Precedence: bulk


DIALOG GUS DUR DENGAN MAHASISWA "DEADLOCK"

        JAKARTA, (SiaR, 29/9/99). Pertemuan antara tokoh-tokoh mahasiswa dengan KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, menemui jalan
buntu. Dialog yang terjadi akhir pekan lalu di kantor pusat PBNU, di kawasan
Matraman, Jakarta Pusat, berakhir begitu saja setelah kedua pihak tak
menemukan "titik temu" sebagaimana yang diharapkan.

        Seusai pertemuan "bersejarah" itu, para aktivis yang dicegat wartawan di
luar rumah, tidak memberi pernyataan sebagaimana yang diinginkan wartawan.
Mereka malah berguyon sambil menunjuk aktivis Famred, Wahab. "Didalam kami
nggak ngapa-ngapain, hanya ngerayain ulang tahunnya Wahab," seloroh seorang
aktivis menjawab pertanyaan para wartawan.

        Menurut informasi yang diperoleh SiaR dari seorang aktivis mahasiswa yang
hadir dalam pertemuan tersebut, sejumlah aktivis mendatangi kediaman Gus Dur
tak lama setelah Gus Dur mengeluarkan pernyataan, bahwa pihaknya akan
mengerahkan ribuan banser NU untuk mengamankan pelaksanaan Sidang Umum (SU)
MPR, Oktober mendatang.

        Soal ini menjadi porsi tersendiri yang ditanyakan para aktivis kepada Gus
Dur. Mereka meminta klarifikasi kepada Gus Dur. Menurut Gus Dur, Banser
dikerahkan, agar upaya dari para preman dan provokator yang ingin
menggagalkan SU MPR tak terjadi. Gus Dur bahkan menegaskan tak terkecuali
hal ini juga terjadi kepada para mahasiswa, jika mereka mencoba-coba untuk
"menduduki" kembali gedung DPR/MPR. Terhadap gertakan Gus Dur ini, salah
seorang aktivis malah menjawab, "Gus, kami sudah sering ditembaki (aparat,
Red.). Bahkan kawan-kawan kami sudah gugur. Kalau Banser... paling-paling
tergores doang," kata seorang aktivis ringan menjawab Gus Dur.

        Para aktivis memberi argumentasi, bahwa keinginan mereka untuk turun ke
jalan karena agenda reformasi total yang dicita-citakan sedari awal kini
berada di persimpangan jalan, karena adanya manuver para elite politik yang
mau membangun koalisinya dengan antek-antek pro-status quo.

        Selain itu, menurut para aktivis mahasiswa itu, para elite politik malah
lebih sibuk mengurusi persoalan kursi kekuasaan dalam SU MPR mendatang,
daripada persoalan-persoalan yang substansial menyangkut agenda reformasi total.

        "Ditengah-tengah kejahatan kemanusiaan yang dipertontonkan TNI, tak layak
para elite sipil bergandeng tangan dengan mereka," ucap seorang aktivis ketus.

        Akibat pernyataan Gus Dur yang ingin menurunkan bansernya itu, membuat
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Matori Abdul Jalil kembali "sibuk"
membuat klarifikasi atas ucapan Gus Dur tersebut. 

        "Kehadiran banser justru ingin mendampingi mahasiswa dan rakyat yang ingin
mengontrol berlangsungnya SU MPR," katanya.

        Sedangkan staf pengajar FISIP UI Dr Thamrin Amal Tomagola yang
dimintai pendapatnya mengenai "deadlock"-nya pertemuan Gus Dur dengan para
aktivis mahasiswa menyatakan, bahwa dirinya mengkhawatirkan kemungkinan
kembali jatuhnya korban-korban sebagai martir demokrasi. Menurutnya, jika
hal itu terjadi, maka semakin membuktikan, bahwa elite politik itu terasing
dari rakyatnya, karena apa yang disuarakan mahasiswa sebenarnya merupakan
hati nurani rakyat.***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke