[EMAIL PROTECTED] wrote: > > Zaki, saya bukan futorolog jadi saya nggak tau pasti jawabannya :) > Dari dulu saya pikir otak (kiri atau kanan) sama2 penting. :D
Ah Mas Roby bisa aja ;) Memang pada akhirnya sebaiknya otak kanan dan otak kiri. Tapi masih terekam kuat dalam ingatan saya, bahwasanya paradigma yang umum terjadi adalah anak-anak yang lulus SMA lebih diarahkan orang tuanya untuk masuk kuliah eksakta khususnya teknik. Setelah saya kuliah, saya justru suka minder dengan teman-teman dari Fisika yang notabene menurut saya lebih pintar. Bisa jadi saya beruntung masuk Elektro cuma karena tahu trik UMPTN;). Saya melihat beberapa teman saya dari Fisika lebih pintar daripada saya. Khususnya di sisi Matematika. Walau ada juga salah seorang teman saya dari Fisika yang memutuskan untuk menjadi sastrawan. Nah menurut saya ini menarik. Satu orang teman Fisika saya lagi, suka sekali lagi dengan dunia astronomi (sekarang sedang S3 di Inggris), tapi masih baca karya sastra. Satu teman saya lagi, juga dari Fisika, malah menang lomba penelitian LIPI dengan tema Blog. Intensitas keragaman minat multidisplin yang tinggi dari teman-teman saya di Fisika ini tidak saya temui begitu tinggi di teman sejurusan saya. > Tapi menurut saya sih begini. Sekarang ini sains mulai menghadapi > masalah2 kompleks > yang membutuhkan berbagai pendekatan secara sekaligus secara bersama2. > Untuk masalah kompleks ini tidak ada satu pendekatan yang mujarab bisa > menjawab segala persoalan. Saya nggak tahu implikasi ke depannya > bagaimana. Ini hanya berdasar pengalaman pribadi saja, saya merasakan > sendiri batas disiplin ilmu tradisional kadang tidak lagi relevan. Saya > tidak tahu apakan trend ini general, atau terbatas di dunia kecil saya > saja. Saya cerita sedikit soal pengalaman kuliah. Ada satu mata kuliah yang sangat saya sukai yaitu Pemodelan dan Simulasi. Saya baru sadar, kalau kemacetan di kota besar itu tidak semerta akan langsung hilang dengan pembangunan jalan tol dan jembatan layang. Dan fenomena ini bisa dimodelkan (tentu dengan persamaan Matematika) untuk kemudian disimulasikan. Yang saya masih belum ngerti, bagaimana cara memodelkan fenomena sosial dengan persamaan Matematika. Kalau mau ditarik ke dunia teknologi, apakah dulu Sabeer Bhatia memang memodelkan hotmail-nya untuk dijual ke Microsoft? Atau gmail memang sengaja mengantisipasi jumlah pelanggan yg membludak dengan membuat sistem undangan? > Cheers, > Roby > > --- > http://robymuhamad.com/amerika Zaki Akhmad