Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000 ------------------------------ OMBUDSMAN ITU BERNAMA KOMNAS HAM (POLITIK): Komnas HAM akan putuskan mekanisme penyelesaian "kasus-kasus lama". Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi jadi usulan. Ombudsman? Mana lebih adil: mengkonsolidasi perdamaian di mana HAM terjamin kini atau mencari keadilan ke masa lampau yang bisa membahayakan perdamaian itu?" tanya Presiden Uruguay Sanguinetti, tahun 1989. Sanguinetti kemudian lebih memilih memberi amnesti kepada "orang-orang lama" ketimbang membawa mereka ke pengadilan atas pelanggaran hak asasi yang mereka lakukan. Alasannya, sistem demokrasi yang baru dimulai harus diberi landasan kokoh. Keadilan, selanjutnya dirumuskan sebagai penciptaan kondisi demokrasi yang stabil sesegera mungkin. Mengadili tokoh-tokoh orde otoriter, terlebih dari kelompok militer, hanya berakibat instabilitas. Oleh Sanguinetti pemberian amnesti terhadap pelaku-pelaku pelanggaran HAM menjadi "suatu kewajiban moral lain". Artinya, ia pun mengakui betapa pentingnya kewibawaan hukum nasional ditegakkan. Apakah ujung amnesti tadi berbuah rekonsiliasi atau justru pelanggengan impunitas? Argentina di bawah rejim Bignone menunjukkan bagaimana formula pengampunan nyata identik dengan pemberian kekebalan. Undang-undang Perdamaian Nasional ala Bignone seterusnya dicabut oleh pemerintah baru yang menumbangkannya, Desember 1983. Selang 2 minggu pemerintahan tersebut dibentuk. Apa relevansi untuk Indonesia? Sampai hari ini, sebuah litani panjang tengah dimantrakan bersama. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) nyaris tiap hari menerima delegasi-delegasi masyarakat yang menginginkan pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) atas kasus-kasus pelanggaran HAM orde Soeharto. Tangan penggumam litani itu menyodorkan lilin-lilin untuk mendapat nyala. Minggu lalu, dalam dua hari tiga kelompok aksi menuntut hal sama mendatangi Komnas. Delegasi korban peristiwa Tanjung Priok 1984 meminta Komnas "adil" terhadap semua kasus pelanggaran HAM dan bukan hanya kepada Timor Timur. Keesokannya delegasi lain datang berasal dari korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II serta korban kerusuhan Mei 1998. Lantas kenapa? "Masalahnya, tidak mungkin untuk semua kasus HAM di masa lalu kita buatkan KPP-nya," ungkap Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. Sementara, lanjut Nababan, pihaknya pun tetap menginginkan semua kasus itu bisa diselesaikan. Rencananya, sebelum rapat pleno Komnas Selasa minggu ini, Komnas akan bertemu Presiden Abdurrahman Wahid membicarakan soal-soal terkait. Alternatifnya, demikian Nababan adalah melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi(KKR). Suatu alternatif yang juga disebut-sebut banyak pengamat dan aktivis HAM Indonesia. Pertimbangannya, membentuk KPP HAM memakan waktu lama dan -tentu saja- biaya besar. Di sisi lain militer merasa telah "cukup" sampai kasus Timor Timur mereka "dipermalukan" secara institusi. Tajuk besar di media massa belakangan seputar isu kudeta militer turut menjadi timbangan. Chili masa Aylwin pun menentang pengadilan bagi anggota-anggota militer tetapi bertekad menyingkap kebenaran. Aylwin membentuk KKR dengan menyebutnya sebagai "hati nurani dan moral bangsa". KKR Aylwin menyelidiki dan melaporkan selengkapnya pembunuhan-pembunuhan politik dan penghilangan paksa selama rejim militer berkuasa. Laporan-laporan tersebut dibuka bagi publik, namun pelaku kejahatan tidak diajukan ke pengadilan. Terhadap para korban dan keluarga ganti rugi diberikan. Apa yang terjadi sebetulnya adalah suatu proses politik di mana kompromi menjadi pilihan. Pemerintahan baru, diam-diam atau terang-terangan, menjamin 'orang-orang lama' tidak akan menjadi sasaran eporistik akumulasi kekesalan rakyat. Sebagai imbalannya, pemerintah baru terhindari dari resiko digoyang oleh konsolidasi status quo. Beda antara KPP HAM dan KKR tampaknya terletak di sana. Tidak ada pengadilan bila memilih yang terakhir. Sampai di sini, keadilan dan mengungkap kebenaran ditempatkan saling seberang. Samuel P Huntington yang mendokumentasikan dengan baik debat perlu-tidaknya "orang-orang lam" diadili tak nyana turut pusing. Ia memilih bersembunyi di balik kalimat: "pemerintah baru sebaiknya tidak mengadili, tidak menghukum, tidak memaafkan dan juga tidak melupakan" (kasus HAM masa lalu). Bagaimana menentukan kasus A dibawa ke pengadilan HAM lalu lainnya lewat KKR? "Kesalahannya terletak pada aturan mengenai peradilan HAM," papar Koorninator Kontras Munir. Dimaksudkan, kasus-kasus pelanggaran HAM beratlah yang akan dibawa ke pengadilan HAM. Pelanggaran HAM lain di luar kategori berat diselesaikan lewat mekanisme KKR. Jeleknya, seperti biasa definisi mengenai pelanggaran HAM berat itu tidak jelas seperti apa. Sebagai pembanding Statuta Roma 1998 menyebutkan genosida, penculikan, pemerkosaan, pemindahan paksa, serta memisah anak-anak dari orang tua sebagai kategori berat. Maka, kesan psikologis bakal mencuat kalau KKR dimaknai seperti di atas. "Seolah kasus Tanjung Priok yang belum diselidiki secara pro-justisia bukan kategori berat," lanjut Munir. Beberapa aktivis dan kelompok keluarga korban yang dihubungi pun menyebut emoh kalau komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang bakal dibentuk pemerintah tidak membawa pelaku dan penanggung jawabnya ke pengadilan. Di tengah-tengah pro-kontra itulah muncul usulan pembentukan lembaga ombudsman seperti terdapat di beberapa negara Eropa, Selandia Baru dan Jepang. Raja Swedia Charles XII tahun 1713 membentuk ombudsman dan selanjutnya ditetapkan dalam konstitusi tahun 1809 dengan nama Riksdagen Justitie Ombudsman. Lembaga ini bertugas menerima pengaduan-pengaduan langsung dari masyarakat, mengajukan class action berdasar inisiatif atau permintaan masyarakat, dan tentu saja mengawasi pelaksanaan HAM dan melaporkan secara terbuka. Mirip tetapi berbeda kewenangannya dengan Komnas HAM. Keanggotaan ombudsman pun bukan seperti komposisi Komnas sekarang. "Anggota Ombudsman terdiri dari para juris yang ditetapkan oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen," tulis Prof Satjipto Rahardjo di harian Kompas, 16 Januari 1976 ketika pertama kali ia mengusulkan. Raharjo ketika terlibat di Komnas HAM pun kembali, bersama-sama Prof Sri Sumantri, mendorong pembentukan ombudsman bagi Indonesia. "Tetapi biayanya besar," teriak Jeremy Pope dalam buku terbitan Transparancy International. Sudah pasti. Tapi membentuk KPP yang aksidental dan ad hoc terhitung lebih besar. Apalagi, Komnas HAM sejatinya telah menjadi pengawas dan penerima pengaduan. Tinggal di-pluskan. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html