http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/24/o3.htm
Mereka tak Sekolah, Pedulikah Kita? Agus Yulianto, S.TP. PENDUDUK Bali usia 7 - 12 tahun (usia Sekolah Dasar), berdasarkan data hasil survai BPS Propinsi Bali tahun 2005 dari 363.712 penduduk usia sekolah, ternyata 95,7% yang sedang sekolah. Sisanya 2,5% tidak/belum pernah sekolah dan 1,8% putus sekolah. Artinya kira-kira penduduk yang belum/tidak pernah sekolah di Bali adalah 9.093 anak dan anak yang putus sekolah 6.438 anak. Atau kira-kira 15.531 anak tidak sekolah. Sementara usia 13 - 15 tahun (usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dari hasil survai yang sama pada tahun 2005 dari 154.148 penduduk usia 13 - 15 tahun, persentase anak yang sekolah lebih kecil dibandingkan anak usia 7-12 tahun, yaitu 83,59 %, sisanya 1,08 % tidak/belum pernah sekolah dan 15,34 % tidak sekolah lagi. Artinya, kira-kira 1.649 anak tidak/belum pernah sekolah dan 23.646 anak putus sekolah. Atau kira-kira 25.295 anak tidak sekolah. Jadi kalau kita jumlahkan, kira-kira 40.826 anak yang seharusnya wajib belajar ternyata tidak sekolah. Kesalahan siapa yang menjadikan anak-anak tersebut tidak sekolah? Tentu kita tidak akan berbeda pendapat bahwa itu semua adalah menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah. Untuk membuka kesadaran kita, ada baiknya kita belajar dari Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang disertai dengan mengupas realita. Undang-undang mengatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. Sedangkan warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP atau sederajat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, (2)a. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dasar diselenggarakan dengan memberikan pendidikan yang meliputi antara lain menumbuhkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pembangunan watak dan kepribadian serta pemberian pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan dasar pada hakikatnya merupakan pendidikan yang memberikan kesanggupan kepada peserta didik bagi perkembangan kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, setiap warga negara harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan dasar. Peran serta masyarakat merupakan perwujudan peranan masyarakat yang juga mencakup peran serta keluarga, sebagai mitra pemerintah di dalam penyelenggaraan pendidikan. Peranan tersebut menuntut penciptaan keadaan hubungan atas dasar kedudukan yang sama dan dengan penuh kesadaran akan kewajiban mengabdi kepada bangsa dan negara. Peran serta masyarakat dimaksudkan agar masyarakat dapat ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan. Bentuk-bentuk peran serta masyarakat antara lain dapat berupa: pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan, pemberian bantuan tenaga kependidikan, pengadaan dana, dan pemberian bantuan fasilitas pendidikan lainnya. Atau dapat mengadakan forum konsultasi, kerja sama, dan koordinasi antara penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pembicaraan mengenai pemerataan kesempatan berpendidikan atau belajar mencakup tiga aspek. a) Pemerataan Kesempatan (equality of opportunity). Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan dan untuk itu pemerintah mengusahakan system pendidikan nasional yang diatur oleh undang-undang. b) Peluang untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan, yang tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, ekonomi, agama dan lokasi geografis. c) Keadilan dan kewajaran (equity). Sesuai dengan prinsip keadilan dan kewajaran peserta didik diperlakukan menurut kemampuan, bakat dan minatnya. Kendala yang cukup menonjol adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam kenyataannya masih cukup tinggi jumlah penduduk miskin yang pada umumnya bermukim di desa tertinggal yang berdampak pada terbatasnya daya jangkau pendidikan. Hal ini disebabkan keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Di samping itu, cara pandang yang kurang poisitif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Masih ada anggapan sementara penduduk bahwa pendidikan tidak akan menjamin perbaikan taraf hidup. Hal itu berakibat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Di samping itu terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak usia sekolah SD dan SLTP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk daerah terpencil terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga masyarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan [Non-text portions of this message have been removed]