Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000
------------------------------

"IBLIS" MENGEJAR PENCULIK

(POLITIK): Bermodal SP3, para penculik aktifis bisa dikejar. Puspom TNI
telah periksa 3 orang Inteldam. Kesangkut di mana?

Minggu ini, Hendrik Sirait, aktifis Aldera (Aliansi Demokrasi Rakyat) yang
pernah diculik tentara berencana mendatangi Mapolda Jaya. Pihak pengacaranya
dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) disebutkan telah
mengirim surat resmi kepada Kapolda. Pertemuan tersebut rencananya
membicarakan kelanjutan kasus penculikan dirinya yang berlangsung tahun
1996. Pihak Polda saat dihubungi mengaku belum menerima surat dimaksud.
"Bisa saja belum sampai".

Sebagaimana diberitakan media massa tiga tahun lalu, 1 Agustus 1996
Pengadilan Negeri Jakpus menggelar sidang gugatan Megawati Soekarnoputri
setelah Kantor DPP PDI-nya diserbu milisi dan ABRI, 27 Juli 1996. Saat
itulah, Hendrik Sirait yang turut menghadiri persidangan dibawa paksa ke
Inteldam Jaya, Jalan Kramat V, Jakarta. Mulanya Sirait tidak mengetahui akan
dibawa ke mana. Sepanjang jalan bersama tiga orang yang menyergapnya, ia
ditiarapkan di bagian tengah mobil. Dua pasang kaki menekan punggungnya.
Belakangan diketahui, satu dari ketiga orang itu bernama belakang Hutabarat.

"Di markas intelejen Kodam Jaya, sampai tanggal 6 Agustus," kisah Sirait.
Babak belur? Tidak usah ditanya. Seperti Wisma Karti, tempat penyiksaan
Badan Intelejen ABRI (BIA), Inteldam Jaya sudah terkenal sejak lama. Seorang
penyiksa paling kejam sekaligus "kreatif" dipanggil "Cepu-2". Tentu nama
sandi antar mereka. Di tangan Cepu-2, kedua telinga Sirait disetrum dan
sekujur punggungnya disundut bara rokok.

Apa yang mereka minta? "Saya dipaksa mengakui sebagai anggota PRD (Partai
Rakyat Demokratik, organisasi yang disebut Syarwan Hamid dan Soesilo
Soedarman sebagai otak kerusuhan 27 Juli-red), dan otak ancaman bom di
beberapa gedung di Jakarta." Mengaku? "Semua isi BAP saya isinya jawaban ya,
tidak ada jawaban tidak". Padahal, para intel tadi mengetahui persis
aktivitas Sirait di Pijar di mana dia menjadi Kepala Biro Aksi.

Hendrik mengaku ketakutan. Wajar saja, situasi dirinya kala itu dan kondisi
di luar memang tengah mencekam. Tempat kost dan "kantor" aktivis gerakan
oposisi tengah "disisir". Pasca 27 Juli selama beberapa waktu, memang tidak
ada aktivitas demonstrasi berarti. Komnas HAM baru kedatangan aksi delegasi
petani 5 hari kemudian.

"Kenyataan itu meyakinkan saya, bahwa kebijakan menyapu aktivis oposisi
bersumber dari pimpinan tinggi militer," mantap Sirait yang akrab dipanggil
"Iblis" (entah kenapa). Pengungkapan kasusnya, menurut Iblis turut membuka
siapa yang menginginkan Megawati tergusur dan siapa yang memberi perintah
langsung.

Sebab, mimbar bebas di Jl. Diponegoro, 27 Juli 1996, penculikan dirinya,
ancaman bom dan pembersihan kelompok oposisi kala itu merupakan satu mata
rantai kejadian.

Hal sama juga diungkapkan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Bambang Widjojanto yang
sempat menjadi pengacara Iblis tahun 1996. Dalam BAP versi Inteldam mereka
mengejar keberadaan Widjojanto dalam gerakan oposisi di luar Megawati. Apa
yang dirancang Kodam? (Gubernur DKI Sutiyoso waktu itu menjabat Pangdam
sebagai "hadiah" keberhasilannya mengamankan Konferensi APEC di Bogor).

"Cerita yang dikarang para penculik saya adalah bahwa Bambang dan YLBHI-nya
merupakan think-thank gerakan," ungkap Iblis. Kurun waktu itu Kantor YLBHI
di Jl. Diponegoro memang menjadi tempat berkumpul banyak kelompok oposisi,
khususnya kota Jakarta. Sejumlah nama pun dikonfrontir kepada Iblis dan
dipaksa mengakui mengenal mereka. "Kecuali nama Garda Sembiring (Ketua
Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi/SMID Jabotabek-red) saya menyatakan
tidak tahu". Pengakuan itu bersebab, para pemeriksa memperlihatkan rekaman
video dan photo dimana Iblis mendekap Garda saat yang bersangkutan hendak
ditangkap petugas Brimob pada aksi Tragedi Makassar Berdarah, April 1996 di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kondisi fisik dan mental yang kepayahan tidak memberi pilihan lain kecuali
jawaban: "Ya". Kenapa? "Kalau mereka tidak suka jawaban saya, lantas saja
tangan atau benda apa saja mendarat di muka dan badan saya". Bahkan suatu
kali ia diajak duel oleh Serka Rahmat, salah seorang interogatornya lantaran
cuma mesem ketika ditanya, "Kamu melawan pemerintah tujuannya mau jadi
Mendagri, khan?"

Sejatinya yang mesem bukan Sirait seorang. Di tahanan Polda Metro Jaya,
tempat ia 'dilimpahkan' kemudian tanggal 6 Agustus 1996, seorang Polwan
mengulum senyum ketika membaca BAP dari Inteldam itu. "Kamu pasti dihabisi
ya sampai memberi jawaban-jawaban tidak masuk akal begini?" tanyanya seperti
dikisahkan Iblis.

Tertangkap kesan, pihak Polda merasa kesal dengan sikap militer yang main
limpah. Terbukti Polda pun kemudian mau tidak mau harus mengeluarkan surat
penangkapan. Tanggal tertulis: 27 Juli 1996. Sirait pun disebutkan
tertangkap tangan dalam peristiwa di hari itu. Atas dasar inilah belakangan,
Agustus tahun 1999, Polda memberi kemungkinan dikeluarkannya Surat
Penghentian Penyelidikan (SP3) kepada Hendrik Sirait.

Syaratnya? "Anda jangan mempra peradilankan Polda". Bagi Sirait dan
pengacaranya syarat itu tidak masalah. Toh yang diburu adalah orang-orang di
tubuh militer. Serka Rahmat, seorang yang waktu itu berpangkat Letnan Dua
dan Letnan Kolonel yang memeriksanya pun cuma operator belaka. Cuma, hingga
tahun berganti dan kasus 27 Juli tengah memasuki tahap baru pengungkapan
kembali, kasus penculikan dan penyiksaan Hendrik Sirait ini tidak kunjung
dikutak-kutik. SP3 yang dijanjikan pun belum di tangan. Pihak Puspom sendiri
saat diminta penjelasan oleh pengacara dari PBHI hanya mengatakan telah
melayangkan panggilan kepada ketiga orang tersebut. Sayangnya, tidak satupun
bersedia hadir.

Uniknya, Pangkostrad Mayjen Djaja Suparman membantah ada orang Inteldam
bernama Serka Rahmat.

"Saya waktu itu di Kodam dan bertanggungjawab atas semuanya". "Lalu
bagaimana, Blis?" tanya Xpos.

Yang ditanya hanya beranjak dari pekuburan Pondok Rangon. Tempat sang ibu
dimakamkan lebih dari setahun lalu. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke