Duka ketang... heuheu. Eta mah mung saukur kirata alias dikira-kira
tapi nyata. Boa teuing kapungkurna di lembur abdi teh seueur ganggang
atanapi manuk... kedah naros ka para uyut surayut nu tos teu araya
dikieuna. Nembe noong na Wiki mah saurna :





Kareo Padi adalah spesies burung yang
mempunyai paruh, berdarah panas, dan membiak dengan cara bertelur.


http://id.wikipedia.org/wiki/Kareo_Padi



deuih, kantos maos na Kompas perkawis manuk Kareo nu aya di Malang...
da Wado ge caket sareng Malang... bong! hihii... (heureuy ieu mah....)



mangga, diaos.

ro2





MALANG, KOMPAS.com - Satwa jenis burung pun tergusur dari
Kota Malang. Saat ini Kota Malang lebih disesaki oleh bangungan hunian atau
bisnis, dan tidak lagi nyaman bagi habitat satwa seperti burung.

 


Jika
pada tahun 1996 setidaknya ada 35 jenis burung di Kota Malang, maka dari survei
Profauna Indonesia tahun 2009 jumlahnya menyusut tinggal 16 jenis burung saja
yang kini bertahan. 


"Populasi
burung memang mengalami penurunan jenis lebih dari 50 persen dibandingkan tahun
1996. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, mulai dari berkurang ruang terbuka
hijau hingga kecenderungan pepohonan di Kota Malang kini menjadi homogen,"
ujar Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid, Senin (1/2) di Malang.

 


Ada beberapa jenis burung yang
membutuhkan pohon tertentu atau minimal dengan spesifikasi khusus untuk hidup.
Jika pohon itu lenyap, maka burung-burung ini juga lenyap. 


Beberapa
jenis burung yang hilang di Kota Malang misalnya Kareo, Manyar, Prenjak Jawa,
Bondol Peking, Bondol Jawa, dan sebagainya.

 


Burung
Kareo menurut Rosek hidup di pepohonan besar yang dekat dengan mata air jernih
(di Kota Malang
kala itu berada di lahan APP-sekarang berubah jadi permukiman mewah). Prenjak
Jawa butuh pohon yang juga memuat makanan baginya seperti belalang atau
serangga lainnya. 


"Itu
sebabnya pohon seharusnya tidak hanya dimaknai berfungsi estetik, namun juga
harus berfungsi ekologis yaitu memberi kehidupan pada burung-burung liar. Jika
tidak, maka keanekaragaman hayati khususnya satwa di Kota Malang akan semakin
menipis," ujar Rosek. 




Jalan
Ijen yang secara kasat mata tidak terjadi perubahan signifikan pada tetumbuhan
di sana saja, menurut Rosek juga telah terjadi
pengurangan jenis burung di sana.
Jika sebelumnya di 




Jalan Ijen dapat dengan mudah ditemui burung Manyar, Bondol
Jawa, Bondol Peking, dan Bondol Haji, maka saat ini menurut Rosek di sana hanya
ada burung gereja dan Bondol Jawa. 


Untuk
kasus di Jalan Ijen ini mungkin saja akibat penangkapan burung. Di sana 
beberapa kali memang
terlihat ada upaya penangkapan burung oleh masyarakat, imbuh Rosek. 




Dengan
kondisi itu, Rosek berharap Pemerintah Kota Malang tanggap dengan indikasi
penurunan habitat burung perkotaan ini. Jika tidak dibuat aturan mengenai pohon
dan habitat di dalamnya, maka keindahan Kota Malang sebagai Kota Bunga
lama-lama akan terkikis. 


Saat
ini berdasar data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang, jumlah ruang
terbuka hijau di Kota Malang hanya tersisa 17 persen dari total luas lahan
sebesar 11.005,7 hektar (ha). Ditargetkan dalam 15 tahun ke depan, jumlah RTH
di Kota Malang
bisa kembali 20 persen seperti kondisi seharusnya.

 


Kondisi
idealnya RTH di suatu wilayah sebesar 20 persen dari total luas lahan yang ada.
Saat ini di Kota Malang tersisa 17 persennya. Kekurangan tiga persen RTH akan
dipulihkan secara bertahap, dan ditargetkan dalam lima tahun setidaknya ada 1 
persen RTH yang
akan kembali. 



"Sehingga dalam 15-20 tahun ke depan kondisi RTH di Kota Malang akan memadai 
seperti kondisi
normalnya," ujar Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang, Wasto.





--- On Mon, 6/9/10, jangdede <jangd...@gmail.com> wrote:

From: jangdede <jangd...@gmail.com>
Subject: Re: [Urang Sunda] Anu Ci Ci an tea
To: urangsunda@yahoogroups.com
Date: Monday, 6 September, 2010, 12:23 PM







 



  


    
      
      
      Tah sumuhun Ceu..eta.
hese pisan ngadeskripsikeun nana.
 
 


 




 



  





Kirim email ke