Kronik Dokumentasi Wida:

POLA PIKIR DAN MENTALITAS "KAMBING HITAM". 
Suatu Sikap Budaya



Milis [EMAIL PROTECTED],   dituding oleh pimpinan redaksi Majalah Forum 
Keadilan, Jakarta,  sebagai  "Milis PKI".  Secara spontan aku mereaksinya 
dengan gelengan kepala tak mengerti. Zaman sekarang khoq masih ada orang 
berpikir sesempit ini, menjadikan PKI yang secara organisasi sudah diremukkan 
oleh Orba Soeharto sebagai "kambing hitam", memelihara budaya takut yang 
bersifat represif dan menolak kenyataan bahwa hidup bermasyarakat itu di mana 
pun serta kapan pun senantiasa majemuk.  Jika dilihat dari sudut nilai Repulik 
dan berkeindonesiaan, tudingan terhadap mililis mediacare di atas pasti 
bertolak belakang dengan rangkaian nilai republiken [yaitu: kemerdekaan, 
kesetaraan dan persaudaraan] dan berkeindonesiaan yang bersarikan kemajemukan 
seperti yang disimpulkan dalam motto: bhinneka tunggal ika yang tercantum di 
kaki garuda sebagai lambang Republik Indonesia [RI]. Kenyataan majemuk itu 
menagih keterampilan meramu sari kemajemukan itu menjadi sesuatu yang baru dan 
tanggap zaman guna memanusiawikan manusia dan kehidupan yang tak henti 
berkembang. Keragaman itu indah, penyeragaman mengandung janin petaka. Demikian 
Rara temanku sering berkata agar aku tidak lupa karena tahu bahwa lupa lebih 
gampang mengusik diri kita dan berdampak negatif .Di negeri ini lupa atau 
pura-pura lupa atau sengaja lupa sering masih jadi asesoris hidup yang 
dibanggakan. 


Dari segi sejarah pun, agaknya berkutat pada gertakan menakut-nakuti orang 
dengan "bahaya PKI", kukira juga bersifat ahistoris. Sebab RI dalam sejarahnya 
didirikan dan dibela oleh bukan oleh satu dua etnik dan agama besar tapi oleh 
semua etnik di negeri ini dan oleh pengikut rupa-rupa pandangan serta aliran 
pikiran. Pandangan ahistoris begini memang masih kuat di Indonesia, salah satu 
ujud lemahnya pandangan dan sikap serta pengetahuan sejarah , termasuk 
ketakutan pada kenyataan sejarah. Pembakaran buku sejarah di berbagai daerah 
karena tidak mencatumkan kata PKI atau G30S/PKI, kiranya paralel dengan 
tudingan dan pola pikir pimpinan redaksi majalah Forum Keadilan di atas.  
Tudingan ini, aku lihat sebagai satu contoh lagi dari sekian banyak contoh 
bahwa kerusakan terberat yang dilakukan dan ditinggalkan oleh Orba Soeharto 
terletak pada perusakan sistematik pola pikir dan mentalitas anak negeri dan 
bangsa. Berpangkal pada otoritarianisme dengan segala anak cucu pikirannya 
seperti paternalisme,   militerisme, kekuasaan lelaki dan sistem sentrisme atau 
sentralisasi [seperti yang terkandung misalnya pada penafsiran bahwa Republik 
Indonesia disempitkan pada kesatuannya. Padahal untuk tercapainya kesatuan bisa 
diujudkan dengan berbagai cara.Misalnya desentralisasi, otonomi luas, negara 
serikat]. Tudingan pimred  Majalah Forum Keadilan pada milis [EMAIL PROTECTED] 
com  di atas, kubaca juga sebagai petunjuk bahwa nilai  non republiken dan 
tidak berkeindonesiaan masih merupakan nilai dominan di negeri ini secara 
budaya. Masalah kebudayaan, jadinya merupakan masalah mendesak untuk 
diperhatikan. Barangkali di sini budayawan, sastrawan-seniman dan para pendidik 
serta pimpinan politik ditagih peran dan tanggungjawab  mereka. Pola pikir dan 
mentalitas "kambing hitam", "gunjing", "intrik" hanyalah beberapa bentuknya 
saja. Republiken dan berkeindonesiaan , kukira adalah suatu   sikap nalar, 
pandai membaca kenyataan dan tegar maju ke perujudan RI yang sebenarnya. Cara 
pikir "kambing hitam", "menakut-nakuti", kiranya tidak diperlukan untuk 
melaksanakan RI yang masih sedang menjadi.  Cara pikir dan mentalitas begini, 
kukira sudah kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman lagi. Benarkah?! 


Tahun Baru 2008 sebentar tiba menunggu dengan sekian tantangan. Berapa kadar 
sikap budaya begini tersisa di tahun mendatang? Sebagai anak Dayak, aku 
memasukinya dengan ikat kepala rara [lawung  bahandang, ikat kepala merah]. 
Selamat Tahun Baru 2008 dengan segala makna serta usaha maksimal memaknakannya 
demi pemanusiawiaan manusia dan kehidupan.***


Paris, Desember 2007
-----------------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke