Precedence: bulk


LETKOL UNTUNG KORBAN KONSPIRASI SOEHARTO-AIDIT

        JAKARTA, (TNI Watch!, 29/9/99). Baru-baru ini redaksi TNI Watch!
mendapat informasi dari seorang mantan tapol (Letkol Pnb Hr). Beliau adalah
seorang perwira intelijen AURI, saat peristiwa "G.30.S" meletus. Ketika
mendekam di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo, Jakarta Pusat, sumber
kami sempat berbincang-bincang dengan Sudisman (salah seorang anggota
Politbiro CC PKI), seputar peristiwa tersebut, tentunya dari sudut pandang
Sudisman. Tulisan berikut adalah pandangan Sudisman, sebagaimana yang
diceritakannya kepada sumber kami.

Menjelang peristiwa G30S, telah muncul tiga faksi dalam Politbiro CC PKI.
Masing-masing adalah:
1. Faksi DN Aidit (didukung MH Lukman).
   DN Aidit adalah Ketua CC - PKI, dan MH Lukman sebagai Wakil Ketua I
2. Faksi Sudisman (Sekretaris CC - PKI)
3. Faksi Nyoto (Wakil Ketua II CC - PKI

        Terpecahnya Politbiro (PB) dalam tiga faksi, karena beberapa hal,
bisa karena orientasi politik, gaya kepemimpinan masing-masing pribadi dalam
PKI, dan kepentingan politik yang juga personal. Sudisman misalnya punya
akar yang kuat di kaum buruh. Sedang Nyoto dianggap terlalu condong ke
Moskow, berbeda dengan Aidit yang berorientasi ke Beijing.

        Pertanyaan menarik: bagaimana keterkaitan faksi-faksi tersebut
dengan G30S?

        Ternyata yang memainkan peran hanyalah Faksi Aidit, sedang dua faksi
lainnya praktis tidak tahu sama sekali, tentang adanya rencana gerakan.
Mulai persiapan gerakan, hingga pelaksanaan, dari unsur Politbiro (PB),
hanya Aidit yang aktif. Dua faksi lain tidak dilibatkan, karena memang
pecah. Dan tampaknya memang hanya persoalan kepentingan politik Aidit semata.

        Untuk kepentingan politiknya (untuk tidak menyebut ambisi pribadi),
Aidit lebih banyak berhubungan dengan Biro Chusus PKI (selanjutnya BC),
dengan Ketuanya adalah Sjam Kamaruzaman. Singkat cerita, Aidit bersama
BC-lah yang lebih banyak berperan dalam merancang dan mengendalikan
peristiwa. Aktivitas Aidit bersama Sjam ini, bersifat klandestin, artinya
tidak diinformasikan kepada unsur pimpinan Partai. Jadi aksi Aidit dan Sjam
berjalan di luar jalur organisasi yang resmi.

        Posisi penting BC dengan figurnya Sjam dalam peristiwa itulah, yang
kemudian sering menjadi bahan perdebatan dan analisa para pakar mengenai
peristiwa tersebut. Selain posisinya yang penting, figur Sjam yang terkesan
misterius, membuat kontroversi seputar dirinya tak pernah selesai.

        BC adalah nama lain dari Biro Ketentaraan. Dari namanya saja sudah
jelas, tugasnya adalah membangun jaringan ke tentara (ABRI). Untuk keperluan
membangun jaringan (istilah saat itu "menggarap") di ABRI, Sjam dibantu oleh
beberapa tokoh, antara lain: Pono, Bono alias Waluyo, Hamim dan Soejono
Pradigdo. Sjam dan Pono lebih banyak membina hubungan dengan unsur Angkatan
Darat, sedang Bono bertugas ke unsur Angkatan Udara.

        Dalam melaksanakan tugasnya, BC langsung bertanggung jawab kepada
Aidit, selaku Kepala Departemen Organisasi/Politbiro CC PKI. Selain namanya
yang "Chusus", jalur operasi BC juga khusus, maksudnya BC sering bertindak
di luar koordinasi resmi partai. Kekhususan lain adalah aksesnya yang
langsung ke Aidit. Oleh karena beberapa keistimewaan yang dimiliki BC,
keberadaan BC sendiri dalam Partai, sering dipertanyakan oleh pimpinan PKI
yang lain (di luar Aidit). Bahkan beberapa saat setelah peristiwa, Sudisman
ketika berbicara dengan sesama penghuni penjara, dengan sinis menyebut BC
sebagai PKI ilegal.

        Setidaknya menjelang peristiwa, sudah ratusan perwira (terbanyak
unsur AD) yang berhasil mereka bina, hingga komitmen dengan perwira-perwira
itu boleh dikata sangat solid. Beberapa orang dari perwira tersebut,
kemudian menjadi pelaku langsung dari gerakan, seperti Letkol Untung (salah
satu Komandan Bataliyon pada Resimen Cakrabirawa), Kol Abdul Latief
(Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya), Brigjen Suparjo, Kol Suherman (Asisten 1
Pangdam VII Diponegoro), Kol Udara Sudiono, Mayor Udara Sujono. Yang perlu
ditekankan di sini, perwira-perwira yang masuk dalam jaringan BC, tidak bisa
diklaim sebagai anggota PKI. Karena mereka hanya berhubungan dengan BC,
bukan dengan PKI sebagai organisasi.

        Karena memakai jalur "khusus", bukan jalur resmi, dan bersifat
klandestin (rahasia). Maka hubungan atau jaringan yang dibangun BC, lebih
tepat disebut ubagai konspirasi. Dengan Sjam sebagai sentral penghubung,
antara Faksi Aidit dengan unsur ABRI.

        Selain perwira-perwira tersebut, yang sudah masuk kategori
"lingkaran dalam", BC juga membina hubungan dengan perwira-perwira di
jajaran pimpinan ABRI, yaitu Men/Pangau Omar Dhani (lewat Bono) dan
Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (langsung "digarap" Sjam). Dalam link BC,
Omar Dhani dan Soeharto bukanlah orang lain, keduanya dianggap "kawan" atau
"orang kita". Meski belum masuk kategori "lingkaran dalam". Bentuk hubungan
seperti itu bisa tercipta, terutama karena peran Sjam. Dalam bahasa yang
lebih pop, posisi Sjam adalah "kanan-kiri oke".

        Figur Sjam memang unik, banyak orang menyebutnya misterius. Itu bisa
terjadi karena ada anggapan Sjam merupakan "agen ganda", ia bekerja untuk AD
dan PKI (lewat BC). Perjalanan hidupnya juga berliku. Sebelum bergabung ke
PKI, Sjam sempat menjadi kader tokoh PSI Djohan Sjahroesjah, di masa perang
kemerdekaan di Jogya. Pada periode inilah, kita temukan jejak sejarah
menarik, yaitu dengan adanya "Kelompok Pathok".

        Pathok adalah sebuah nama kampung di Yogya, yang sering dijadikan
tempat pertemuan antara Sjam, Aidit, dan seorang perwira muda, yaitu Letkol
Soeharto. Jadi perkenalan antara ketiga orang tersebut sudah lama. Terlebih
Aidit memiliki hutang budi pada Sjam, karena Sjam yang meloloskan Aidit dan
Lukman, saat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, di awal tahun 1950.
Sepulangnya Aidit dan Lukman, dari pelarian ke luar negeri, seusai Peristiwa
Madiun.

        Tingkat kerahasiaan jaringan yang dibangun BC sangat tinggi.
Demikian rapihnya kerahasiaan itu, sampai-sampai Mayjen S. Parman, selaku
Asisten I/Intelijen Men/Pangad, turut jadi korban. Padahal selaku Asisten
Intelijen, Mayjen S Parman semestinya mengerti situasi yang tengah terjadi
di lingkungan ABRI dan politik nasional pada umumnya. Ketidaktahuan yang
sama juga terjadi pada pimpinan PKI. Seperti terbaca dari kekesalan Sudisman
di atas. Selain itu juga tampak dari ketidaksiapan PKI, dalam menghadapi
"tumpas kelor" (menumpas sampai ke akar-akarnya) beberapa waktu sesudah
peristiwa.

        Masih menurut sumber kami, daftar perwira yang masuk dalam jaringan
BC, ada nama-nama yang rasanya mustahil masuk dalam jaringan tersebut. Maka
benar tidaknya fakta tersebut, perlu ada konfirmasi atau penelitian lebih
lanjut. Nama-nama perwira dimaksud adalah: Amir Machmud, Ali Murtopo, Basuki
Rachmat dan Kardono (AU).

        Nama perwira lain yang perlu dicatat adalah Mayjen Pranoto Rekso
Samudro, yang saat itu menjabat sebagai Asisten III/Personil Men/Pangad.
Yang menarik dari Mayjen Pranoto adalah posisinya yang ternyata tidak
termasuk dalam jaringan BC, karena Pranoto lebih condong ke Faksi Nyoto.

        Dari ketiga faksi dalam PB, Faksi Nyoto adalah faksi yang paling
dekat dengan Presiden Sukarno. Ini dimungkinkan oleh posisi Nyoto selaku
Menteri Negara, yang diperbantukan pada Presiden. Jadi antara Bung Karno,
Nyoto dan Pranoto, berada dalam satu poros. Kini kalau kita ingat kembali,
penolakan Mayjen Soeharto terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto selaku
caretaker Men/Pangad saat itu, selain menunjukkan sikap pembangkangan
Soeharto terhadap Presiden, bisa jadi itu adalah bagian dari "persaingan"
antar faksi, karena Suharto -- lewat Sjam -- masuk Faksi Aidit. Sejak
sekitar setahun sebelum peristiwa, pertentangan antara Aidit dan Nyoto
semakin tajam. Peranan Nyoto dalam PB sudah dikurangi, dan juga dicopot
selaku redaktur "Bintang Merah".

TEORI KETERPUTUSAN
        Sehubungan dengan manuver jarintan BC, yakni poros Faksi Aidit -
BC/Sjam - Unsur ABRI (Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Kol A Latief dkk),
sumber kami selanjutnya memberikan analisa, karena sumber kami
sedikit-banyaknya tahu atas peristiwa tersebut. Ia mengintrodusir "Teori
Keterputusan", untuk menjelaskan peristiwa G30S, khususnya pada episode
penculikkan para jenderal. Karena sumber kami ini seorang perwira intelijen,
wajar kalau analisanya bernuansa intelijen.

        Dalam sebuah operasi intelijen, antara yang memanfaatkan (subyek)
dengan pihak yang dimanfaatkan oleh subyek, jadi obyek atau operator,
biasanya tidak ada hubungan langsung. Jadi ada keterputusan antara subyek
dan obyek, di sinilah letak "teori keterputusan" dalam peristiwa itu. Dan
lagi, keterputusan antara subyek dan obyek, adalah sesuatu yang sangat biasa
dalam dunia intelijen. 

        "Prosedur Keterputusan" sebenarnya merupakan langkah antisipasi
(pengamanan), seandainya si obyek selaku operator gagal, maka pihak yang
memanfaatkan (subyek), tidak bisa dikonfirmasi, dan selanjutnya bisa lepas
tangan. Sekadar contoh mudah, bisa kita lihat dalam serial layar kaca
"Mission Impossible", di mana dalam intronya, kita menyaksikan adegan, bahwa
pihak pemakai (Dinas Rahasia Inggris) tak akan bertanggung jawab, jika
operasi gagal.

        Lalu bagaimana cara antara si subyek dan obyek berhubungan? Jawabnya
mudah ditebak, yakni lewat pihak ketiga. Pihak ketiga ini berfungsi ganda,
ia adalah faktor penghubung dan faktor pemutus sekaligus. Ketika operasi
akan dimulai, pihak ketiga adalah penghubung. Tapi jika kelak, ternyata
operasinya gagal, maka pihak ketiga yang tadinya penghubung, kini jadi
pemutus. Yaitu yang memutuskan hubungan antara subyek dan obyek, agar subyek
bisa lepas tanggungjawab. Jika operasi berhasil, masing-masing pihak bisa
kembali ke habitat masing-masing dengan tenang, seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu.

        Sehubungan dengan peristiwa tersebut, pihak mana saja yang berperan
sebagai subyek, obyek dan pihak ketiga selaku penghubung dan pemutus
sekaligus? Subyek adalah CLA, obyek (operator) adalah Letkol Untung dan
Lettu Doel Arief, dan pihak ketiganya atalah Poros Faksi Aidit- BC/Sjam -
Unsur ABRI. Jadi yang akan dimanfaatkan CIA dalam operasinya atalah Letkol
Untung dan Lettu Doel Arief, tapi CIA tidak langsung berhubungan dengan
Untung/Doel Arief, tapi lewat Poros Aidit/Sjam.

        Kalau digambar secara grafis, hubungan CIA ke Poros DNA/Sjam atalah
garis lurus, artinya berhubungan langsung. Demikian juga dari Poros DNA/Sjam
ke Letkol Untung/Lettu Doel Arief selaku operator. Sedang CIA ke operator
(Untung/Doel Arief), adalah garis putus-putus, maksudnya tidak berhubungan
langsung.

        Yang menarik, bahwa Poros DNA/Sjam sebenarnya berperan lebih dari
sekadar "pihak ketiga". Dalam kemelut saat itu, mereka juga punya
kepentingan politik sendiri. Jadi ada pertemuan kepentingan antara CIA dan
Poros DNA/Sjam, dan atas dasar kepentingan politik masing-masing, mereka
sama-sama memanfaatkan operator yang sama (Untung/Doel Arief.)

        Ternyata operasi gagal, karena ada anggota Poros Aidit/Sjam yang
membelot, yakni Pangkostrad Mayjen Suharto. Karena Mayjen Suharto memiliki
akses ke Faksi Aidit/Sjam dan Operator (Untung/Doel Arif), maka Suharto bisa
dengan cepat pula menggulung unsur-unsur Faksi Aidit/Sjam, dan juga unsur
operator. Letnan Doel Arief selaku pelaksana di lapangan, paling awal
dihabisi, oleh pasukan di bawah Kol Ali Murtopo (tentu atas perintah
Suharto). Letkol Untung masih sempat melarikan diri, namun akhirnya
tertangkap juga, dan segera dieksekusi. ***

_____________
TNI Watch! merupakan terbitan yang dimaksudkan untuk mengawasi prilaku TNI,
dari soal mutasi di lingkungan TNI, profil dan catatan perjalanan
ketentaraan para perwiranya, pelanggaran-pelanggran hak asasi manusia yang
dilakukan, politik TNI, senjata yang digunakan dan sebagainya. Tujuannya
agar khalayak bisa mengetahuinya dan ikut mengawasi bersama-sama.


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke