Asw,

Dari milis sebelah. Mohon maaf jika tidak berkenan. Semoga bermanfaat ...

Wsw,

satriyo

=====


*Menghindari Kejumudan Pemikiran            *

Kamis, 01 Pebruari 2007

*"Cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guru", ujar Aristoteles
ketika berbeda pendapat dengan gurunya. Agak beda dengan pengagum Nurcholis
Madjid sekarang ini*



*Oleh: Syamsuddin Arif, Phd *

* *

**



Wacana "pembaruan Islam" kembali mencuat dengan munculnya serangkaian
artikel di media massa yang menyoal, mengukuhkan, bahkan mengaburkan pokok
permasalahan. Tulisan ini mencoba menjernihkan isu "pembaruan Islam" dengan
menelusuri akar-akar semangat "tajdid" dalam tradisi dan sejarah Islam.



Bertolak dari sabda Nabi Muhammad saw bahwa senantiasa akan muncul dalam
setiap kurun waktu seratus tahun seorang pembaharu agama yang diutus Allah
untuk umat ini (HR Abu Dawud), banyak orang berupaya mengidentifikasi tokoh
yang dikaguminya sebagai "mujaddid". Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam
as-Syafi'i sering disebut-sebut sebagai penyandang gelar "sang pembaharu".
Lalu di era modern sebagian orang menyematkan predikat tersebut kepada Syekh
Muhammad Abduh. Tentu dalam hal ini semuanya tak lebih spekulasi belaka.



Dua pertanyaan penting mendesak untuk dijawab. Pertama, untuk apa dan
mengapa perlu ada pembaruan? Kedua, apakah yang perlu diperbarui dari agama
ini? Tajdid tidaklah sama dengan mengada-ada (ibtida'). Seorang mujaddid
tidak mengubah apalagi sampai membongkar fondasi dan struktur bangunan
agama. Laksana gedung, agama ditempati dan dipelihara, lalu secara berkala
dibersihkan agar tidak tampak usang dan kembali seperti kondisi semula:
kokoh, indah dan nyaman bagi penghuni maupun pengunjung.



Seorang pembaharu adalah renovator, bukan innovator. "Renewer" atau
"reformer" dan bukan "deformer". Ia tidak mengubah-suai dengan mengurangi
atau menambah-nambah, membuat agama baru atau mendirikan agama dalam agama.
Ia hanya memperjelas yang kabur dan menjernihkan yang keruh, mengangkat yang
terabaikan dan memurnikan yang tercemar. Baik dengan meneguhkan (itsbat)
ataupun menyanggah (radd), mengurai (syarh) ataupun menoreh (jarh),
menyuarakan kritik (naqd) maupun negasi (naqdh). Upaya inilah yang dilakukan
oleh ulama semisal Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), tokoh yang menjadi subjek
kajian Cak Nur dalam disertasi doktornya di Universitas Chicago.



Kita ketahui Ibn Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur Tengah dan
sekitarnya mengalami krisis multi dimensi. Serangan kaum Salib dan ancaman
tentara Tatar, perang saudara dan konflik antar mazhab serta maraknya
aliran-aliran sesat, jelas banyak memengaruhi pemikiran dan perjalanan hidup
beliau. Ibn Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus. Tercermin dalam
karya-karyanya seperti al-Furqan bayna Awliya' ar-Rahman wa Awliya
as-Syaitan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibn Taymiyyah
mengecam keras sakralisasi mazhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak
dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau menceraikan politik
dari agama.



Akibatnya mudah ditebak, ia berkali-kali diadili dan dibui hingga wafat pun
dalam penjara. Para cendekiawan sezaman dan sesudahnya banyak yang
berseberangan dengannya, namun tidak sedikit pula yang mengagumi kiprah dan
sumbangsihnya. Pandangan-pandangan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi,
tafsir maupun fikih menuai kritik tajam dari para ulama besar semisal
Al-'Izz ibn Jama'ah, As-Subki, Ibn Hajar al-Haytami, dan Abu Hayyan
al-Andalusi.



Sikap serupa seyogyanya kita kedepankan ketika mendiskusikan gagasan-gagasan
almarhum Cak Nur. Cendekiawan yang kerap dijuluki lokomotif gerakan
pembaruan Islam di Indonesia itu tentu tidak berkenan jika orang lain
mendewakan dirinya atau mendogmakan pikiran-pikirannya. Kritik bukan berarti
benci. Sebaliknya, apresiasi tak perlu bertukar jadi venerasi. Seperti kata
Aristoteles ketika berbeda pendapat dengan gurunya: amicus Plato sed magis
amica veritas, cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guru.
Gagasan-gagasan Cak Nur mungkin tegak dan mungkin tumbang, mungkin timbul
dan mungkin tenggelam laiknya pikiran manusia.



Panggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan
kontroversi. Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama hijriah bisa kita
simak misalnya dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin yang ditulis Imam al
Asy'ari (w. 324/935) dan kitab al Farq baynal Firaq oleh al Baghdadi (w.
429/1037). Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang pendapat terjadi
antara tokoh-tokoh Mu'tazilah, Rafidhah, Murji'ah dan Ahlus Sunnah. Jelas
tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga kedewasaan para cendekiawan pada
waktu itu dalam berpendirian dan berargumentasi secara santun lagi rasional.




Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w. 555/1111) mengguncang dunia
perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut al Falasifah. Dengan piawai
disingkapnya pelbagai kerancuan dan percanggahan dalam pemikiran al Farabi
dan Ibn Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau,
ada tiga nuktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa
alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui
perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada hari
kiamat.



Penting dicatat di sini bahwa Imam Ghazali tidak menyebut kedua filsuf
tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang
dinilainya keliru, bukan isi hati atau pribadi mereka. Sebab, bagi Imam
Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian
Muhammad saw, maka ia tidak boleh dianggap kafir.



Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu tidak diterima begitu saja sebagai
dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn Rusyd (w. 595/1198), filsuf
sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba. Lewat
bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal Hikmah was Syari'ah minal
Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran falsafi
mustahil bersanding dengan kebenaran agama.



Nasib yang sama dialami oleh warisan intelektualnya yang lain. Karya-karya
Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis antara kalam dan filsafat (kitab
al-Iqtishad dan al-Maqshad al-Asna), ushul fikih dan logika (kitab
al-Mustashfa dan Syifa' al-Ghalil), oleh Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim dan
Ibn Qudamah seolah dimentahkan. Sementara karya beliau yang berupaya
menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya'
Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk
tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab
Misykat al Anwar dan al-Madhmun Bihi 'ala Ghayri Ahlihi.



Demikian pula di Nusantara. Seandainya ajaran mistik Syamsuddin as-Sumatrani
(w. 1630) dikuduskan sedemikian rupa, niscaya tak pernah muncul kitab
Hujjatus Shiddiq li Daf'i az-Zindiq karya Nuruddin ar Raniri (w. 1658).
Walhasil, khazanah intelektual Islam masa lampau yang kaya dan gamblang
menayangkan dialektika sudah semestinya menggugah kita untuk berani bersikap
kritis dan objektif agar terhindar dari kejumudan.



*Penulis adalah peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS)*


-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke