penekanan yang bisa di ambil dari gerakan HTI adalah mengarah pemberangusan 
demokrasi. dengan mengambil referensi Quran-Hadist dan disertai bukti-bukti 
masa kejayaan Khilafah masa lalu, maka demokrasi di anggap tidak sesuai dengan 
prinsip-prinsip Islam. tetapi tetap saja, referensi dan bukti-bukti yang di 
berikan lebih banyak bersifat politis dan ideologis.

HTI tidak mampu mendeskripsikan disebut apa proses pemilihan Khalifah masa 
lalu. Sewaktu sebagian sahabat menggangkat Abu Bakar, sewaktu Abu Bakar 
memberikan kekuasaan kepada Umar, sewaktu Umar membentuk majelis pemilihan utk 
mengangkat Usman dan sewaktu rmasyarakat mengangkat Ali sbg Khalifah. 
Beragamnya cara pemilihan Khalifah yang 4 menunjukkan apa ? Belum lagi Muawiyah 
mendinastikan Bani Umayyah dan dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah, lalu terus dan 
terus..sampai dinasti Saud di Arabia....

Manakah yang akan di ambil contoh Kekhilafahan Islam oleh HTI...apakah bisa 
semua jenis Kekhilafahan itu disebut bersyariat Islam. Jika ya...lalu siapakah 
yang paling Islam ketika Bani Abbas merontokkan Bani Umayyah, ketika Ali 
berperang dengan Muawiyah, atau ketika Saud memisahkan diri dari Turki..Jika 
HTI menggembor2 kan Khilafah Keturkian, lalu kenapa orang2 Turki sendiri tidak 
peduli dengan hancurnya Khalifah mereka ? Bahkan pemerintah pro-islam di Turki 
sekarang sama sekali tidak pernah menyingung-nyinggung soal kembali ke Khilafah.

Antitesa demokrasi yang di lakukan HTI tidak sesuai dengan kaidah2 ilmiah. 
Demokrasi dianggap bersumber dari Barat, karena Barat identik dengan 
Kapitalisme-Liberalisme, maka semua yang bersumber dari Barat harus di tolak. 
Sikap2 antitesa seperti ini jelas berbahaya..karena Barat juga ikut serta dalam 
membangun peradaban dunia. Jika kita pergi ke Jerman dan Prancis, kita akan 
melihat masyarakat Eropa [bukan pemerintahan Eropa] menyumbang banyak bagi 
keterlangsungan hidup alam semesta ini. Apakah HTI tahu, bahwa penyumbang 
aktivitas Green Peace berjumlah 50.000 orang ? Mereka2 [LSM Indonesia] yang 
banyak berteriak dan memperjuangkan Indonesia yang bersih dari penebangan hutan 
di donasi adalah masyarakat Eropa. Apakah HTI tahu bahwa Imam Khomeini selama 
di pengasingan berada di Paris, di lindungi pemerintah dan di hormati 
masyarakat disana. Apakah HTI tahu jika di Pabrik VW di Jerman juga di penuhi 
oleh pekerja2 asal Afrika yang di negara asal nya
 terlunta-lunta ? Siapakah yang menjaga Menara Eifel kl bukan orang2 Afrika...

Selanjutnya...jika demokrasi di berangus, lalu apa ganti nya ? Bagaimana 
memilih khalifah ? Membentuk Dewan Pakar Khalifah lalu menyerahkan kepada 
mereka utk memilih Khalifah ? Lalu siapakah yang memilih Dewan Pakar ? Lalu 
apakah sudah ada jaminan tentang representasi Dewan Pakar itu ? Siapa2 sajakah 
yang akan di undang masuk ke dalam kelompok Dewan Pakar ? Lalu bagaimana dengan 
minoritas ? Apakah di izinkan mereka memiliki wakil di kelompok Dewan Pakar. 
Ahhh...yang sedikit ini saja tidak terjawab. Belum lagi mekanisme pengontrolan, 
peradilan, dan pertanggung jawaban dan hal2 ribet lain nya.
 
Jika masih begitu2 saja HTI....lebih baik di rumah ngurus anak dan belajar 
memasak.

O-V-I-C


--- Pada Sab, 20/12/08, syafiqa_izzati <syafiqa_izz...@yahoo.com> menulis:
Dari: syafiqa_izzati <syafiqa_izz...@yahoo.com>
Topik: [wanita-muslimah] Fatwakanlah Wajibnya Menerapkan Syariah Islam!
Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Tanggal: Sabtu, 20 Desember, 2008, 4:27 PM










    
            Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini.

Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI

mengeluarkan fatwa `haram' bagi siapa saja yang atidak menggunakan hak

pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini

Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah

televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali

alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram

bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang

hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu

harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat

ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan `rasional' HNW.



Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta

Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang

sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain

menganggap tindakan demikian `tidak cerdas'. Bahkan mereka menilai

fatwa `golput haram' menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan

hak asasi pemilih. "Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak

untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat

karya yang konkret." Demikian komentar pengamat politik Arya Bima

(13/12/2008) .



Kerisauan Penikmat Demokrasi



Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini,

boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya

golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang

tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata

jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah

Pilkada pada tahun 2008 bahkan "dimenangi" oleh golput. Golput di

Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera

Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput

pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%,

bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu

2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat

menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004

yang `hanya' mencapai 20 persen.



Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang

berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap

kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat

untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi `pemenang',

penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang

legitimated.



Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara

demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan

politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk

mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu

tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah,

ada yang kemudian `tergoda' untuk menggunakan `bahasa agama', yakni

`fatwa' untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009.

Seolah-olah, `perang terhadap golput' harus dilancarkan, di antaranya

melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi `jurus ampuh' yang bisa

mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi.

Jadinya, `fatwa' sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik

pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk

kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar'i;

seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.

Alasan di Balik Golput



Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini

masyarakat tampaknya mulai `melek politik'. Masyarakat mulai sadar,

bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran,

kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan

dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat

di atas segala-galanya justru sering `mempecundangi' rakyat.

Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para

wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan

harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang

menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping

diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga

disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam

negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada

pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya.

Para wakil rakyatlah yang juga `berjasa' dalam mengesahkan sejumlah UU

yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU

Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.



Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering

lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat.

Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih

dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya,

saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT

Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap

membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.



Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan

wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu,

dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja;

tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah

alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang

diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.

Sebuah `Warning'



Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya

menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan `warning'

(peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang

dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa

parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat.

Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih

dijadikan sebagai `kuda tunggangan' yang super komersial, siap

`direntalkan' kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang

memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan

kepentingan rakyat.



Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena

alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu

tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam.

Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar

atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan

suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa

masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi

mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan

harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.



Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada

faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak

dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada

bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah

pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau

kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh

perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!

Fatwakanlah Syariah Islam!



Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak

madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa

umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi.

Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai `pintu masuk' oleh

para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai

sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing

menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah

karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang

notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses

demokrasi?



Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas

menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas

Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah

Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan

mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah

nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi

yang hendak difatwakan.



Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya

untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei

memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam

dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah

tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan

yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia.

Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%)

berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002).

Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat

tersebut.



Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup

berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada

2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas

Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas,

4/3/'08).



Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan,

sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus

diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/'08). Survey

terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72%

masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.



Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama,

politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.



Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan

syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini,

yang dibebankan kepada setiap Muslim.



Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara

dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang

serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi.

Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang

luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui

tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan

cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri

kesengsaraannya.




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke