Precedence: bulk


Denpasar, Indonesia
24 Desember 1998

TOMMY SOEHARTO VERSUS WARGA PECATU (3)
Badan Pertanahan Nasional di bawah Tekanan Korem 163

Oleh Rofiqi Hasan
Reporter Crash Program

DENPASAR --- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung mengaku bahwa pembuatan
sertifikat bermasalah sehubungan dengan tanah di Desa Pecatu, Kecamatan
Kuta, itu berada di bawah tekanan Komando Resor Militer (Korem) 163
Wirasatya. Setidaknya itulah yang terungkap dalam persidangan Wayan Rebho
dan I Made Dana, dua petani yang dituduh menduduki Pecatu, yang menghadirkan
Kepala BPN Bali I Wayan Bendi. "Kami hanya sekadar membuat saja atas
perintah mereka. Katanya demi menjaga keamanan," kata Bendi.

Keterlibatan Korem ternyata tak sebatas kasus-kasus pembuatan sertifikat
untuk Bali Pecatu atas tanah milik Pemerintah Daerah (Pemda), tapi juga atas
tanah hak milik lainnya yang diincar Bali Pecatu di lokasi yang akan
dijadikan kawasan resor Bali Pecatu Graha. Dan, lagi-lagi, hal ini
melibatkan ketua BPN Badung. Kasus tersebut, antara lain, menimpa keluarga
aktivis Golkar Bali yang kini menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR RI), Arka Hardiana.

Ni Gusti Ketut Rai Kunci, ibu Hardiana, melakukan jual beli tanah dengan I
Nyoman Rejin, Juli 1991, atas sebidang tanah seluas 3 hektare di kawasan
Pecatu dengan harga Rp18 juta. Jual beli tersebut kemudian disahkan dengan
akta notaris Ketut Rames Iswara Nomor 98. Belakangan terungkap, sebelum
terjadi jual beli, Rejin telah mengurus surat-surat tanah sampai pada tahap
pembuatan kartu kuning untuk menunggu selesainya sertifikat. Nah, saat
pembangunan proyek Pecatu dimulai, kartu kuning itu disita oleh Korem dan
diproses hingga keluar sertifikat atas nama Rejin. Padahal, menurut salah
satu saksi, kepada Korem, Rejin menyatakan tanahnya telah terjual.

Dalam persidangan, Rejin membantah soal itu. Ia kemudian menyatakan bahwa
perjanjiannya dengan Rai Kunci sebatas sewa menyewa. Jika yang muncul adalah
perjanjian jual beli, kata Rejin, itu karena kebodohannya. Ia sendiri
mengaku telah menjual kembali tanahnya kepada pihak Bali Pecatu.

Kasus semacam berulang ketika Rejin lagi-lagi digugat oleh dua petani
pemilik lahan di kawasan Pecatu, yaitu Pan Kembar dan I Ketut Gawiana.
Pasalnya, nama Rejin lagi-lagi tercantum dalam sebuah sertifikat yang
dikeluarkan BPN atas tanah milik dua orang tersebut yang disebut-sebut telah
menghibahkan tanahnya kepada Rejin. Oleh Rejin, tanah itu dijual kepada BPG.

Dalam pengadilan, Ketua BPN juga menyebut dirinya di bawah tekanan ketika
mengeluarkan sertifikat itu. Tekanan itu, katanya, tak lain berasal dari
Korem 163 Wirasatya.

Adanya tekanan dari Korem juga diakui Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN
Bali, Raka Saputra, 18 November 1998. Namun, Saputra mengaku sama sekali tak
terlibat dalam kasus-kasus pembuatan sertifikat kawasan Pecatu. "Delapan
orang perwira, termasuk Danrem, bahkan menghadapi saya, tapi saya tak
bergeming," katanya. Maklum, katanya, jauh hari ia sudah punya firasat
masalah itu akan berkepanjangan.

Menurut Saputra, teror melalui telepon gelap, tongkrongan preman, dan
lain-lain sudah bermula sejak perencanaan awal kasus ini. Pasalnya, kepada
Pemda Bali, ia sempat mengusulkan agar tukar menukar tanah tidak perlu
dilaksanakan. Ia mengusulkan agar tanah Pemda diinvestasikan sebagai saham.

Keterlibatan Korem juga dilakukan dengan melakukan tekanan terhadap
pengacara yang membela para korban BPG. Itu antara lain dialami oleh Ida
Bagus Rai Widyana, S.H. yang membela dua petani penggugat Korem. Menurut
Widyana, ia sempat dipanggil oleh Danrem dan diminta menghentikan
gugatannya. Dengan kata-kata kasar, jelasnya, Danrem (sekarang) Kol (Inf) I
Made Yasa mengancam akan melakukan tindakan bila ia tetap nekat. "Berapa sih
orang di lingkunganmu yang suka sama kamu?" kata Danrem seperti ditirukan
Widyana.

Dikonfirmasi mengenai keterlibatan Korem tersebut, I Made Yasa memang
menyiratkan adanya keterlibatan Korem. Cuma, keterlibatan itu sebatas ikut
membantu menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat sesuai dengan
pendekatan teritorial ala ABRI. "Hanya kemudian ada pihak yang merasa hal
itu merugikan pihak lain. Maklum urusan ini menyangkut masalah orang banyak
sehingga selalu saja ada yang tidak puas," katanya.

Ia meminta agar masyarakat tidak mengambil kesimpulan yang gegabah dalam
masalah ini. Terutama bila posisi Korem saat ini disamakan dengan Korem
sebelumnya yang dikomandani Agus Wirahadikusumah, anak bekas Wakil Presiden
Umar Wirahadikusumah. "Jangan kemudian disamakan Korem dulu dengan korem
sekarang, Danrem dulu dengan sekarang," katanya.

Toh, Made Yasa menolak berkomentar mengenai keterlibatan Korem masa
sebelumnya dalam kasus Pecatu. "Kalau saya berbicara soal dulu, saya tak
tahu persis. Saya hanya menindaklanjuti saja gugatan itu," katanya.

Ia menegaskan, secara kelembagaan, Korem tak terlibat dengan proyek Pecatu
Graha. Kalau begitu – sebagaimana biasanya – yang terlibat: "oknum"? "Saya
tak berani memastikan. Kalau saya bilang ada, ternyata tidak ada, saya kan
bisa salah," katanya.

Yang jelas, ketika dilakukan serah terima jabatan dengan Danrem sebelumnya,
Agus Wirhadikusumah tidak menyerahkan berkas soal Pecatu, kecuali mengenai
adanya gugatan tersebut.

(Rofiqi Hasan adalah wartawan Nusa Tenggara dan peserta Program Beasiswa
untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke