Precedence: bulk PENGANTAR INILAH BULETIN YSBI nomor 2/1999 datang kepada Anda. Di dalamnya, selain berita tentang kegiatan YSBI, juga dimuat sebuah artikel menyambut kunjungan Pramudya Ananta Toer ke Belanda selama dua pekan pertama bulan Juni 1999, sebuah artikel menanggapi kegiatan ramai- ramai "pelurusan sejarah" di Tanahair akhir-akhir ini, dan kami buka sebuah rubrik baru. Rubrik baru kami maksud ialah "Berita Pustaka", selain sebagai wadah pemberitaan hasil-hasil penerbitan YSBI dan perorangan, juga hasil penerbitan rekan-rekan penerbit lain baik yang dari Tanahair maupun yang dari "tanah seberang", yang mengirim eksemplar contoh kepada kami. Selamat membaca. Redaksi. BERITA KEGIATAN v Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia telah dengan resmi lahir, dengan akta notaris. Seperti sudah diberitakan dalam Buletin YSBI yang lalu, kegiatan YSBI meliputi empat bidang, yaitu: bidang sejarah, sastra dan seni, film dan dokumentasi, dan penerbitan. v Tim Sejarah meneruskan kegiatannya melakukan wawancara dengan beberapa narasumber eksil, dan mengumpulkan data nekrologi dari warga eksil Indonesia dari berbagai negeri. v Tim Sastra sedang menyiapkan penerbitan Antologi Prosa dan Puisi hasil karya sastrawan eksil Indonesia. Naskah kumpulan prosa dan puisi dari belasan sastrawan, terdiri dari tak kurang 200 halaman, telah berhasil dihimpun. Kumpulan bunga rampai itu diharapkan akan terbit dalam akhir tahun 1999. v Tim Film dan Dokumentasi, bersama dengan Tim Sejarah, merencanakan untuk membuat opname percobaan (proefopname) tentang salah seorang tokoh eksil. v Tim Penerbitan menyusul sesudah menerbitkan Buletin YSBI nomer perdana, menyiapkan penerbitan majalah "Kreasi", dan membantu menerbitkan beberapa kumpulan cerpen karya sastrawan Indonesia di rantau. PRAMOEDYA ANANTA TOER SESUDAH dilantik menjadi anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) di Jakarta, Pram telah bertolak meninggalkan Tanahair, memenuhi undangan masyarakat Amerika dan Indonesia di sana, khususnya kalangan universitas, lembaga negara dan LSM. Dalam rangka itu salah satu universitas, Universitas Ann Arbor, telah memberi gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra, budaya dan kemanusiaan. Dalam lawatannya ini Pram disertai isterinya, Maemunah, salah seorang kemanakan H.M.Husni Thamrin, tokoh pergerakan nasional tahun 40-an; selain itu juga ikut serta Joesoef Isak, editor Hasta Mitra dan khususnya karya-karya Pram selama lebih dua puluh tahun terakhir. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, Pram dan rombongan diundang singgah oleh berbagai kalangan masyarakat Eropa di Belanda, Perancis dan Jerman. Pram sudah lebih dua kali masuk daftar nominasi pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra. Tapi sedemikian jauh masih belum berhasil, walaupun nominasi itu mendapat dukungan banyak negeri, tentu saja kecuali Indonesia. Karya-karya Pram sudah diterjemahkan dalam 20 lebih bahasa-bahasa dunia. Tidak seorangpun sastrawan Indonesia lainnya yang karya-karyanya telah diterjemahkan dalam sekian banyak bahasa dunia. Pram selalu punya rekor yang spektakuler! Termasuk rekor keluar-masuk penjara. Ketika zaman perang kemerdekaan Pram masuk penjara Belanda beberapa tahun, karena membela Republik Indonesia. Ketika zaman Bung Karno Pram ditangkap tentara, dan masuk penjara, beberapa tahun, karena membela etnis Tionghwa. Dan pada masa Orba- Suharto-Abri, Pram masuk penjara dan diasingkan ke Pulau Buru belasan tahun, karena dituduh komunis yang memberontak. Pram telah “menyumbangkan” hampir setengah umurnya untuk keluar-masuk penjara. Semuanya ini karena Pram dengan teguh dan konsekwen berjuang demi tegaknya demokrasi sejati, keadilan dan kejujuran - dalam pengertian kemanusiaan yang benar-benar memanusia. Semua karyanya selalu berintikan keadilan, berpihak pada rakyat jelata yang miskin dan lemah. Dalam rangka kunjungannya ke Belanda, pada 6 Juni 1999 di “De Rode Hoed” Amsterdam, “Panitia Pramoedya” akan menyelenggarakan pertemuan dengan Pram, “Novelis Tiga Jaman” ini. Gema Warta Radio Nederland Jumat 23 April yang lalu, antara lain mengutip kaka-kata Pram di New York: “Kunjungan saya ke Amerika adalah suatu kemenangan terhadap militerisme dan fasisme”. Wartawan Radio Nederland lebih lanjut menyatakan, bahwa kunjungan Pramoedya di Amerika Serikat secara kebetulan bersamaan waktu dengan hangatnya soal Timor Timur yang mencemarkan nama baik Indonesia. Tapi Pramoedya, dengan penampilannya yang mantap, justru telah mengangkat nama baik bangsa dan budaya bangsanya. Menjadi tamu besar organisasi bergengsi “Asia Society” di New York, Pram berceramah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih dari 250 masyarakat cendekiawan, dalam rangka acara bedah buku terjemahan Inggris dari “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Tampil dengan surjan, kemeja tradisional Jawa warna abu-abu, Pramoedya tampak segar meskipun tampak tua. “Dia tak mau pakai dasi”, kata Maemunah, isteri Pramoedya. Barangkali inilah untuk pertama kalinya seorang sastrawan Indonesia tampil begitu megah dan disambut amat hangat di negeri Paman Sam.Pram yang pernah menerima “Freedom to Write Award”, dari PEN Internasional dan Hadiah Magsaysay, dengan begitu telah mengukuhkan dirinya sebagai sastrawan kaliber dunia. Pramoedya yang di negerinya sendiri diperlakukan sebagai pariah, justru oleh pers Amerika Serikat disebut sebagai “the Indonesia's greatest living writer”, penulis Indonesia terbesar yang hidup dewasa ini. Meskipun Pramoedya juga seorang tokoh politik, tetapi sosok politik ini terwujud sebagai pancaran semangat humanismenya. Ketika pertama kali berada di Amerika Serikat ini, dia kagum melihat berbagai bangsa bisa hidup damai. Suatu hal yang sementara waktu ini telah menjadi langka di tanah airnya sendiri. Menanggapi pertanyaan, kalau Anda diminta memberi nasihat kepada para pemimpin Indonesia sekarang, apakah nasihat Anda? Pramoedya menjawab dengan singkat dan tegas, “...milikilah wawasan keindonesiaan. Pada masa Soekarno wawasan itu menjadi arus umum, semua orang ikut arus itu. Nation building istilahnya. Akan tetapi sekarang istilah itu bahkan tidak pernah disebut lagi”. “Indonesia”, kata Pram lebih lanjut, “telah menjadi abstrak bagi orang-orang Indonesia sendiri”. Ketika ditanya, apakah Anda seorang komunis? Pramoedya dengan enteng menjawab, “Orde Baru sudah mengangkat saya menjadi komunis, entah komunis yang nomor berapa. Dan ini diperkuat oleh pers Orde Baru. Saya sendiri hanya berpihak kepada kebenaran dan keadilan, barangkali itulah Pram-isme”, katanya sambil bergurau yang mengundang tepuk tangan dan ketawa publik.(S.Simon) NEKROLOGI Berturut turut sejak September 1998 kaum eksil Indonesia telah kehilangan beberapa warganya. Hukum alam tak bisa ditolak. Kita yang ditinggalkan akan selalu mengenang mereka. EMHA – IBRAHIM HAMID (77 tahun) meninggal dunia pada tanggal 9 September 1998 di Amsterdam.Setelah menamatkan sekolah di MULO, dia bekerja di perusahaan perkapalan Belanda KPM. Di samping bekerja Emha aktif menulis sajak dan drama yang bertemakan perlawanan rakyat anti-feodal dan anti-penjajahan.Karena tulisan-tulisannya yang anti penjajahan Jepang, dia ditangkap dan dipenjarakan sampai saat Jepang menyerah (1945). Setelah perang kemerdekaan Emha pernah menjabat Wakil Kepala Jawatan Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara.Sebagai budayawan Emha bergabung dengan Lekra, sebagai anggota pimpinan daerah Sumatera Utara. Tahun 1966 ia bekerja di Radio Vietnam seksi Indonesia; tahun 1975 bekerja sebagai redaktur penyunting bahasa Indonesia di kantor berita APN, Moskow; tahun 1988 pindah ke Eropa Barat dan menetap di Amsterdam.Di Nederland Emha bersama-sama dengan kawan- kawan lainnya mendirikan dan membimbing Ansambel Tari dan Nyanyi “Nyiur Hijau”.Karya-karya Emha yang utama antara lain drama bersanjak “Sinandang”, dan lagu dan syair “Silalole Silalokong”. Emha meninggalkan seorang istri dan 10 orang anak. (KS) *** BASUKI RESOBOWO (83 tahun) meninggal dunia pada tanggal 4 Januari 1999 di Amsterdam.Lahir tahun 1916 di Baturadja, Palembang, anak dari suami-istri Prawiroatmodjo, mantri ukur perkebunan Belanda.Tahun tigapuluhan pemuda Basuki di samping melukis, juga terjun dalam gerakan politik yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia, menjadi anggota GAPI (Gabungan Politik Indonesia).Pada tahun 1938 bersama-sama dengan S. Sudjojono, Abdulsalam dan Agus Djaja mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), yang menganjurkan setiap anggota Persagi berani terjun dalam masyarakat, dan tidak hanya mengurung diri dalam menciptakan karya seninya.Tahun 1946, kembali bersama Sudjojono dan seniman-seniman lainnya, mendirikan organisasi kesenian Seniman Indonesia Muda (SIM), yang meliputi berbagai bidang: senirupa, sastra, drama, musik, ansambel nyanyi dan tari. Sejak tahun 1972 Basuki Resobowo bermukim di Eropa Barat sebagai eksil. Sampai pada masa akhir hidupnya Basuki Resobowo tetap teguh berjuang melawan rezim Suharto. Basuki Resobowo manusia tiga jaman - jika jaman yang dimaksud ialah wajah politik: Hindia Belanda, Jepang, Republik. Tetapi Manusia Basuki seorang seniman. Dan sebagai seniman ia telah mengarungi empat wajah kebudayaan: “Mooi Indië” vs “Persagi”, “Keimin Bunka Shidoso” vs “Poetera”, “Masa Bersiap” sampai “Lekra”, dan akhirnya Masa Keterasingan.Dalam semua kurun politik itu Basuki telah ikut menyumbangkan kejuangannya. Dalam semua kurun budaya itu Basuki telah menyerahkan sepenuh dirinya. (KS) *** SAMIE HAMDAN (73 tahun), meninggal pada 10 Februari 1999 di Utrecht, setelah menderita sakit yang cukup lama. Semasa hidupnya ia juga dikenal sebagai Bung Slamet atau Bung Beno. Kalangan masyarakat eksil Indonesia mengenal dan mengenang Samie Hamdan sebagai veteran pejuang rakyat. Pengabdian dan pemihakannya pada perjuangan kemerdekaan pembebasan rakyat sudah dimulainya sejak berumur belasan tahun, yaitu sejak saat awal meletusnya Revolusi Agustus 1945. Sudah sejak awal revolusi itu Bung Beno bergabung dan giat dalam organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang kemudian dilebur menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), juga dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, selama tahun 1955-1959 Beno duduk sebagai anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Pada tahun 1965 Beno berangkat ke RRT untuk penyembuhan penyakit yang dideritanya. Tahun 1986 ia pindah ke Belanda, dan berkumpul kembali dengan istri dan anaknya. *** SUKRISNO (81 tahun) meninggal dunia pada tanggal 6 Maret 1999 di Amstelveen. Ia seorang pejuang pena patriotik autodidak terkemuka, sarjana, dan diplomat di masa pemerintahan Presiden Sukarno.Setelah menamatkan pendidikan “Schakelschool” dan MULO sampai klas 3, ia berkecimpung dalam dunia jurnalistik, mulai dari juru ketik dan korektor kemudian diangkat menjadi wartawan KB “Aneta”. Tahun 1937 bersama-sama dengan wartawan- wartawan lainnya mendirikan KB “Antara”, dalam rangka menembus monopoli penyiaran berita oleh media kolonial Belanda “Aneta”. Ketika Jepang menghadapi keruntuhannya, dengan menggunakan fasilitas “Domei” (kantor berita pemerintah pendudukan Jepang), mendirikan dan mengorganisasi serta melatih tim markonis untuk menangkap dan menyiarkan berita-berita dari dan ke luar negeri. Adalah para wartawan muda Indonesia, seperti Djawoto, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, dan Sukrisno inilah yang menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia keseluruh dunia, menyusul sesudah kekalahan Jepang pada paroh pertama Agustus 1945. Pada awal masa kemerdekaan Sukrisno menjadi wakil Pimpinan Redaksi KB “Antara”. Ikut rombongan Bung Hatta dan Moh. Roem ke Konperensi Meja Bundar (KMB). Pada tahun 1955 bekerjasama dengan Mr. Soedjarwo Tjondronegoro mendirikan perwakilan KB “Antara” di New York, yang memainkan peranan penting bagi Konperensi Asia-Afrika I di Bandung.Pada tahun 60-an, sampai 1966, ia diangkat sebagai Duta Besar RI berturut-turut untuk Romania dan Vietnam.Memimpin penerbitan buletin masyarakat Indonesia di luar negeri untuk mengekspos rezim orde baru yang anti-demokrasi.Tahun '80-an Sukrisno meneruskan studinya dan meraih gelar doktorandus antropologi pada Universitas Amsterdam. (KS) *** RAHARDJO DIRDJOKOESOEMO (62 tahun) meninggal pada 10 April 1999 di “Diaconessenhuis”, Leiden. Dikenal dengan panggilan akrab Bung Soma, ia lahir di Kebumen 23 Maret 1937, menyelesaikan pendidikan menengah pertama dan atas di Semarang. Kuliah di Universitas Gadjah Mada, dan tahun 1961 melanjutkan pendidikannya di Universitas Lumumba Moskow.Pada tahun 1966, karena tak bisa pulang ke Tanah Air, Bung Soma pindah ke dan tinggal di Tiongkok sampai tahun 80-an, kemudian pindah bermukim di negeri Belanda.Selama hidupnya, baik ketika masih di Tanah Air maupun sesudah di luar negeri, disamping belajar dan bekerja, Soma tidak pernah ketinggalan dalam perjuangan menegakkan demokrasi di Indonesia.Jenazah Bung Soma diperabukan pada 16 April 1999 di Pemakaman Westgaarde, Amsterdam. (KS) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html