mBak Herni,

Sebagai pengikut pasif milis sejenis WM dan Apakabar cukup lama, 
saja kagum dengan banyaknya miliser yang pinter2 dan bisa bicara 
dari berbagai jurusan. Mereka pasti punya banyak sekali buku dan 
(mungkin) kesulitan dengan ruang simpan. Itulah, kenapa saya share 
pengalaman bikin attic untuk perpus dengan memanfaatkan bagian rumah 
yang sebelumnya mubasir. 

Ini saya sudah jalankan dan wokeh :) sekali. Artinya, sebagai 
rencana: feasible, workable dan hasilnya ya wokeh itu tadi. Sering 
terjadi rebutan antara anak perempuan saya dgn emaknya, karena musik 
J-rock, nonton TV atau baca buku agak sulit gabung. Dan, kalau 
jendral2 yang pakai, kopral trima sisa. Pulang kerja jam 8, saya 
nggak bakalan dapat kapling. 

Ruang seperti ini tentu tidak harus buat perpustakaan. Serbagunalah, 
tergantung yang punya. Bisa buat karaoke, ruang kerja, home theatre, 
buat semedi atau praktek santet kalau pemiliknya sejenis Ki Gendeng.

Bicara soal koleksi, saya rasa memang ada yang tidak rasional di 
kegiatan ini. Menikmati koleksi tidak harus sesuai fungsinya, jadi 
tentu bisa berbeda cara (kebayang kan, kalau kolektornya seperti 
jendral siapa tuh, yang ngumpulin senjata). Ada kolektor prangko, 
kain tenun, records, coins, tanaman yang harganya diitung per daun. 
You name it. Kelakuan orangnya juga macam2. 

Kawan saya, orang kaya, dia mengkoleksi lukisan. Yang dipajang di 
rumah adalah lukisan2 yang dia suka (hampir tidak pernah ganti) 
sementara seabrek sisanya (sebagian lukisan `aneh2') ditaruh di 
gudangnya (jangan bayangkan seperti gudang kebanyakan orang). 
Mungkin sekali2 dipandang2 juga dan mestinya ada kenikmatan dalam 
proses memandang-mandang tadi. Buat kolektor pas-pasan, proses 
mencari dan mendapatkan (dengan harga bagus) bisa memberikan 
kepuasan (buat yang kaya, barangkali waktu nulis cek ya). 

Awalnya tentu berbeda2 tergantung pengalaman hidup, tabiat dan isi 
kantong. Kebetulan bukulah yang saya suka (tapi kalau dibilang 
kolektor tentu tidak, penggemar buku barangkali). Apa dibaca semua? 
Maunya gitu, apa daya, ilmu cetek. Sesekali ngelap, ngatur ulang dan 
buka2, sudah `nyesss' di hati.

Sebagai sumber informasi, buku dalam arti `hard copy' sudah mulai 
disaingi oleh `perpus google'. Sepuluh tahun lalu, cari informasi 
tertentu harus ke perpus, ngintip ke toko buku atau nanya ke 
sumbernya. Sekarang tinggal google saja, baru cari buku yang sesuai 
kalau butuh lebih. Banyak waktu dan uang diselamatkan dengan cara 
ini. Tapi sebagai koleksi, no way google bisa saingi buku (google 
nggak bisa dipajang dan dilap ... hehehe).

Buku sekolah anak2 tentu bukan termasuk koleksi yang saya maksud. 
Tempatnya di kardus. Saya memisahkan sedikit buku tulis dan gambar 
anak2, khususnya saat mereka masih TK/SD. Saya pikir, one day mereka 
bisa tunjukkan ke anak2nya. Sekarangpun mereka bisa ketawa-ketiwi, 
seperti liat foto2 lama. Lucu lho. 

Katanya, sekarang buku pelajaran tidak bisa dilungsur seperti dulu, 
karena tiap tahun ganti. Saya punya buku2 SD SMP SMA (3 anak / 2 
kardus besar). Saya google, nemu website pencinta buku yang mau 
terima, saya email, tidak ada response, walaupun  saya bilang saya 
antar.  Kalau ada yang bisa bantu alamat, saya bisa kirimkan. 

Tapi, kalau yang namanya koleksi ya dipajang di rak. Kalau dikasih 
orang, namanya sumbangan (dipinjemin juga ga balik!). Soal komik? 
Yang saya punya dan baca bolak balik adalah seri Asterix dan Lucky 
Luke (itu koboy yang bergerak lebih cepat dari bayangannya, musuh 
the Daltons). Sisanya komik2 jepang punya anak2, banyaknya bukan 
main. Koleksi 3 anak bertahun2. Untung disimpan di kamar masing2 dan 
tidak ada yang boleh sentuh. Saya bilang: "Sumbang saja ke perpus 
gereja". Mereka langsung koor: "Noooooo......"

Kepanjangan ya mBak? --- Tabik

(Soal barter, bisa tunggu saya jadi bos seperti kolektor lukisan 
temen saya itu? Kalo nyicil rmah, cari yang kolong gentengnya gede)


---------------

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Herni Sri Nurbayanti" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Ada sebagian orang yg memang menjadikan buku buat 'gaya'. Bukan 
cuma
> sekedar 'aksesoris' atau pajangan di rumah dlm bentuk rak buku, 
tapi
> juga buat 'gaya' di depan publik thd pengetahuannya mengenai 'buku2
> berat' yg sudah dia baca. Padahal menurut gw, komik kung-fu boy,
> asterix, tanguy & laverdue, dll juga bacaan yg berat, hehehehe. Ada
> satu adegan yg wokeh banget di pelem good will hunting yg mungkin
> tepat sekali menggambarkan orang2 pintar yg jago bergaya dng
> kepintarannya ini. Padahal, yg mereka jadikan bahan buat gaya 
adalah
> pemikiran orang. 
> 
> Tapi ini gejala normal. Kalau kita lagi nulis paper, baca semua 
buku2
> dan menyusun argumentasi... kadang2 kita hiper kesenengan dng apa 
yg
> kita tulis, padahal semuanya hasil (rangkuman) pemikiran orang atau
> kalaupun ada yg namanya kontribusi kita, setidaknya kontribusi kita
> sebenarnya gak banyak disitu. Bisa jadi, hanya karena kita mampu
> menyusun secara sistemis apa yg sebenarnya sudah banyak dibicarakan
> orang. Saya gak percaya dng vincentliong yg percaya dng 'karya atau
> pemikiran orisinil'. Apa sih orisinil? Buat saya, jangan2 itu cuma
> sebongkah kesombongan diri sendiri aja yg merasa pintar :)
> 
> Eniwei, balik ke laptop (nyontek mbak Rita :P)
> Seringkali, yg kita tulis susah2 dan perasaan hiper kesenengan 
karena
> akhirnya nih otak ngerti juga apa yg ditulis di buku2 dan 
jurnal2 :P,
> jadi berbalik melempem setelah ketemu dosen, yg dng santainya narik
> garis lurus dari atas ke bawah, pertanda dia berkata 'yg elu tulis 
itu
> gak guna!' atau cuma komentar sederhana, bab 2 ini dibuang aja
> deh...:-) Nasibnya pun berubah jadi kertas pembungkus tempe yg 
dipakai
> abang2 jual tempe di pasar :)) 
> 
> Yg penting itu, we are what we read. Percuma baca buku banyak2,
> berat2, kalo itu gak membekas dan mempengaruhi karakter kita. 
Banyak
> orang 'ndablek' yg punya latar belakang pendidikan yg wokeh lho.
> Mungkin nilainya di sekulah bagus2 juga. Gak kaya saya yg lulusnya
> pas2an :)) Tapi ya itu, mental dan cara berpikirnya ndablek. I call
> them: the modern idiots :)
> 
> Soal koleksi buku, ngapain cuma dipajang di rak. Mending dikasih ke
> orang yg mau baca. Apalagi buku SD gitu lho... Iya sih, mungkin aja
> ada 'ikatan emosional' dng buku. Tapi kan kita emang harus 
mengatasi
> segala 'ikatan emosional' yg berlebihan kan? Lha, Rasul bilang 
kalau
> mau ngasih ke orang lebih baik barang yg paling kita senangi, 
hehe.. 
> Kalo komik, itu lain hal.. soalnya, komik kan lucu. Jarang ada 
buku yg
> bisa bikin ketawa. Kebanyakan sih bikin pusing, apalagi buku 
politik.
> Gue bilang ke seorang dosen politik, kalo buku2 politik dijadikan
> buku2 guide ke kota tertentu, turis2 pasti pada tersesat, hehehe...
> kalo gw sekulah di jaman Belanda dulu, udah disetrap di pojok kelas
> karena sering menghina2 kali ye? :) 
> 
> Tapi pak, saya juga lagi berencana mau bikin perpustakaan. 
Rencananya
> sih tahun depan mulai nyicil rumah. Kecil aja, 2 kamar. 1 buat buku
> dan ruang kerja. Emang settingannya buat single :). Apalagi kalau
> akhirnya dapet kerja impian buat seorang pemalas kaya saya. 
Kerjaan yg
> bisa dikerjain di rumah :)) Jakarta sekarang makin macet. Panas.
> Berdebu. Sementara teknologi makin maju. Kita barter aja gimana, 
saya
> kasih bapak buku, bapak kasih saya kerjaan, hahahaha...
> 
> 
> salam dari pengangguran terselubung,
> herni


Kirim email ke