanggaran pokok ini saja sebenarnya sudah merupakan bukti dan alasan kuat agar pihak/instansi berwenang tidak menurunkan izin untuk pelaksanaan proyek LGM di lokasi daerah terlarang ini. Mas Atje Purbawinata, Kepala Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi, mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak pernah mendukung, apalagi memberikan rekomendasi pembangunan lapangan golf tersebut. Lokasinya merupakan daerah endapan awan panas yang tak layak huni. "Jadi, pada prinsipnya, demi keselamatan tidak boleh ada penghuni atau kegiatan-kegiatan yang bersifat menetap dan permanen di lokasi ini," jelasnya. Poerwijanto mengatakan, pihaknya sudah mengetahui bahwa lokasi lapangan itu berada di daerah bahaya bencana Merapi. "Tetapi yang tidak boleh itu mendirikan bangunan untuk tempat tinggal permanen misalnya perumahan, dan lapangan golf tidak termasuk kriteria itu," kilahnya. Ia juga mengatakan, untuk penanggulangan adanya ancaman bahaya Merapi, pihaknya secara khusus tidak mempersiapkan. "Tetapi bersama beberapa pihak, kami pernah melakukan semacam pelatihan evakuasi bencana Merapi," sambungnya. Menurut Teguh Purnomo dari Walhi, jika selama ini warga tidak menentang pembangunan lapangan golf, itu bukan saja dikarenakan mereka tak tahu bahaya lingkungan atas proyek itu, melainkan juga karena adanya kendala budaya. Menurutnya, warga masih sungkan dan takut menentang, karena menurut informasi yang mereka terima, kecuali saham terbesar dimiliki oleh ke 12 pengusaha tersebut di atas, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X juga turut andil dan mendukung proyek tersebut. "Mereka diam karena masih menggenggam budaya ewuh perkewuh terhadap Sultan," jelasnya. (Triatmoko Sukmo Nugroho adalah wartawan tabloid Oppini dan peserta Program Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html