Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 07/III/5-12 Maret 2000 ------------------------------ BPPC BUBAR, UANG PETANI RAIB (EKONOMI): BPPC bubar membawa uang petani Rp1,9 trilyun. Soeharto, Tommy sampai Nurdin Halid harus bertanggungjawab. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belangnya. Tapi, BPPC membubarkan diri bukannya hanya meninggalkan keberuntungan dan berkah bagi para petani cengkeh, tapi malah meninggalkan utang dan membawa lari uang milik petani senilai Rp1,9 trilyun. Celaka. Itulah yang kini terjadi dan baru diungkap oleh para petani cengkeh di Sulawesi setelah mengadu dan meminta perlindungan dan penanganan Indonesia Corruption Watch (ICW). Itupun setelah pengorbanan kedua kalinya dari seorang petani di Desa Binturu, Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, yang rela membuntungi lengan kirinya sendiri dengan parang sebagai pelampiasan kekecewaan dan kekesalannya selama ini. La Bartang (50), petani cengkeh itu merupakan potret seorang rakyat biasa yang mengorbankan sebagian hidupnya untuk menebus penderitaan dan kekecewaannya terhadap berbagai kejadian di tanah air. Di saat sekitar 400 kawan dan tetangganya yang diundang untuk silaturahmi Lebaran, 15 Januari lalu La Bartang memilih memenggal lengan kirinya pada bagian siku hingga putus. La Bartang mengisahkan, sebagai petani dia merasakan kehidupan yang mencukupi dari pohon cengkeh yang ditanamnya. Dia sempat menikmati harga cengkeh Rp12.000 per kg. Oleh karena itulah, sekeluarnya dari penjara pada 1989 karena melakukan kekerasan ketika menjalankan tugas sebagai penagih utang, La Bartang dan kawan-kawannya yang pernah dipenjara itu berani membuka hutan 200 ha untuk dijadikan kebun, terutama tanaman cengkeh. Sebagai ketua kelompok dari lebih 100 orang petani, La Bartang biasa membantu petani lainnya yang kesulitan hidup. Dengan segala upaya, biasanya dia bisa membantu tetangga dan kawan-kawannya. Namun, semua itu berubah ketika pemerintah memutuskan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Anjloknya harga cengkeh membuat La Bartang dan kawan-kawannya kesulitan. La Bartang yang bisa menyekolahkan tiga anaknya sampai sekolah menengah, kemudian hanya bisa menyekolahkan dua anak lainnya hanya sampai lulus SD. Tahun 1993 dia menyampaikan protes itu ke DPRD Tk II Soppeng. Tahun 1994/95 ke DPRD Tk I Makassar, dan tahun 1996 ke Jakarta menemui Fraksi PDI. Akan tetapi, dampak kehadiran BPPC itu terus berlanjut meskipun BPPC sudah dihapuskan. Tanaman cengkeh banyak yang ditebang, yang ada pun kurang dirawat sehingga kurang menghasilkan. Tahun 1999 lalu, cengkehnya tidak menghasilkan. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, La Bartang harus berutang, total sampai sekarang utangnya telah mencapai Rp40 juta. Selama lima tahun (1992-1997) dilaksanakannya tata niaga cengkeh, Koordinator Badan Pekerja ICW Teten Masduki menduga adanya praktek penyimpangan yang meliputi pengabaian kesejahteraan dan keadilan petani cengkeh, ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pengelolaan dana petani, serta pemberian hak monopoli dan keuntungan sebesar-besarnya, terutama bagi kroni-kroni mantan Presiden Soeharto. Penyimpangan itu terjadi sejak berdiri hingga dibubarkannya BPPC, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 20 Tahun 1992 dan ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 91/KP/IV/92 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil produksi dalam negeri dan sejumlah peraturan menteri lainnya. Hal itu diungkapkan Teten Masduki, yang menemui Komisi V DPR, pekan lalu. Teten didampingi oleh Tim Penasehat Hukum ICW Iskandar Sonhadji, Apong Herlina dan Ida Warou beserta sejumlah staf lainnya, ditemui diterima oleh Darus Siska (F-Partai Golkar) dan stafnya. Seperti halnya ke Jaksa Agung, ICW juga menyerahkan segepok data penyimpangan yang dilakukan BPPC. Kedatangan Teten ke DPR, memang tak disertai La Bartang, yang keburu pulang ke kampungnya. Sebelumnya, ICW bertemu Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dari ICW hadir Teten Masduki, Apong Herlina, Bambang Widjojanto, dan I Wayan Sudirta. Menurut Teten, pihak-pihak yang berperan dan turut diduga melakukan penyimpangan, tidak terbatas pada mantan Presiden Soeharto dan putra bungsunya, Tommy Mandala Putra. Tetapi juga melibatkan sejumlah mantan pembantu presiden, seperti mantan Menteri Perdagangan Arifin Siregar, mantan Menteri Muda Perdagangan J Soedrajat Djiwandono, Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tungki Aribowo, mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin, mantan Menteri Koperasi Bustanil Arifin, dan mantan Menteri Koperasi Subijakto Tjakrawerdaya. Sedangkan dari Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), yang harus bertanggungjawab adalah Nurdin Halid. Selama ini, ungkap Teten, dana yang sudah terkumpul selama tata niaga Cengkeh dijalankan berjumlah seluruhnya Rp1,95 trilyun. Jumlah itu meliputi dana Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) senilai Rp76,3 milyar, dana Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) Rp670,5 milyar, Dana Penyertaan Modal (DPM) Rp1,1 trilyun dan Dana Konversi selama 1996-1997 Rp74 milyar. Meskipun BPPC sudah dibubarkan sejak 30 Juni 1998, namun sampai saat ini BPPC masih mempunyai kewajiban berjumlah Rp1,9 trilyun, yang harus dikembalikan kepada para petani cengkeh. Padahal, lanjut Teten, dari praktek monopoli BPPC selama ini, BPPC telah mengeruk keuntungan lebih dari Rp1,4 trilyun. Mewakili petani cengkeh, ICW menuntut pertanggungjawaban Soeharto dan mantan anak buahnya. Dalam kesempatan itu, Teten selain meminta DPR memanggil BPPC, juga mengusulkan dilakukakanya audit terhadap BPPC dan Inkud. Sementara menurut Koordinator Tim Penasehat Hukum ICW Iskandar Sonhadji, Soeharto telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar asas zuiverheid van oogmerk (wewenang harus dilakukan sesuai dengan sasaran yang tepat). Menurutnya cukup alasan untuk menyatakan Soeharto telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur delik dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi No. 3 Tahun 1971 pasal 1 ayat 1 sub b. "Keppres No. 20 Tahun 1992 jo Inpres No. 1 Tahun 19192 dan peraturan pelaksanannya adalah wujud dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Walaupun secara formal penerbitan Kepres dan Inpres tersebut sah, namun secara materiil, substansi Keppres dan Inpres tersebut yang menetapkan BPPC sebagai pemegang monopoli dalam tata niaga cengkeh adalah bertentangan dengan pasal 9 dan pasal 30 UUD 1945," tambahnya. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html