Baraya,
Reueus. Geuning kalahka bangsa Babah, Nci, Koko & Ii nu daria ngamumule basa 
Sunda. Sanaos songong teu ngagunakeun UUBS, ih* PareDe we*"Siah gelo maneh! 
Teke ku aing!" sok kadangu we ari personalia di pakulian nu socana petet, 
nindak pagawe nu baong ngarumpak aturan pakulian. Sanes hoyong balik ngambek ka 
anjeuna, kalahka hoyong ngabarakatax hehehehe* 

Nyanggakeun wartosna di Kompas dinten ieu.

Soeria Disastra, Penyebar Virus Sunda
Her Suganda

Terlahir dari keluarga Tionghoa, tetapi karena politik yang sama sekali tidak 
dipahaminya, Bu Ru Liang (baca: Pu Ju Liang) muda harus mengganti namanya 
menjadi Soeria Disastra. Karena politik pula ia harus berpisah dengan 
teman-temannya karena sekolahnya yang khusus untuk etnis Tionghoa harus 
ditutup. Ia harus ikut menanggung dosa sejarah karena tidak bisa menyembunyikan 
ciri-ciri fisiknya. Padahal, tanpa ganti nama sekalipun, selama ini ia sudah 
merasa sebagai urang Sunda. Pengakuannya itu bukan sekadar basa-basi. Jejak 
langkah Soeria selama ini diperlihatkan melalui berbagai kegiatan kebudayaan 
sehingga ia merupakan penyebar virus kebudayaan Sunda di kalangan etnis 
Tionghoa Priangan. Lewat kegiatan itu, ia berusaha membangun sebuah dunia baru 
di kalangan etnis Tionghoa sehingga terjalin ikatan kekeluargaan lebih erat 
dengan masyarakat sekitar.

Sejak 1995, Soeria mendirikan Paduan Suara Kota Kembang Bandung, yang hingga 
kini tetap eksis. Bersama dengan Presiden Komisaris Bank NISP Karmaka 
Suryaudaya, ia mendirikan Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan sejak 24 Juli 
2002. Melalui lembaga tersebut, keduanya mengetuk pintu hati kedua etnis yang 
sama-sama hidup di Bumi Pasundan. "Kami lahir dan dibesarkan di sini, berusaha 
di sini, dan mungkin menutup mata di sini," katanya diselingi bahasa Sunda.
 
Menurut dia, organisasi etnis Tionghoa yang paling sehat adalah organisasi yang 
mengedepankan prinsip berbaur dengan etnis non-Tionghoa. "Baru kemudian bisa 
betul-betul jadi satu keluarga," tambahnya.
Paduan suara
Paduan Suara Kota Kembang Bandung, yang beranggotakan sekitar 100 orang, 
merupakan salah satu pintu masuk Soeria untuk menyebarkan virus budaya Sunda di 
kalangan etnis Tionghoa di Bandung. Kegiatan itu sekaligus untuk mendorong 
terjadinya pembauran. Para anggota adalah alumni Sekolah China Chiau Chung, 
tempat Soeria pernah menimba ilmu. Usia para pesertanya rata-rata 40-70 tahun.
Walau terdapat peserta yang tergolong sudah manula, semangat mereka tetap 
tinggi. Selama 15 tahun ini mereka tetap gigih berlatih pada tiap Rabu malam, 
menyanyikan lagu-lagu Sunda dan lagu China. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, 
mereka berani tampil di depan publik untuk memperlihatkan kepiawaiannya, 
seperti di berbagai gedung kesenian di Bandung dan tempat lainnya.
Bahkan, saat membawakan lagu "Lemah Cai" dan "Hariring Bandung" saat pembukaan 
pameran buku di Gedung Landmark Bandung, mereka memesona hadirin. Lagu 
puji-pujian terhadap Indonesia yang menjadi Tanah Air-nya dan senandung Kota 
Bandung sebagai tempat kelahirannya itu membuat haru pendengar. Lagu itu 
merupakan pencerminan kerinduan isi hatinya yang terpendam bahwa mereka juga 
merupakan bagian dari etnis Sunda di Bumi Parahyangan.

Seolah mewakili perasaan saudara-saudaranya, dalam bukunya, Senja di Nusantara, 
ia secara terbuka mengungkapkan kegalauan hatinya. Di buku kumpulan esai, 
puisi, dan cerpen itu dia menulis, Selama puluhan tahun, orang-orang Tionghoa 
di Indonesia begitu tidak dikenal, begitu tidak dipahami dan begitu banyak 
disalahpahami (Menjadi Perambah Zaman Baru). Padahal, masa kanak-kanaknya 
dihabiskan bersama teman- teman sebayanya dari etnis Sunda di daerah Cicadas, 
sebuah daerah yang tergolong kumuh. Ia menggemari komik, buku-buku sastra 
Sunda, dan kesenian Sunda. Semasa mudanya, ia juga penggemar wayang golek.
 
Kelompok kesenian ini merupakan cara Soeria membuka pintu dengan etnis Sunda 
dan yang lainnya. Pada setiap pagelaran, Paduan Suara Kota Kembang Bandung 
selalu berusaha berkolaborasi dengan kelompok atau komunitas kesenian Sunda 
lainnya. Lewat panggung terjalin rasa kebersamaan. Soeria lebih dikenal di 
kalangan para pegiat dan pelaku seni dan budaya Sunda.
 
Kegiatan sastra 
Peminat sastra ini juga menaruh perhatian dengan mendorong kehidupan sastra 
Sunda. Dulu, ketika majalah Seni Budaya asuhan Tatang Benyamin Koswara, putra 
sulung tokoh legendaris karawitan Sunda, Koko Koswara atau Mang Koko, tiap 
tahun Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan menyerahkan hadiah untuk cerpen 
terbaik yang dimuat majalah itu.
Lewat lembaga ini, Soeria dan Karmaka Suryaudaya menyelenggarakan kegiatan 
untuk mendorong penulisan sastra Sunda. Dengan kerja sama Paguyuban Pangarang 
Sastra Sunda (PPSS), Penerbit Kiblat Buku Utama, Lembaga Kebudayaan Mekar 
Parahyangan menyelenggarakan sayembara menulis esai kritik buku kumpulan cerita 
pendek mini Ti Pulpen tepi ka Pajaratan Cinta. Kegiatan ini didukung sejumlah 
media Sunda, seperti majalah Mangle, Cupumanik, Seni Budaya, dan tabloid 
Galura. Karya-karyanya dalam bentuk terjemahan pernah mengisi majalah Sunda 
Cupumanik yang saat itu diasuh Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan.
Karena menguasai bahasa Mandarin, ia juga menjadi pelaku sastra Tionghoa dengan 
mendirikan Perhimpunan Penulis Yinhua (Tionghoa-Indonesia) untuk menampung 
minat sastra masyarakat Tionghoa. Rubriknya di Harian Internasional tampil 
seminggu sekali.
Di antara kesibukannya berwiraswasta, ia menyempatkan diri menerjemahkan 
karya-karya sastra penulis Tiongkok. Salah satu bukunya, Tirai Bambu, merupakan 
antologi puisi Tiongkok-Indonesia. Bahkan, dia baru menyelesaikan menerjemahkan 
kumpulan 65 puisi Tiongkok modern Salju dan Nyanyian Bunga Mei karya Mao Ze 
Dong (1893-1976).
 
Soeria menilai, puisi Tiongkok modern memiliki beberapa persamaan dengan puisi 
modern di Indonesia.
HER SUGANDAPengurus Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/03304019/soeria.disastra.penyebar.virus.sunda

Kirim email ke