http://www.gatra.com/artikel.php?id=111717


Perbudakan TKI
Aksi Kejam Sang Diplomat


Penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kembali terjadi. Selama empat tahun 
bekerja di rumah majikannya, Hasniati --sebut saja demikian-- mengalami tekanan 
fisik dan mental yang luar biasa. Tubuh perempuan 28 tahun itu kurus akibat 
kekurangan gizi dan mengidap penyakit tuberkolosis (TBC) akut. Pelakunya 
seorang diplomat berkebangsaan Yaman yang hidup menduda.

Hasniati bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah apartemen di Ibu Kota 
Jerman, Berlin. Selayaknya, pada akhir pekan ia bisa berjalan-jalan menikmati 
atraksi seniman jalanan di Postdamer Platz, dekat apartemen majikannya. Namun, 
yang ia alami justru kejadian memilukan. Perlakuan yang diterimanya sungguh di 
luar batas kemanusiaan.

Hasniati berasal dari Labuan Bajo, Flores. Pada usia 25 tahun, ia menjadi janda 
cerai dengan satu anak. Karena beratnya beban hidup yang harus ditanggungnya, 
pada 2002, ia terbuai rayuan agen tenaga kerja yang menawarinya bekerja di luar 
negeri. Oleh agen tenaga kerja itu, Hasniati dijanjikan bakal dikirim ke Timur 
Tengah. Setelah tiga hari berada di penampungan di Jakarta, ia diterbangkan ke 
Kairo, Mesir, dan langsung bekerja untuk seorang diplomat asal Yaman yang hidup 
menduda, sebut saja bernama Mahmud.

Perlakuan Mahmud terhadap Hasniati begitu buruknya, sampai membuat hari-harinya 
penuh dengan ketakutan. Baru satu minggu bekerja, Hasniati sudah kena pukul 
karena dianggap tak becus bekerja. Namun perempuan bertubuh kecil itu tak 
berani melawan sang majikan, apalagi paspor dan barang barang berharga miliknya 
ditahan. Pada 2004, ia mengikuti Mahmud yang berdinas di Berlin. Selain itu, 
putra Mahmud sedang kuliah di sana. Hasniati punya sedikit harapan, 
mudah-mudahan, di negeri Barat itu, perlakuannya jadi lebih baik.

Ternyata sami mawon. Hasniati praktis disuruh bekerja selama 24 jam. Nonton 
televisi dan menggunakan telepon diharamkan majikannya. Ia wajib bangun pukul 6 
pagi, membersihkan apartemen, dan menunggu majikannya bangun pada pukul 9.30. 
Barulah ia diizinkan masuk dapur untuk mempersiapkan makanan khas Timur Tengah. 
Makan siang setiap pukul 5 sore, dan malam pukul 1 dini hari.

Meski setiap hari harus membanting tulang, Hasniati hanya mendapat jatah makan 
satu lembar roti dan secangkir teh. Majikannya membatasi makannya. Hasniati 
hanya boleh makan nasi, tomat, dan cabe. Jangan coba-coba membuka lemari es. 
Kalau tidak, pukulan melayang di badannya yang ringkih. Selain hanya untuk 
menyiapkan makan majikannya, ia sama sekali tak diizinkan masuk dapur. Jadi, 
Hasniati harus berdiam di kamar mungilnya yang dilengkapi kamar mandi, dan 
harus segera datang bila diperlukan.

Bila sang majikan pergi berlibur dengan putranya, Hasniati ditinggal sendiri di 
apartemen dalam keadaan terkunci, selama berhari-hari!

Cuaca musim dingin merupakan neraka baginya. Selimut, kaus kaki, mantel, atau 
baju hangat tidak didapatnya selama tinggal di Jerman. Tak mengherankan bila ia 
menderita batuk tiada henti. Karena kondisi tubuhnya yang makin lemah, Mei 
2007, Hasniati diantar supir keluarga untuk diperiksakan ke dokter. Dokter 
mendiagnosa perempuan malang itu kekurangan gizi dan menderita tuberkolosis 
akut. Seketika itu juga, dokter mengharuskan Hasniati diisolasi dan dikirim ke 
rumah sakit untuk dirawat.

Beberapa hari dalam perawatan, seorang pemuda Arab kerap datang ke rumah sakit 
tempat Hasniati dirawat. Pemuda itu terus mendesak pihak rumah sakit untuk 
memulangkan Hasniati, karena harus kembali bekerja.

Seorang petugas sosial di rumah sakit itu mulai mencium ada ketidakberesan, 
karena Hasniati terus-terusan dituntut pulang oleh pemuda Arab itu. Apalagi 
Hasniati mengalami penyakit yang jarang diderita warga Jerman, berat tubuh yang 
jauh di bawah normal, pakaian yang tak layak musim, hanya bisa sedikit 
berbahasa Arab, dan tak tanpa membawa dokumen. Petugas sosial itu lalu 
menghubungi LSM Ban Ying, yang bergerak dalam penanganan kasus perdagangan 
manusia dan perlindungan perempuan asal Asia Tenggara. Dengan berbagai upaya, 
LSM yang berpusat di Berlin itu akhirnya bisa menampung, mengurus kesehatan 
Hasniati, sekaligus mengupayakan penyelesaian kasus yang menimpanya hingga 
sekarang.

Selama Hasniati berada dalam perlindungan LSM itu, semakin terungkap kekejaman 
majikannya. Ternyata, tak satu sen pun upah Hasniati selama 4 tahun bekerja, 
dibayarkan Mahmud. Padahal, salah satu syarat pemerintah Jerman bagi para 
diplomat yang membawa pekerja rumahtangga diwajibkan menaati standar jam kerja 
dan standar gaji, bekerja 40 jam dalam seminggu (atau 5 hari kerja), mendapat 
asuransi kesehatan, menyediakan makanan dan tempat tinggal, serta digaji 
minimal 750 Euro per bulan. Seharusnya, selama tinggal di Jerman, Hasniati 
berhak menerima upah 23.250 Euro. Ini belum termasuk upah dua tahun bekerja di 
Kairo yang dijanjikan sebesar 150 dolar AS per bulan.

Meski pelanggaran HAM yang sudah dilakukan Mahmud begitu jelas, polisi tak 
dapat menangkapnya, karena Mahmud memiliki kekebalan diplomatik.

Dengan bantuan LSM Ban Ying, Hasniati kini didampingi pengacara dan telah 
memperoleh visa izin tinggal khusus seumur hidup di Jerman. Visa ini diberikan 
oleh otoritas tertinggi kota Berlin, dengan pertimbangan, Hasniati mengalami 
penganiayaan hak sipil. Di samping itu, Hasniati mendapat paspor yang telah 
diperbarui dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin.

Pihak KBRI, yang diwakili Kepala Konsuler Sihar Nadeak, membenarkan terjadinya 
kasus yang menimpa TKI itu. "KBRI telah memberikan paspor untuk lima tahun, 
dengan pengertian, jangan sampai (Hasniati, Red) berstatus ilegal dalam 
penyelesaian masalah di Jerman," ungkapnya, saat dihubungi Gatra.com lewat 
telepon, belum lama ini. Kasus ini telah dilaporkan ke Jakarta. Meski bekerja 
untuk diplomat asing, Hasniati tidak pernah difasilitasi untuk lapor diri ke 
KBRI.

LSM Ban Ying juga mengupayakan pembicaraan dengan kedutaan Yaman dan Kementrian 
Luar Negeri Jerman di Berlin, guna penyelesaian kasus tersebut. Saat pertemuan, 
Duta Besar Yaman untuk Jerman menanggapi kasus itu dengan serius. Namun hingga 
kini, negosiasi itu belum menunjukkan perkembangan berarti, meski kedutaan 
Yemen berupaya membayarkan tiga bulan gaji Hasniati. Ketua LSM Ban Ying, 
Nivedita Prasad, berharap agar Pemerintah dan masyarakat Yaman diinformasikan 
mengenai hal tersebut.

Desember 2007, dokter menyatakan bahwa Hasniati dinyatakan telah pulih 
sepenuhnya. Hasniati menyatakan rasa syukurnya karena kasusnya ditangani dengan 
baik oleh para aktivis Ban Ying. Apalagi sekarang ia diberi fasilitas untuk 
mengikuti kursus bahasa Jerman. Namun Hasniati belum berkeinginan pulang ke 
kampung halamannya, "Kasus saya belum selesai. Dan kalau pulang, saya bawa 
apa?" keluhnya. Sedangkan Mahmud hingga kini tenang-tenang berdinas di Berlin, 
hukum setempat tak mampu menyentuhnya. Miranti Hirschmann 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke