Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini.
Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI
mengeluarkan fatwa `haram' bagi siapa saja yang atidak menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini
Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah
televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali
alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram
bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang
hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu
harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat
ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan `rasional' HNW.

Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta
Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang
sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain
menganggap tindakan demikian `tidak cerdas'. Bahkan mereka menilai
fatwa `golput haram' menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan
hak asasi pemilih. "Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak
untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat
karya yang konkret." Demikian komentar pengamat politik Arya Bima
(13/12/2008).

Kerisauan Penikmat Demokrasi

Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini,
boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya
golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang
tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata
jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah
Pilkada pada tahun 2008 bahkan "dimenangi" oleh golput. Golput di
Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera
Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput
pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%,
bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu
2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat
menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004
yang `hanya' mencapai 20 persen.

Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang
berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap
kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat
untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi `pemenang',
penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang
legitimated.

Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara
demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan
politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk
mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu
tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah,
ada yang kemudian `tergoda' untuk menggunakan `bahasa agama', yakni
`fatwa' untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009.
Seolah-olah, `perang terhadap golput' harus dilancarkan, di antaranya
melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi `jurus ampuh' yang bisa
mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi.
Jadinya, `fatwa' sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik
pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk
kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar'i;
seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.
Alasan di Balik Golput

Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini
masyarakat tampaknya mulai `melek politik'. Masyarakat mulai sadar,
bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran,
kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan
dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat
di atas segala-galanya justru sering `mempecundangi' rakyat.
Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para
wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan
harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang
menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping
diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga
disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam
negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada
pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya.
Para wakil rakyatlah yang juga `berjasa' dalam mengesahkan sejumlah UU
yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU
Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.

Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering
lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat.
Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih
dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya,
saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT
Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap
membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.

Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan
wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu,
dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja;
tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah
alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang
diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.
Sebuah `Warning'

Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya
menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan `warning'
(peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang
dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa
parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat.
Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih
dijadikan sebagai `kuda tunggangan' yang super komersial, siap
`direntalkan' kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang
memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan
kepentingan rakyat.

Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena
alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu
tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam.
Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar
atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan
suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa
masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi
mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan
harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.

Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada
faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak
dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada
bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah
pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau
kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh
perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!
Fatwakanlah Syariah Islam!

Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak
madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa
umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi.
Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai `pintu masuk' oleh
para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai
sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing
menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah
karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang
notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses
demokrasi?

Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas
menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas
Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah
Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan
mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah
nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi
yang hendak difatwakan.

Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya
untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei
memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam
dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah
tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan
yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia.
Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%)
berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002).
Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat
tersebut.

Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup
berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada
2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas
Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas,
4/3/'08).

Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan,
sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus
diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/'08). Survey
terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72%
masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.

Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama,
politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan
syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini,
yang dibebankan kepada setiap Muslim.

Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara
dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang
serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi.
Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang
luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui
tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan
cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri
kesengsaraannya.

Kirim email ke