Sama-sama, mba. Perkiraan saya soal tuduhan itu karena dari kalangan saudara sendiri yang hadir di pernikahan saya di awal 90an komentar, "Ini kayak jaman siti nurbaya aja, dipisah laki-pere!" ... tapi saya memaklumi karena kebetulan yang komentar itu famili yang nasrani ...
Nah, dari pihak famili yang muslim, dari cara saya ... kami menikah, lalu atribut lain yang oleh sejumlah kalangan mudah dikaitkan dengan islam fundamentalis, spt jenggot, jilbab, dan semacamnya, mereka sudah punya sikap a priori, tidak megatif si tapi tetap stereotip. Begitu ... Ya, saya pun ketika mencoba meyakinkan 'gaya' nikah kami yang terpisah undangan dan mempelai laki-pere itu adalah dengan mengingatkan cara-cara atau budaya di pakistan (kami dulu ikut alm bapak tugas di sana) soal campur laki-pere (bahwa alm pres zia-ul-haq pun ketika ada acara kenegaraan dan mengundang para diplomat, pihak istana kepresidenan akan mengirim mobil menjemput para undangan dari rumah mereka masing-masing sec terpisah, pertama suami lalu istri, dengan pendamping yang sejenis kelaminnya, dan sampai di istana pun langsung yang suami ke sayap istanan yang ada alm zia-ul-haq, yang istri ke bagian yang ada istri presiden), juga sempat saya ajak ortu ke nikahan teman yagn menggunakan cara terpisah itu. Jadi tradisi memang tdk selalu 'mutlak' ... selalu ada cara mendobraknya, dengan ahsan dan bil hikmah tentu, dan terbukti! :) salam, satriyo === --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Makasi sharingnya, Pak Satriyo. > > Dari uraian Pak Satriyo di postingan ini, kira-kira apa yang > menyebabkan Pak Satriyo akan dituduh "....walau mungkin ada yang > menganggapnya chauvinis, biar gender atau fundies..."? padahal yang > dilakukan Pak Satriyo dan isteri adalah mengantarkan anak ke > kedewasaan, misalnya "...kami berusaha memberikan masukan pada > mereka baik seputar pacaran, hubungan pertemanan dengan lain > jenis..." > > BTW, orang Baduy Dalam juga nggak pacaran dulu sama calon > pasangannya, mereka dijodohin menurut syariat Baduy, kalo nggak mau > dijodohin, kemungkinan besar di deportasi ke Baduy Luar. Emang > tradisi beragam ya, dan cocok untuk masing2. > > salam > Mia > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "rsa" <efikoe@> wrote: > > > > Ibu Mia, > > Saya dan istri termasuk yang agak lain, karena kami pacaran dan > punya > > pacar setelah menikah, sesuai syariat, ajaran, hukum Islam ... ;-] > > > > Jadi pacar saya dan pacar istri saya ya sama, saya dan istri saya. > > > > Soal anak laki-laki, kebetulan kalo ga salah anak saya dan anak > ibu > > ada yang sama namanya, Umar. Tapi di keluarga kami, anak-anak kami > > yang laki-laki, udah masuk belasan usia mereka, belum sempat > pacaran, > > tapi naksir sudah. Nah dari sekarang ini kami berusaha memberikan > > masukan pada mereka baik seputar pacaran, hubungan pertemanan > dengan > > lain jenis dan perasaan naksir itu agar mereka tidak harus > kecemplung > > dulu. > > > > Allaahu a'lam seberapa jauh kami bisa memastikan rencana kami itu, > > karena pasti ada saatnya ketika Allah takdirkan mereka tumbuh dan > > dewasa dengan cara mereka. Tapi ikhtiar kami untuk tetap bisa > > bertanggung-jawab dihadapan Allah, walau mungkin ada yang > > menganggapnya chauvinis, biar gender atau fundies, tidak akan > lekang. > > Tidak mau kami lepas tangan selagi masih bisa untuk membekali anak- > > anak kami dengan perbekalan yang kami pandang layak dan harus > mereka > > miliki. > > > > Kalo soal patah hati, tanpa pacaran juga bisa lohhh ... hehehe > > > > salam, > > satriyo > > > > === >