Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 07/III/5-12 Maret 2000
------------------------------

KEBENARAN VERSI PRABOWO

(POLITIK): Prabowo merasa "dijebak" saat meletus kerusuhan Mei 1998.
Benarkah Wiranto sengaja meninggalkannya di Jakarta?

Dua tahun berlalu, sejak terjadinya kerusuhan berdarah bulan Mei 1998.
Letjen (purn.) Prabowo Subianto merasa sudah saatnya bicara blak-blakan.
Mutasi besar-besaran di tubuh TNI yang digambarkan sejumlah pengamat militer
sebagai upaya "de-Wiranto-isasi", mungkin dianggapnya sebagai momen yang
tepat untuk menumpahkan uneg-unegnya. Selama ini, ia hanya bersikap defensif
menanggapi pemberitaan di berbagai media massa yang dianggapnya terlalu
menyudutkan dirinya.

Ketika ia merasa harus bicara, pun media yang dipilihnya bukan dari dalam
negeri -yang dikhawatirkan tidak independen dari kekuatan politik tertentu-
melainkan mingguan berbahasa Inggris, Asiaweek dalam edisi awal Maret ini.
Keengganan Prabowo berbicara selama ini, mau tak mau telah menjadikan
peristiwa kerusuhan Mei '98 hanya sebagai cerita tentang gagalnya upaya
"kudeta militer" oleh Prabowo dan kawan-kawan (sikap diamnya memang bisa
dimengerti, sebab ia toh merasa tak ada gunanya membela diri dalam situasi
yang takkan menguntungkan dirinya. Beberapa saat sebelum pecahnya kerusuhan
Mei, bersama sejumlah perwira muda Kopassus, ia dianggap bertanggungjawab
terhadap penculikan dan penyiksaan sejumlah aktifis HAM). Dalam versi yang
terlanjur berkembang, Prabowo dianggap sebagai orang yang menggerakkan
sejumlah provokator untuk membakar emosi massa, serta dicurigai hendak
mengambil alih kekuasaan dari tangan Habibie.

Versi yang diungkapkan Prabowo sungguh bertolak belakang. Ia mengungkap
sejumlah fakta yang selama ini tidak diperoleh media massa mengenai cerita
seputar kerusuhan Mei. Misalnya, ketika pembakaran dan penjarahan sudah
mulai terjadi di Jakarta pada 13 Mei 1998, Prabowo yang ketika itu masih
menjabat sebagai Pangkostrad mengaku telah menghubungi Panglima ABRI,
Wiranto untuk mendapatkan perintah agar bisa mengendalikan keadaan. Bahkan,
ia mengusulkan agar pawai kemiliteran di Malang yang dihadiri Wiranto saat
itu, dibatalkan saja. "Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali
pula saya mendapat jawaban, the show must go on, pertunjukkan harus
dilanjutkan," ungkap Prabowo.

Cerita Prabowo selanjutnya berkisar tentang upaya "penyingkiran" dirinya
secara sistematis oleh kubu Wiranto. Hal ini bermula dari keluarnya
pernyataan pers dari markas angkatan bersenjata, setelah terjadinya
kerusuhan, yang mendukung sikap organisasi massa NU -sebelumnya, NU
menyatakan supaya Presiden Soeharto mundur dari jabatan. Membaca surat itu,
Soeharto meminta Prabowo melacak dari mana asal surat yang tidak
ditandatangani itu. Anehnya, tak ada satu pun perwira tinggi mengaku telah
membuat surat itu. Meskipun menurut Prabowo, kopi faksimili surat itu
diperolehnya dari kantor Kapuspen ABRI, Brigjen A. Wahab Mokodongan.
Belakangan, setelah Soeharto mundur, keluarga Cendana menyalahkan Prabowo.
Ia dianggap pengkhianat. Pasalnya, banyak laporan sampai ke telinga Soeharto
yang mengatakan bahwa Prabowo dan Habibie, beberapa waktu sebelumnya, telah
mengadakan pertemuan berkali-kali. Di samping laporan bahwa Prabowo
melakukan pertemuan pada 14 Mei dengan Adnan Buyung Nasution dan sejumlah
tokoh lain. Hal ini diartikan sebagai upaya terencana untuk menyingkirkan
Soeharto. Dengan demikian, segala kesalahan pun ditumpahkan ke mukanya
-termasuk pernyataan pers misterius itu.

Prabowo mengaku, ia memang sempat bertemu Habibie setelah terjadinya
kerusuhan. Namun, menurutnya, konteks pertemuan itu bukanlah untuk merebut
kekuasaan, melainkan "untuk membicarakan cara terbaik menenangkan
kekerasan." Secara logis, Prabowo merasa tidak mempunyai motif apa pun untuk
merebut kekuasaan. "Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Seandainya
Soeharto bertahan tiga tahun lagi saja, saya sangat mungkin berpangkat
jenderal berbintang empat. Mengapa saya harus menyulut kerusuhan?" tanyanya.
Mengenai pertemuan dengan Adnan Buyung Nasutian dan kawan-kawan, baginya
sama sekali tidak ada relevansinya dengan kudeta. Pertemuan itu sendiri,
bukan ia yang menghendaki, tapi pihak Buyung. Sedangkan pertemuannya "secara
baik-baik" dengan Habibie, membuktikan bahwa ia waktu itu tidak hendak
"mengepung" dan mengambil-alih kekuasaan seperti yang dituduhkan Habibie
padanya.

Dari ceritanya, tampak sekali bahwa Prabowo ingin menunjukkan diri sebagai
korban yang terperangkap dalam situasi yang merugikan. Pertama, ketika
kerusuhan terjadi, Wiranto tidak berada di ibukota. Dengan sendirinya,
karena Prabowo dan Sjafrie Sjamsuddin (waktu itu Pangdam Jaya -red.) yang
berada di Jakarta, merekalah yang dianggap paling bertanggungjawab atas
keamanan. Kedua, meskipun sudah meminta mandat, Wiranto sebagai Panglima
tidak berbuat apa-apa. Di sini terkesan pula, Prabowo ingin mengatakan bahwa
seharusnya Wiranto yang bertanggungjawab. Memang, sejumlah pertanyaan
muncul, mengapa Wiranto bersikeras membawa sejumlah perwira tinggi pada 14
Mei 1998? Siapa yang bertanggungjawab atas pembuatan pernyataan pers militer
tentang Soeharto? Lalu, mengapa Panglima TNI membiarkan mahasiswa terus
berada di Gedung DPR/MPR sampai Soeharto jatuh?

Prabowo tak langsung menjawabnya. "Saya harus adil pada Wiranto. Ia memang
menginginkan reformasi, namun ia juga punya ambisi-ambisi politik," ujarnya
diplomatis. Prabowo diganti oleh Djohny Lumintang pada 22 Mei 1998, setelah
Habibie naik takhta dan Wiranto, sebagai Menhankam/Pangab, berjanji untuk
melindungi Soeharto dan keluarganya.

"Dosa-dosa" Prabowo semakin dilegitimasi dengan terbentuknya Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) untuk menginvestigasi terjadinya kerusuhan Mei 1998.
Dalam laporannya, TPGF menyimpulkan, peristiwa penculikan para aktifis HAM
berhubungan erat dengan kerusuhan Mei 1998. Hal yang menurut Prabowo lebih
merupakan opini ketimbang fakta. Munir, Ketua Kontras pun mengakui ada
perbedaan mendasar antara peristiwa penculikan aktifis dengan kerusuhan Mei.
Katanya, peristiwa Mei merupakan gerakan dari elit untuk perubahan politik.
Sementara perisitiwa penculikan, merupakan konspirasi untuk mempertahankan
sistem yang ada.

Mengenai peristiwa penculikan aktifis, Prabowo sama sekali tidak
menyangkalnya. Ia mengakuinya. Namun, menurutnya, apa yang dilakukannya itu
tidak terlepas dari pengetahuan para atasan.

Apa yang dikemukakan oleh Prabowo, bagaimanapun telah memberi perspektif
baru dalam melihat kembali tragedi berdarah Mei 1998. Soal apakah ceritanya
benar atau tidak, sulit untuk ditentukan. Toh ia bukan orang suci. Wiranto
dan Prabowo, masing-masing berbicara atas nama subyektifitas. Bisa jadi,
malah kedua-duanya tidak benar. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke