Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 04/II/4-10 Februari 99 ------------------------------ EKONOMI POLITIK SARA Oleh: Hilmar Farid (OPINI): Akar-akar politik SARA yang kita kenal sekarang dapat ditelusuri pada bangunan negara kolonial, yang pertama kali mengintegrasikan konsep suku, agama dan ras (SARA) dalam pengaturan masyarakat di Nusantara. Di berbagai daerah memang ada kecenderungan untuk membentuk komunitas berdasarkan ikatan etnik atau agarna (seperti kampung Alor di Dili atau kampung Bali Matraman di Jakarta), yang cenderung berubah mengikuti perkembangan zaman. Adalah negara kolonial yang kemudian membagi-bagi masyarakat berdasarkan ikatan ras (yang mereka tentukan secara sepihak) dan menjaga pembagian itu dengan kekuasaan memaksa (hukum, pengadilan dan militer). Pada pergantian abad ke-20 negara kolonial membagi masyarakat tanah jajahan ke dalam tiga golongan besar: Eropa dan Jepang di lapisan paling atas, orang Timur Asing (terutama Tionghoa, India dan Arab) di lapisan menengah dan orang bumiputra pada lapisan paling bawah. Pembagian masyarakat berdasarkan etnik dan ras ini tidak hanya sebatas konsep atau untuk kepentingan statistik, tapi juga diwujudkan dalam kehidupan nyata. Tata kota adalah salah satu bentuk yang paling menonjol. Di kota Manado misalnya dibentuk benteng Amsterdam tempat bermukimnya orang Belanda dan Eropa. Di sebelah selatan benteng ada pemukiman orang Tionghoa, sementara di sebelah Timur ada pemu-kiman orang Arab dan orang Timur Asing lainnya. Di luar pemukiman itu ada sejumlah walak, seperti Walak Manado, Walak Kalawat, Walak Ares, dan seterusnya. Ini adalah tempat bermukimnya orang bumiputra yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan tradisional Minahasa. Di Jawa, juga ada pola yang sama, seperti Pecinan di Jakarta, dan kampung Arab di Surabaya. Perbedaan agama juga merupakan hal yang penting bagi negara kolonial, terutama setelah meluasnya pemberontakan yang diilhami oleh gagasan keagamaan dan dipimpin oleh tokoh agama tertentu. Untuk meredam radikalisme di kalangan Islam, misalnya, penguasa kolonial menambah kantor urusan agama dalam birokrasi negara, yang kemudian menjadi Departeman Agama. Ibadah haji yang dicurigai sebagai sumber berkembangnya gagasan Pan-Islamisme dikontrol dengan ketat, sementara praktek tarekat atau kegiatan pendidikan Islam diawasi langsung oleh lembaga intelijen dengan dukungan sarjana-sarjana kolonial. Jelas bahwa pada masa kolonial pembagian masyarakat berdasarkan etnik, ras, dan agama, bukan sesuatu yang 'alamiah' atau 'netral', tapi didorong oleh kepentingan politik meredam perlawanan dan menjaga superioritas penguasa kolonial. Gerakan perlawanan terhadap kolonialisme pada dasarnya berhasil mematahkan kerangkeng rasial, etnik dan agama yang dipertahankan penguasa. Para jurnalis bumiputra pertama yang menyuarakan perlawanan adalah orang magang pada suratkabar dan lembaga penerbitan milik orang Tionghoa, yang tidak jarang memberikan dukungan pada gagasan pembebasan. Pengalaman sejarah yang sama memperlihatkan bahwa identitas etnik dan agama lebih kuat di lapisan menengah, seperti tercermin dari pembentukan organisasi pemuda (intelektual) pada tahun 1910-an dan Sarekat Islam yang terdiri atas pedagang-pedagang bumiputra. Hal ini makin tegas dengan munculnya serikat-serikat buruh -yang sama-sama memperjuangkan kepentingan ekonomi- yang keanggotaannya melampaui batas-batas ikatan etnik dan agama. Namun, ketidakjelasan sejarah dan distorsi yang dilakukan penguasa maupun masyarakat sendiri cenderung membenarkan pandangan yang keliru tersebut, dan menjadi dasar berkembangnya stereotip etnik. Berbeda dengan masa sekarang, para pemimpin pergerakan di awal abad ke-20 menyadari soal ini, dan sangat berhati-hati dalam merumuskan pikirannya tentang struktur masyarakat. Hal ini terlihat dari konsep-konsep perlawanan yang mencampur aduk masalah etnik, agama dan ras dengan persoalan kelas, seperti zondig kapitalisme (kapitalisme yang berdosa), sosialisme Islam dan seterusnya. Meningkatnya radikalisme rakyat yang lintas etnik, agama dan ras tidak dengan sendirinya menghancurkan batas-batas yang digariskan oleh negara kolonial. Pada tahun 1910-an terjadi serangkaian konflik antar etnik dan ras di berbagai wilayah Pulau Jawa. Namun, penelitian sejarah belakangan ini menunjukkan bahwa konflik tersebut bukan sesuatu yang 'alamiah'. Negara kolonial sangat berperan di dalam mengarahkan ketegangan, dan bahkan membantu ketegangan tersebut meledak dalam bentuk konflik dengan melancarkan provokasi atau berbagai praktek intelijen lainnya. Dari pengalaman sejarah kolonial ini dapat dilihat bahwa pembagian masyarakat berdasarkan ikatan suku, agama dan ras sebagian besar adalah produk kebijakan negara kolonial, yang berkepentingan untuk menjaga status quo dan mempertahankan kekuasaannya di tanah jajahan. Di jaman kolonial, logika pembagian masyarakat berdasarkan suku, agama atau ras dianggap 'ilmiah' dan dicangkok ke dalam birokrasi kolonial, dengan adanya institusi seperti kapitein van de chinezen (pemimpin orang Tionghoa) dan kantor urusan agama. Revolusi nasional tidak dengan sendirinya mengubah watak negara kolonial tersebut, justru sebagian besar elemennya ikut terserap dan menjadi bagian dari bangunan negara Republik Indonesia. ORDE BARU DAN SARA Kemunculan Orde Baru adalah tonggak tegaknya konsep SARA secara tegas dalam tubuh birokrasi. Pembasmian gerakan kiri diikuti oleh serangkaian kerusuhan anti-Tionghoa karena beredar kabar bahwa Peristiwa 30 September 1965 didukung oleh 'antek RRT', yaitu orang Tionghoa peranakan. Sikap tidak adanya toleransi dan kecurigaan terhadap 'yang lain' didukung oleh pembentukan institusi dan pranata yang khusus menangani masalah ras dan agama. Pemerintahan Soeharto mulai memberlakukan berbagai kebijakan diskriminstif terhadap orang Tionghoa, mulai dari pemberian identitas khusus pada KTP, sampai pelarangan berbagai kegiatan ritual dan kultural. Di sisi lain sejumlah pengusaha Tionghoa (bedakan dengan orang Tionghoa pada umumnya) mendapatkan berbagai fasilitas bisnis dari pemerintah dan tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam kehidupan ekonomi. Di dalam sistem kapitalisrne yang didukung Orde Baru, distorsi pembagian masyarakat berdasarkan ras makin diperkuat. Perbedaan kelas sosial sering diterjemahkan ke dalam perbedaan berdasarkan ras, misalnya 'orang Cina kaya' yang berhadapan dengan 'pribumi miskin'. 'Keberhasilan' dalam bidang ekonomi cenderung dikaitkan dengan sifat etnik yang seolah-olah ilmiah, ketimbang sebagai produk akumulasi modal yang berbasis pada penghisapan tenaga kerja. Hubungan sosial yang timpang dipahami dengan cara pandang diskriminatif, sehingga tidak aneh jika ketegangan di dalarn hubungan sosial itu meledak datam bentuk konflik 'SARA'. Banyak institusi yang besar perannya di dalam 'mereproduksi' pemahaman yang keliru ini, termasuk pers. Misalnya dalam kasus kerusuhan di Jakarta tanggal 13-14 Mei lalu, sering dikatakan bahwa sasaran kerusuhan adalah orang Tionghoa dan non-Islam.Padahal dari data yang dikumpulkan, terbukti bahwa sebagian besar korban jiwa dalam kerusuhan tersebut adalah orang non-Tionghoa dan Islam. Namun, kematian sekitar 1.400 orang ini tidak menarik perhatian karena kerangka 'SARA' mengarahkan perhatian orang -yang diperkuat oleh pers- terhadap angka perkosaan perempuan Tionghoa dan pengrusakan terhadap daerah pertokoan milik orang Tionghoa. Di sini masalahnya bukan siapa yang lebih menderita karena kerusuhan. Baik orang Tionghoa yang diperkosa dan dijarah hartanya, serta 1.400 orang non-Tionghoa yang mati terbakar di daerah pertokoan ketika sedang 'menjarah' adalah korban dari kerusuhan yang sama. Faktor 'provokator' dan 'konspirasi politik' juga sempat menarik perhatian media massa, dan juga dilihat sebagai jawaban terhadap rsngkaian kerusuhan yang terjadi selama ini. Tadinya faktor 'konspirasi' ini dilihat sebagai alternatif penjelasan yang semata-mata terpaku pada hubungan ras, etnik dan agama. Tapi, dalam perkembangannya, seperti dalam kasus kerusuhan Kupang dan Ambon, penjelasan 'konspirasi' itu kembali ditempatkan dalam kerangka 'SARA'. Misalnya Theo Syafei (yang beragama Kristen) ditunjuk sebagai 'dalang kerusuhan' di Kupang dan Ambon karena pidatonya yang mengecam umat Islam. Dalam kerusuhan Mei, sasaran tuduhan 'dalang' adalah beberapa kelompok Islam yang mendapat dukungan dari pejabat tinggi ABRI (yang beragama Islam). Untuk memahami kerusuhan Mei di Jakarta -dan berbagai kerusuhan 'SARA' lainnya di berbagai daerah- juga perlu dipertimbangkan 'apa yang tidak diberitakan' oleh media massa atau pejabat publik. Jika hanya melihat 'apa yang diberitakan' maka gambaran tentang kerusuhan itu bersifat terbatas, sekalipun obyektif. Ada banyak hal yang tidak diberitakan, misalnya: 1) Kondisi sosial-ekonomi di wilayah kerusuhan. Hal ini sangat penting, seperti dalam kasus Banjarmasin misalnya ada faktor air bersih dan kemiskinan yang turut membantu meledakkan kerusuhan tersebut. Di Tanjung Priok pada tahun 1984, persoalan air bersih ini juga sangat menonjol dan bisa membantu menjelaskan kemarahan penduduk yang melawan saat itu. 2) Identitas para perusuh. Biasanya 'perusuh' selalu digambarkan sebagai 'massa' yang sepertinya tidak memiliki identitas. Padahal jika dilakukan penyelidikan yang cukup mendalam tentang identitas ini akan ditemukan berbagai fakta yang menarik. Dalam kerusuhan Mei misalnya dapat dibuat pembedaan antara orang yang 'memulai', 'melakukan pembakaran dan pengrusakan' dan 'penonton'. Massa yang diberitakan mengamuk di berbagai daerah itu sebagian besar merupakan penonton, yang hanya tertarik pada keramaian, bukan dengan sengaja bergabung untuk melakukan pengrusakan. Para penjarah pun ternyata berbeda dari para 'provokator' dan mereka yang melakukan pengrusakan. Dan banyak hal lain tentang identitas ini yang tidak digali lebih jauh. 3) Identitas korban. Kerangka 'SARA' mengarahkan kita berpikir tentang korban-korban yang sesuai atau cocok dengan kerangka tersebut. Misalnya dalam kerusuhan Mei, jika orang mengatakan 'korban kerusuhan Mei' maka maksudnya adalah orang Tionghoa yang mengalami gangguan fisik maupun kehilangan harta bendanya. Orang non-Tionghoa yang mati terbakar di gedung pertokoan tidak dianggap sebagai korban kerusuhan. 4) Kondisi politik dan keamanan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sebuah kerusuhan dapat terjadi. Seperti diketahui ada kerusuhan yang bermula dari persoatan kecil, misalnya pertengkaran di antara dua orang atau tindakan seseorang yang tidak menyenangkan pihak lain. Kemungkinan meluas atau meredanya keributan itu menjadi kerusuhan sangat bergantung pada kondisi politik dan keamanan di wilayah tersebut. Jika berbagai persoalan di atas masuk dalam pembahasan tentang kerusuhan maka kita akan mendapat gambaran lain, termasuk bahwa rangkaian konflik dan kerusuhan yang terjadi selama ini bukan sekadar 'kerusuhan SARA'. Di Jakarta misalnya, kerusuhan itu tidak dapat dilepaskan dari mutu kehidupan yang makin menurun secara umum dan kelangkaan barang di pasar. Persoalan ini kemudian berkait-kelindan dengan masalah rasial yang melekat, sehingga timbul kesimpulan yang keliru bahwa kelangkaan pangan adalah akibat 'konspirasi Tionghoa' dan seterusnya. Tentu saja pers bukan satu-satunya institusi yang 'bertanggunjawab' atas reproduksi 'perspektif SARA'. Ada banyak elemen lain yang memperkuat pandangan tersebut, seperti sistem pendidikan, mekanisme desas-desus, kebijakan pemerintah yang diskriminatif; dan juga pembagian kelas di dalam masyarakat. Tugas pers dan kalangan intelektual tidak lain menjelaskan berbagai kerusuhan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan keluar dari 'perspektif SARA'. (*) Penulis adalah pengamat masalah sosial. Tulisan ini merupakan makalah training multikulturalisme. --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html