Kita sering bersikap nggak konsisten dalam menyikapi jilbab, lantaran takut melanggar pemahaman status quo.
Contoh: Pertanyaannya adalah: kok perda Aceh memberi hukuman/sanksi kepada perempuan nggak berjilbab? pertama, qanun mengatakan menutup aurat, bukan soal jilbab/kerudung per se. kedua, praktek perda ini melanggar uu negara dan HAM. ketiga, melongok tradisi nabi, emangnya pernah ada perempuan yang dihukum karena nggak berjilbab? Teman saya seperti sebagian cowok/cewek lainnya yang moderat bilang kewajiban jilbab itu sebaiknya jangan dipaksa, itu pilihan masing- masing. Tapi ketika diminta klarifikasi tentang sanksi bagi yang nggak berjilbab jawabannya berkisar dari kewajiban menutup aurat, sampai nggak terlalu mendalami ayat/hadis ttg itu, nggak ngerti, nggak komen, dll. Implikasi dari sikap ini adalah membiarkan atau mendukung sanksi hukuman tsb, padahal pada saat yang sama memahami kewajiban berjilbab sebagai pilihan. Ini yang namanya nggak konsisten. Kalau berjilbab itu sebagai pilihan, berarti nggak berjilbab pun pilihan juga. Tapi kenapa diberi sanksi hukuman? Inkonsistensi berjamaah. salam Mia