Sama seperti yg pernah saya alami....

Well, saya tumbuh di keluarga yang (kata orang) harmonis, saya juga besar di 
keluarga yang (kata orang) sempurna. tp, itu semua cuma caver, krn sebenernya 
saya nggak bahagia. orang tua saya tidak pernah sportif dalam mendidik 
anank2nya.nilai ulangan yang tiba2 jelek adalah sebuah dosa besar bagi mereka. 
sampe2 saya harus mendapat hukuman tanpa kasih sayang selama seminggu.

Pergi ke jalan2 sama temen, adalah hal yg tabu...

----- Original Message ----- From: Fitri To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday,
26 January, 2006 08:54 AM Subject: Aku ingin ibuku membiarkan aku bermain sesuka
hatiku, sebentar saja

Saya Buka Kembali Buku Hidup Saya



Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak 
sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu  saya 
memang harus  berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.  Pasalnya menurut 
observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, 
tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat 
sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan 
apa yang terjadi di rumah  sehingga anak tersebut selalu murung dan 
menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. 
Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada 
Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk 
mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya 
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk 
menjalani test IQ. Tanpa  persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal 
dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja 
namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor 
untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, 
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu 
kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata- 
Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang 
menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu 
Psikolog itu dengan  santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke 
tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian 
test kepribadian.  Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, 
setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah  yang menurutnya menjadi 
salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya 
saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika 
yang paling dalam itu  membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu 
yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."

 Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku,  sebentar saja"

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang 
memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir 
bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu 
menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan 
waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya 
main game di computer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu 
menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela  waktu luangnya yang 
memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan 
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah.

Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi 
ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka 
hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."

Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya

"Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari 
atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu.  Ia hanya ingin 
melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, Seperti apa yang diperintahkan 
kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat 
tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV 
secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. 
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh 
kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."

Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"

Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja 
keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu 
merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin 
menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya 
seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan 
beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."

Dikapun menjawab "Tidak  mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak 
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku  buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan 
bertindak benar, hingga  hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk 
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa   setiap kesalahan adalah 
dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk 
berbohong dan tidak mau  mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. 
Kesulitan baru akan muncul karena  orang tua tidak tahu kesalahan apa yang 
telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan 
untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk 
berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari 
sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga 
supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."

Dikapun menjawab "Berbicara  tentang hal-hal yang penting saja".

Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang 
sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut 
saya penting, seperti  menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. 
Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting 
untuk anak saya.

Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan 
tidak lebih penting dari  pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran 
tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu  pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",

Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara  tentang kesalahan-kesalahannya. 
Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah 
berbuat salah. Aku  ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf 
kepadaku".

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang 
tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin 
orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas 
kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ........"

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "

Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk 
adikku"

Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah 
tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, 
pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya 
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa 
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh 
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ....."

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata 
"tersenyum"

Sederhana memang, tetapi  seringkali seorang ayah merasa perlu menahan 
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal  kenyataannya senyuman tulus 
seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa 
menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu 
seperti yang ia lihat dari  ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku 
memanggilku...."

Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku  dengan nama yang bagus"

Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang 
paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, 
tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam 
Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le 
dari kata "Tole", kependekan dari kata "Kontole" yang berarti alat kelamin 
laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, 
karena hal itu merupakan sesuatu  yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku 
.."

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".

Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena 
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan 
logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena 
selama ini saya bekerja di  sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak- 
hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak 
anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya 
bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a 
Choise" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah 
Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak 
saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan 
bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang  polos dan dalam tingkah polah anak 
yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, 
ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi 
anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada 
ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, 
tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati 
anak-anaknya. Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang 
baik.

Untuk menyambut  Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004, saya ingin 
mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu berpikir, bersikap dan 
melakukan hal-hal yang bijaksana.

(Ditulis oleh : Lesminingtyas)

Evian Masters, du 21 au 24 juillet 2004"




--
http://lenterahati.wordpress.com

--------------------------------------------------
Berhenti (Quit):  [EMAIL PROTECTED]
Arsip milis:  http://groups.yahoo.com/group/smun65
Arsip Files:  http://groups.yahoo.com/group/smun65/files
Website: http://smun65.blogspot.com
Friendster: [EMAIL PROTECTED]
    - http://www.friendster.com/profiles/smun65
360 Yahoo!: http://360.yahoo.com/smun65jkt
--------------------------------------------------
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/smun65/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke