Abigail dan Ibu Hamil di Indonesia

Margaretha Sih Setija Utami

DI tengah maraknya program sayang ibu yang ditayangkan dan diselenggarakan
di pelosok-pelosok daerah, berita tentang Abigail (Kompas, 19/8/2002)
menjadi sangat menyesakkan hati. Walaupun keesokan harinya termuat berita
yang berusaha meluruskan informasi (Kompas, 20/8/2002), gejala permasalahan
ibu hamil saat berhubungan dengan institusi kesehatan masih tampak. Hal ini
sangat berbeda dari usaha dr Tjondra Indarto yang tidak hanya melayani
pasien, tapi juga mau mendatangi para ibu hamil di daerah Papua. (Kompas,
6/8/2002)

Bila saat ini pemerintah dan beberapa lembaga swadaya masyarakat berusaha
keras mengurangi angka kematian ibu saat hamil dan melahirkan, sebenarnya
siapa yang peduli akan hal itu? Bila kita mau mengamati lingkungan sekitar
kita, pada saat ini kehamilan masih merupakan beban fisik, psikis, ekonomi,
dan sosial bagi para ibu. Baik kehamilan itu direncanakan maupun tidak
direncanakan.

Beban fisik sudah jelas karena ada perubahan hormon dan kondisi tubuh bagi
ibu. Beban psikis yang sangat menonjol saat ini adalah banyak suami yang
belum mendapatkan pekerjaan atau tidak dapat bekerja lagi sehingga ibu harus
ikut berpikir dan bekerja keras untuk mengatur ekonomi rumah tangga dan
harga diri suami dan keluarga. Sedangkan beban ekonomi sangat dirasakan
dengan semakin tingginya harga-harga, termasuk harga susu, makanan tambahan,
obat-obatan, dan periksa kesehatan. Beberapa ibu menyatakan harus pindah
tempat untuk periksa kesehatan karena tidak mampu lagi membayar tenaga
kesehatan. Obat-obatan dan makanan tambahan perlu diirit. Beban sosial
sering muncul karena adanya komentar, "Di masa sulit seperti ini, kok, masih
punya anak, mau diapakan anak tersebut?" Beban ini semakin terasa berat saat
pasangan suami-istri sudah berusaha mencegah dengan alat kontrasepsi maupun
keluarga berecana (KB) alami. "Saya sudah berusaha mencegah, tetapi hamil
juga, ya?" Ada perasaan malu, menyesal, dan merasa bersalah.

Bila kita bertanya kepada para suami, banyak dari mereka yang berusaha
memahami istri, tetapi ternyata pemahaman tersebut belum banyak didukung
pengetahuan yang benar mengenai kehamilan dan proses melahirkan. Banyak
suami yang belum mengetahui apa saja gejala gangguan kehamilan (bahkan ada
yang tidak tahu apa saja gejala istri mau melahirkan) sehingga tidak bisa
berinisiatif mengantar istri bila ada gangguan kehamilan. Para suami masih
sekadar menunggu permintaan istri untuk mengantar periksa. Padahal, budaya
kita masih menjunjung tinggi pengorbanan seorang ibu. Kebanyakan ibu lebih
memprioritaskan permasalahan orang lain daripada permasalahannya sendiri.
Akibatnya, keterlambatan periksa kesehatan pada saat ada gangguan kehamilan
terus berulang.

Akhir-akhir ini tayangan televisi sering menunjukkan betapa ramahnya tenaga
kesehatan melayani dan memberi informasi kepada para ibu hamil dan suami.
Tayangan tersebut sangat menyejukkan hati karena memang ada tenaga kesehatan
yang sungguh-sungguh melaksanakannya. Tetapi, seberapa efektif tayangan
tersebut menyadarkan para bapak dan ibu untuk datang ke tenaga kesehatan
untuk mencari informasi, periksa, dan memilih lembaga kesehatan menjadi
tempat melahirkan?

Ternyata bagi para ibu, datang ke tenaga kesehatan tidaklah selalu berarti
sebuah kebahagiaan. Bukanlah hal yang mengejutkan bila dalam pertemuan
ibu-ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) tingkat RT timbul pembicaraan
poliklinik/rumah sakit (RS) X atau Y atau A di mana bidannya meminta ibu
untuk menahan proses persalinan (walaupun dengan rasa sakit yang sangat
dalam) karena menunggu dokter datang. Bidan dan dokter telah membuat
perjanjian bahwa saat melahirkan adalah tugas dan hak dokter untuk menolong.

Di manakah letak kesalahan yang menyebabkan ketidaksinkronan antara promosi
kesehatan dan kenyataan? Apakah karena kesalahan informasi? Ataukah
kesalahan permainan peran dalam hubungan pasien-dokter-bidan? Siapa yang
harus didahulukan hak-haknya?

Haruskah melahirkan di RS?

Sangatlah menarik diskusi mengenai status ibu hamil dan melahirkan, apakah
kehamilan dan persalinan merupakan kondisi sakit atau sehat? Haruskah ibu
hamil periksa ke dokter? Haruskah ibu melahirkan di institusi kesehatan
(rumah sakit, poliklinik, puskesmas)?

Pada International Congress on Embryology, Therapy, and Society di Nijmegen,
Belanda, 8-12 Mei 2002, tampak sekali dua aliran besar mengenai konsep
kehamilan dan persalinan saling tarik-menarik dan diusahakan dipromosikan
oleh para pengikutnya.

Peserta dari Amerika Serikat waktu itu banyak menyatakan pentingnya
peralatan medis dan keahlian para tenaga kesehatan dalam menolong ibu hamil
dan melahirkan. Sementara peserta dari Belanda dengan tegas menyatakan hal
yang terpenting dalam penyelamatan ibu dan janin adalah internal locus of
control dari ibu dan keluarga. Maksudnya, kehamilan dan melahirkan adalah
kejadian normal dalam kehidupan manusia, menjadi tidak normal bila memang
ada indikasi klinis (dan ini persentasinya kecil). Seorang ibu hamil yang
tidak memiliki indikasi klinis cukup melahirkan di rumah dengan bantuan
te-naga bidan (bukan dokter). Maka tidaklah mengherankan melahirkan di rumah
dengan bantuan bidan sangat populer di antara ibu-ibu di Belanda.

Apakah ini tidak menyebabkan angka kematian ibu di Belanda tinggi? Tentu
saja tidak karena ada catatan bahwa para ibu hamil sungguh dilatih oleh para
bidan untuk memahami kondisi tubuhnya. Para ibu diajari dengan alat
sederhana mendengarkan detak jantung janin dan kondisi berbahaya saat hamil.
Para bidan juga mendampingi dan melatih ibu-ibu tentang cara relaksasi bila
dia mengalami ketegangan saat hamil dan saat melahirkan. Pelatihan-pelatihan
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para ibu bahwa janinnya
menyatu dengan dirinya, bukan sesuatu di luar jangkauannya, bukan pula
sesuatu yang hanya ada di layar monitor komputer. Angka kematian ibu
sangatlah rendah di Belanda. Untuk perbandingan kita bisa melihat laporan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1995, yaitu di Belanda hanya 10,
sedangkan Amerika Serikat 12.

Bagaimana Indonesia?

Yang memprihatinkan dalam diskusi tersebut, Indonesia dijadikan contoh
kegagalan program dalam mereduksi angka kematian ibu karena program yang
kurang tepat, yaitu mengembangkan ketergantungan ibu hamil pada tenaga
kesehatan dan peralatan canggih.

Bila hubungan tenaga kesehatan dan ibu hamil tidaklah setara, yang terjadi
ibu hamil (dan keluarga) tidak menyadari bahwa yang sebenarnya paling tahu
mengenai kondisi ibu dan janin adalah ibu sendiri dengan bantuan keluarga.
Dokter dan bidan hanya bisa mendiagnosis dengan tepat bila ibu datang
memeriksakan dan dapat mengomunikasikan dengan baik kondisi tubuhnya.

Sangatlah berbahaya bila para ibu menjadi merasa sangat aman saat periksa
kehamilan karena tenaga kesehatan menyatakan ibu dalam kondisi sehat. Ibu
hamil akan merasa tidak perlu periksa dokter sampai pada saat jadwal periksa
tiba (berarti satu bulan berikutnya). Padahal, gangguan kehamilan dapat
datang dengan tiba-tiba yang tidak terprediksikan. Hal ini tentu sama
berbahayanya bila kita langsung memberlakukan sistem di Belanda untuk di
Indonesia.

Jalan tengah yang mungkin bisa kita ambil adalah mengurangi kebiasaan dan
keyakinan pasrah bongkokan (menyerahkan diri sepenuhnya) dengan diimbangi
kesadaran kesehatan pribadi adalah tanggung jawab setiap pribadi dengan
bantuan anggota keluarga masing-masing. Hal ini tentu saja perlu
dipromosikan, tidak hanya bagi masyarakat awam, tetapi juga bagi para
petugas kesehatan sehingga sungguh menghargai pasien sebagai manusia yang
lebih tahu dan berhak tahu tentang dirinya.

Siapkah para petugas kesehatan kita bekerja sebagai mitra pasien bukan
sebagai ahli yang memandang sebelah mata pasien-pasiennya? Bila para dukun
(traditional attendants) sudah banyak diminta meningkatkan keterampilan
dalam bidang medis, bersediakah para tenaga kesehatan meningkatkan empatinya
untuk melayani masyarakat kecil (yang sampai saat ini menjadi kemenangan
dukun)?

Semoga ibu-ibu kita semakin berbahagia saat hamil, tidak lagi berduka,
karena duka ibu saat hamil akan mengganggu perkembangan dan pertumbuhan
janin, yang berarti mengganggu pula perkembangan dan pertumbuhan generasi
penerus kita.

Margaretha Sih Setija Utami Anggota Pusat Penelitian dan Pengembangan
Psikologi Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang



Kirim email ke