Mas Wikan,

Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
"assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin?" Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan 
tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, 
makanya ada "ihdinaash shiraathal mustaqiim". Nah, kalau kita ditunjukkan oleh 
Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, 
lalu kita sambil mengangguk-angguk..... oh ini ayatnya. Bukankah hakikat 
ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 
29:49).

Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai 
dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa "tak ada sistem kependetaan dalam 
Islam". Saya perbesar "TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM". Jadi, ulama 
yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan 
ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang 
dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan 
dari Alquran.

Matur suwun,

Salam,
chodjim 



  ----- Original Message ----- 
  From: Wikan Danar Sunindyo 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?


  nambahin Pak Dana ...
  apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
  merupakan bukti "kemalasan" berpikir umat pada umumnya, sehingga
  mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
  memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
  (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
  dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

  di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
  dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
  spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
  saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
  ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
  dikuasainya.

  salam
  --
  wikan
  http://wikan.multiply.com

  On 6/25/07, Dan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  > Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
  > berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
  > utk diselesaikan secara musyawarah.
  >
  > Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
  > difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
  > memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
  > selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
  > berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
  > tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
  > kehidupan.


   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke