Jurnal Sairara: 
 
 
Kepada Saudara Taufiq Ismail
 
 
TENTANG PERANG 
 
 
Di alinea ke-6 dalam respons bagian pertamanya Saudara Taufiq Ismail menulis 
sebagai berikut: 
 
 
"Selepas  dua perang saudara, akibatnya sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam. Penyebabnya dua orang. Kedua orang ini masih mengulurkan rantai 
dendam yang panjang dari kuburan mereka melintasi Perang Dingin, satu dari 
London (Marx), satu lagi dari Moskow (Lenin). Rantai dendam sepanjang itu masih 
membelit tubuh bangsa kita". 
 
 
Mengenai "dua perang saudara" yang "akibatnya sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam" seperti yang dikatakan oleh Saudara Taufiq Ismail di alinea ini, aku 
pernah menyinggung soal ini dan di sini kembali kusinggung dengan mengharapkan 
keterangan "dua perang saudara" mana yang dimaksudkan oleh Saudara Taufiq 
Ismail.  Apakah yang beliau maksudkan adalah Peristiwa Madiun 1948 dan Tragedi 
Nasional  September 1965 . Pertanyaanku apakah Peristiwa Madiun bisa disebut  
"perang saudara"?  Mengenai hal ini barangkali ada baiknya kita membaca "Aidit 
Menggugat Peristiwa  Madiun" , sebuah pembelaan D.N. Aidit di depan Pengadilan 
Negeri RI pada masa pemerintahan Soekarno, yang kalau tak salah ingat, berakhir 
dengan kemenangan D.N. Aidit selaku orang pertama PKI. 
 
 
Bahan acuan kedua yang kukira menarik diperhatikan adalah keterangan Sumarsono 
yang disusun oleh Hersri Setiawan berjudul "Republik Madiun", diterbitkan oleh 
Galang Press Yogyakarta [tahun ?]. Sumarsono adalah salah seeorang yang 
langsung terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948.  Apakah Peristiwa Madiun bisa 
dikatakan sebagai "perang saudara" ataukah ujud kekerasan fisik terhadap PKI 
dan golongan kiri dalam rangka yang disebut "red drive proposal" Kaliurang 
Amerika Serikat?  
 
 
Konflik bersenjata yang berlangsung dalam Peristiwa Madiun berbeda dengan 
perang saudara antara utara dan selatan di Amerika Serikat. Dalam bentuk 
sastra, Pramoedya A. Toer sudah mencatat kejadian ini dalam karyanya "Keluarga 
Gerilya". 
 
 
Jika sepakat bahwa Peristiwa Madiun 1948 merupakan bagian dari dari rencana 
"red drive proposal"  Amerika Serikat untuk melikwidasi  laskar-laskar kiri dan 
perwira-perwira republiken dan berkeindonesian, maka Peristiwa Madiun, apakah 
bukannya suatu pengejejaran dan penindasan terhadap kaum kiri juga hakekatnya. 
Kekuatan sangat tidak berimbang untuk melakukan perang reguler, sedangkan pada 
masa itu perang gerilya lebih diarahkan untuk melawan kolonialisme Belanda. 
Golongan kiri, termasuk PKI yang baru tersusun secara organisasi pada tahun 
1950 tidak kulihat datanya untuk menggerilya Republik Indonesia yang dibela dan 
mau juga ditegakkannya. Untuk melakukan perang reguler pun, lasykar-lasykar 
rakyat tidak mempunyai syarat .
 
 
Masih simpang-siurnya pemahaman tentang Peristiwa Madiun -- apalagi jika 
dipandang sebagai "perang saudara", jika ini yang dimaksudkan oleh Saudara 
Taufiq Ismail sebagai salah satu "perang saudara"-- agaknya lebih meniscayakan 
kita sebagai anak negeri dan bangsa ini untuk mempelajari sejarah dan perlunya 
rekonstruksi sejarah. Rekonstruksi sejarah seperti yang dikatakan oleh Mohamad 
Arkoun , islamolog Perancis asal Aljazair, pengajar di Universitas Sorbonne 
Paris  III,   selayaknya bersifat ilmiah bukan politis. Barangkali sejarah 
ilmiah inilah yang mendesak diperlukan bangsa dan negeri kita sekarang. Bisa 
tidaknya penulisan sejarah ilmiah begini ditulis, tentu saja merupakan 
perjuangan tidak sederhana, dan akan banyak terbantu pelaksanaannya jika 
penyelenggara negara , cq Presiden dan Menteri Pendidikan sepakat untuk 
mengakhiri kegalauan dalam ilmu sejarah di negeri ini. Sepakat mengatakan yang 
putih sebagai putih , hitam sebagai hitam. Sebagai
 bangsa, kukira kita tidak akan rugi dengan adanya penulisan sejarah ilmiah 
begini. 
 
 
Lalu tentang Tragedi September 1965 yang menelan korban nyawa jutaan orang, tak 
termasuk yang dipenjara serta  dibuang di Nusakambangan dan pulau Buru [Lihat: 
tulisan-tulisan Hersri Setiawan] termasuk   pembunuhan terbesar di abad ke-20 
sesudah hollocauste yang dilakukan oleh Nazi Hitler. Apakah Tragedi Nasional 
September 1965 bisa disebut sebagai suatu "perang saudara" ataukah pembantaian 
yang tak pandang bulu dan usia. Bagaimana menjelaskan bahwa Tragedi September 
1965 sebagai sebuah perang dan "perang saudara" pula. Clauswitchz merumuskan 
perang adalah "tindakan lain dari politik", sedangkan Mao Zedong menyebut 
perang /perjuangan bersenjata sebagai bentuk tertinggi perjuangan politik. Dan 
Lenin mengatakan "politik adalah pencerminan terpusat dari berbagai 
kepentingan, terutama kepentingan ekonomi". Berangkat dari pemikiran ini, aku 
memberanikan diri mengatakan bahwa teror, yang oleh golongan kiri disebut 
"teror putih", pengejaran dan penindasan
 hak-hak dasar, apalagi sampai pada tindakan masakre, tidak lain dari sejenis 
usaha membela dan memenangkan kepentingan politik.  Sebab perang,  termasuk 
perang gerilya niscayanya tidak bakal begitu gampang dilikwidasi jika memang 
diniatkan dan dirancang.  Perang reguler adalah salah satu tingkat dari 
perjuangan militer ketika kekuatan gerilya sudah memungkinkan pihak yang 
tadinya lemah dari strategis defensif melakukan ofensif strategis, seperti yang 
dilakukan oleh Tentara Merah Tiongkok dari Heilungkiang hingga menghalau Chiang 
Kai-shek ke Taiwan. 
 
 
Perang gerilya atau perjuangan bersenjata juga kiranya bukanlah asal meletupkan 
bedil. Kalau kita membaca laporan Operasi Trisula di Blitar Selatan, kita akan 
bisa melihat betapa gerilyawan PKI menggunakan AK [kalashnikov] yang berjarak 
tembak efektif 300 m, dari gua perlindungan mereka,  pada jarak 30 meter saja 
tidak bisa menyasar lawannya yang sedang beroperasi menumpas mereka. Apa 
artinya keadaan ini? PKI tidak siap melakukan perang gerilya atau perjuangan 
bersenjata [Lihat: Otokritik Politbiro CC PKI, Jawa Tengah, September 1966]. 
Belum lagi jika kita memperhatikan apa yang dikatakan oleh Prof. Utrecht yang 
pernah mengajar di Universitas Jember pada masa pemerintahan Soekarno, dalam 
sebuah tulisan almarhum yang diterbitkan  oleh  sebuah universitas di Australia 
mengatakan bahwa pada tahun 1965, "60% kekuasaan sudah berada di tangan 
militer".  Jika Prof. Utrecht benar, maka syarat bagi PKI untuk melakukan 
perjuangan bersenjata sesungguhnya
 tidak ada. Apalagi dilihat dari segi teori  "dua aspeknya" dan ketiadaan 
persiapan kongkret ke jurusan ini  [Lihat: Otokritik Politbiro CC PKI, Sepember 
1966]. 
 
 
Jika keterangan-keterangan ini bisa dipahami, mungkinkah pada September 1965 
dan tahun-tahun masakre yang menyusulnya,  ada yang disebut "perang saudara"? 
Jika tidak sepakat, bagaimana keterangannya?   Entah kalau ada pengertian baru 
tentang perang dan yang disebut "perang saudara" atau perjuangan bersenjata dan 
perang gerilya -- yang oleh Partai Komunis Nepal tahun ini saja sudah 
ditinggalkan. Demikian juga yang disarankan oleh Hugo Chavez kepada FARC serta 
dicerminkan oleh hasil Konvensi  Nasional Partai Sosialis Perancis bulan ini. 
[Lihat: tulisan terdahulu]. Jika  ada acuan baru dan lain tentang   pengertian 
perang ini, aku akan sangat gembira dan berterimakasih  memperolehnya.Termasuk 
dari Saudara Taufiq Ismail. 
 
 
Yang lebih sulit lagi aku pahami zenialitas hingga menemukan hal baru dari 
Saudara Taufiq Ismail  tentang penyebab perang seperti yang beliau katakan 
berikut:
 
 

"Selepas  dua perang saudara, akibatnya sebagai bangsa kita masih saling 
mendendam. Penyebabnya dua orang. Kedua orang ini masih mengulurkan rantai 
dendam yang panjang dari kuburan mereka melintasi Perang Dingin, satu dari 
London (Marx), satu lagi dari Moskow (Lenin). Rantai dendam sepanjang itu masih 
membelit tubuh bangsa kita". 
 
 
Aku katakan suatu zenialitas dan  penemuan baru karena baru pertama kali  ini 
aku mendengar meletusnya   perang dan  adanya  dendam pada suatu bangsa  
terjadi karena dua orang yang bernama Marx dan Lenin.  Aku ingin mendengar 
penjelasan historis, sosiologis , politik dan ekonominya, jika ada, bahwa 
perang dan dendam pada suatu bangsa, kongkretnya Indonesia, disebabkan oleh 
Marx dan Lenin. Penjelasan lebih lanjut ini kuperlukan untuk membuang kesan 
bahwa analisa begini agaknya terlallu simplistis dan sulit kupahami oleh dasar 
pengetahuan yang terbatas sekali.  Sementara jauh sebelum Marx dan Lenin lahir 
perang itu sudah berkecamuk di mana-mana. Menyusul kedatangan Colombus pada 
tahun  1492 di benua Amerika,  atas nama Tuhan terjadi penaklukan benua Amerika 
dan masakre terhadap Amerindien [Lihat juga novel Shogun].  Perang dan masakre 
ini pun dicerminkan oleh filem-filem cowboy Holywood dengan mengambil 
setting Far West.  Apakah Perang
  Korea tahun 1953 dan Perang Viêt Nam melawan Jepang, Perancis dan Amerika 
Serikat, perang kemerdekaan Aljazair, dan lain-lain terjadi karena dua orang 
yang bernama  Marx dan Lenin juga?  Politik "terra in cognita" terhadap 
Aborigin Australia , apakah bukan suatu bentuk perang dan masakre? Apakah ia 
dikarenakan Marx dan Lenin juga? Apakah politik "mission sacrée" yang 
diterapkan di negeri-negeri non Eropa, suatu dalih agresi dan pembinasaan etnik 
dan bangsa disebabkan karena Marx dan Lenin juga? 
 
 
Bagaimana penjelasannya bahwa Tragedi September 1965 terjadi karena Marx dan 
Lenin? Apakah penterapan politik "ragi usang" pada Tanah Dayak oleh 
kolonialisme Belanda yang membangkitkan perlawanan orang Dayak sehingga 
menyebut dengan rasa benci pada orang Belanda dengan "bakara" [kera merah]  
dikarenakan oleh dua nama ini juga? "Di mana ada penindasan di situ ada 
perlawanan" ,  ujar Mao Zedong. Dan ini antara lain ditunjukkan oleh filem 
Holywood : "Spartacus",  berdasarkan novel Howard,  mantan seorang pimpinan  
Partai Komunis Amerika . " Cacing saja kalau diinjak akan meronta", ujar Bung 
Karno. "Budaya kekerasan sudah membudaya di kalangan petani tebu dan tembakau 
Klaten", tulis Sartono Kartodirdjo , sejarawan dari Universitas Gadjah Mada 
Yogyakarta,  ketika menjelaskan tentang keadaan petani Klaten pada masa 
penjajahan Belanda. 
 
 
Apakah dasar pembenaran dari  penyingkiran hak warga negara Indonesia yang 
dituduh PKI dan yang tidak bersih lingkungan dilihat dari segi pandangan ini? 
Ataukah pencabutan hak dan penyingkiran ini sesuatu yang manusiawi dan wajar  
dari sudut pandang yang tidak lapuk, usang, kuno dan keropos? Aku ingin 
mendengar penjelasan yang sederhana tapi mendalam tidak simplistis.
 
 
Dalam konteks ini, aku juga jadi teringat pandangan seseorang yang mengatakan 
bahwa kemajemukan sebagai pendapat elite  dan minoritas yang terlalu banyak 
menuntut pada mayoritas. Pendapat yang kubaca di media elektronik belakangan 
ini.  Ini pun kupandang sebagai suatu zenialitas dan penemuan baru  bahwa 
mayoritas boleh bertindak semaunya terhadap minoritas, paling tidak , tidak 
perlu menghitung minoritas. Inikah sikap seorang republiken dan 
berkeindonesiaan? Apakah ini bukan suatu "zenialitas" dan "penemuan baru" juga 
di negeri kita?  Sungguh luar biasa! Itu yang bisa kuucapkan. Jika menggunakan 
istilah orang Perancis, barangkali inilah yang disebut "diktatur demokrasi" dan 
"diktatur mayoritas", suatu kritik sekaligus pada demokrasi mayoritas suara 
sekarang.    Inikah, beginikah Republik dan Indonesia yang kita inginkan?  Aku 
khawatir bahwa  "diktatur demokrasi" dan "diktatur mayoritas" berkembang 
menjadi sejenis politik "terra in cognita" dan
 "mission sacrée" dalam wajah baru. Sejarah memang tidak berulang persis tapi 
apa yang terjadi dalam sejarah seperti kolonialisme, totalitarianisme , 
feodalisme bisa menggunakan jubah baru. Apakah ini bentuk dari ideologi yang 
tidak usang, tidak kuno dan tidak keropos?! Tolong beri aku pencerahan, jika 
menggunakan  istilah sekarang. 
 
 
Selanjutnya, bolehkan aku menanggapi sedikit masalah "perang dingin" yang juga 
disentuh oleh Saudara Taufiq Ismail dalam alinea ke-6 respons bagian pertama 
beliau di atas. ****  
 
 
Paris, Juni 2008
---------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. 
 
 
[Bersambung....]


      Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke