Wanda hamidah pakai facebook lho ! Sudah di add belum ? Wahaha .....
salam, -----Original Message----- From: "Dwi Soegardi" <soega...@gmail.com> Date: Fri, 26 Dec 2008 18:17:32 To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>; <p...@yahoogroups.com> Subject: [wanita-muslimah] Caleg Perempuan: Wanda Hamidah http://www.tempointeraktif.com/hg/Wawancara/2008/12/26/brk,20081226-152682,id.html Wanda Hamidah Lebih Sreg dengan Pendekatan Personal Jum'at, 26 Desember 2008 | 21:32 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta: Tahun baru 2009 tinggal beberapa hari lagi. Dan pergantian tahun ini begitu terasa istimewa, terutama bagi kalangan yang saat ini dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai legislator atau anggota parlemen. Sebab, bagi mereka, saat inilah waktu pertarungan untuk memperebutkan suara rakyat sebagai tiket menduduki kursi wakil rakyat juga dimulai. Lantaran itulah, segala strategi dan taktik, mulai dari iklan, ajangsana ke daerah pemilihan, hingga serangkaian kegiatan 'sosial' pun gencar digelar. Bahkan, rasa panas-dingin dan demam pun seolah menjalar ke seluruh tubuh, karena memikirkan kampanye. Lebih-lebih, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/12) lalu, penetapan calon legislator teripilih tak lagi berdasar nomor urut serta penjatahan. Walhasil, meski seorang calon berada di urutan papan atas, namun bila tak mampu meraup suara terbanyak, maka harus rela tersingkir. Tak pelak, kini banyak diantara para calon legislator itu berlomba-lomba berakrab ria dengan masyarakat. Mereka seolah saudara yang telah lama tak bertemu sehingga ingin melepas kangen. Malah tak sedikit pula, yang berlagak ala sinterklas yang dermawan dan bergiat amal. Wanda HamidahNamun, cara seperti itu tak dilakukan oleh artis yang juga calon legislator untuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Wanda Hamidah. Menurut ibu tiga anak, kelahiran Jakarta 21 September 1977, dirinya tak ingin membuang tenaga dan waktu dengan percuma. Lebih dari itu, Wanda juga tak ingin membohongi rakyat. "Karena rakyat juga sudah pintar. Saya lebih suka menggunakan strategi dan taktik yang tak membodohi rakyat, dengan pendekatan personal," paparnya kepada Tempo di Jakarta, Jumat (26/12). Seperti apa strategi itu? Bagaimana pendekatan personal itu ia lakukan? Bagaimana pendapatnya tentang keputusan Mahkamah Konstitusi? Lantas bagaimana pengaruhnya terhadap peran dan keterwakilan perempuan dalam politik? Berikut petikan wawancara Arif Arianto dari Tempo dengan Wanda Hamidah. Anda menyebut menggunakan strategi pendekatan personal, seperti apa wujud pendekatan itu? Begini. Pertama, yang harus saya tegaskan disini adalah niatan saya untuk menjadi wakil rakyat itu apa? Sedari awal saya sudah menetapkan tujuan, bahwa saya harus bisa menyuarakan dan membawa aspirasi rakyat dalam sebuah proses pengambilan keputusan, atau yang disebut sebagai mekanisme politik. Nah, agar saya bisa benar-benar menjadi wakil yang amanah, yang mengerti dan konsisten membawa dan menyuarakan kepentingan rakyat itu, maka saya harus mendengarnya secara langsung. Saya harus dekat dengan mereka, berada di tengah-tengah mereka. Kalau tidak, tujuan itu tidak mungkin terwujud. Jadi, saya menyadari jauh-jauh hari saya juga harus dekat dengan mereka. Karena saya harus dekat dengan mereka, berinteraksi langsung dengan mereka. Itulah strategi pendekatan personal. Tapi bisa saja orang mengartikan ini hanyalah sebuah kampanye yang juga bisa dilakukan oleh orang lain? Betul. Tapi harus diingat, masyarakat sendiri juga sudah pintar. Masyarakat bisa menilai mana yang benar-benar tulus, atau sekadar lipstik saja. Kalau kita tiba-tiba datang, dan kemudian sok akrab dengan mereka, masyarakat akan tahu. Bahkan malah bisa menjadi antipati dengan kita. Saya sudah lama melakukan pendekatan seperti ini, bahkan jauh sebelum menjadi calon legislator. Artinya, bukan lantaran karena menjadi calon kemudian saya berusaha dekat dengan masyarakat. Lantas wahana apa yang biasa Anda gunakan untuk dekat dengan masyarakat? Ada beberapa wahana atau media untuk berinteraksi. Dan kebetulan, pada dasarnya saya juga senang berorganisasi dan senang bergaul. Misalnya, saya mempunyai banyak teman di organisasi alumni mulai dari sekolah dasar hingga alumni kuliah di strata dua. Tetapi yang pasti, saya aktif di arisan ibu-ibu. Saya juga aktif di majelis taklim. Di setiap kesempatan itulah, saya gunakan untuk mendengarkan mereka. Saya berusaha dekat dengan mereka. Dan pendekatan seperti itu jauh lebih efektif. Secara sekilas Anda nampaknya lebih cenderung mendekati pemilih perempuan. Kenapa? Tentu saja itu didasari kalkulasi. Pertama saya adalah seorang perempuan, sehingga secara naluriah akan lebih mudah untuk mendekati para perempuan. Kedua, fakta juga menunjukkan, dalam pemilihan umum sebelumnya ternyata dari jumlah pemilih yang terdaftar 60 persennya adalah perempuan. Dan ketiga, dari jumlah populasi di Indonesia, ternyata perempuan juga lebih banyak. Jadi selain mendekati mereka, saya juga harus bisa memperjuangkan aspirasinya. Itulah beberapa alasannya. Mahkamah Konstitusi Selasa (23/12) lalu memutuskan, cara penetapan calon legislator terpilih dengan suara terbanyak. Bagaimana menurut Anda? Bagi saya itu sebuah kemajuan. Sebab, selama ini kita dengan lantang meneriakkan demokrasi, tetapi ternyata esensi dari nilai demokrasi yaitu kedaulatan di tangan rakyat malah enggak dijalankan. Nilai itu seolah dinafikan dengan mekanisme nomor urut. Sehingga, suara rakyat seolah diabaikan. Dan bagi saya, sebetulnya itu bukan hal yang baru. Karena partai dimana saya saat ini aktif, jauh-jauh hari sebelumnya, telah menyuarakan mekanisme dengan suara terbanyak itu di Dewan Perwakilan Rkayat, tetapi ditolak oleh partai-partai lain. Dengan cara suara terbanyak itu pula, benar-benar adil. Karena mereka yang telah berjuang keras, dan benar-benar dipercaya oleh banyak orang lah yang jadi wakilnya. Sehingga, hanya mereka yang benar-benar berkeringatlah yang berhak menjadi wakil. Tapi bukankah dengan cara baru itu membawa konsekwensi terjadinya persaingan bebas. Pada satu sisi, fakta empirik juga menunjukkan masih banyaknya kemungkinan praktik politik uang atau serangan fajar. Dan semuanya bisa dilakukan oleh mereka yang bermodal besar dan nota bene adalah laki-laki? Memang ada kekhawatiran seperti itu. Tetapi jangan lupa, rakyat sudah cerdas. Mereka bisa saja menerima saat diiming-imingi imbalan itu, tetapi dalam pemilihan tetap saja mereka memilih calon yang sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, jangan menganggap masyarakat bisa dikelabui. Soal persaingan bebas, itu pasti. Justru di situlah tantangannya. Kita bisa membuktikan siapa sebenarnya yang dikehendaki oleh rakyat. Saya sangat setuju dengan sistem itu. Sedangkan soal kapital atau dana. Itu juga bisa diawasi, toh ada ketentuan tentang batas dana kampanye. Soal pengawasan, memang bisa menjadi tanda tanya. Tetapi kita harus yakin, semua komponenn yang ada memiliki niat dan kesungguhan untuk menjadikan negara dan bangsa ini menjadi lebih baik. Tapi bagaimana dengan potensi konflik di internal partai? Itu bisa diatasi dengan sutau perjanjian di depan notaris. Bahwa siapa yang hanya meriah sedikit suara, maka harus legowo. Dan itu telah kami lakukan, lima bulan lalu. Jadi, dalam kondisi budaya, sistem sosial maupun politik yang ada saat ini, mekanisme baru itu tidak akan menghambat kiprah perempuan dalam politik? Seharusnya tidak. Tetapi tidak tahu lagi, kalau terjadi hal-hal seperti yang disebutkan tadi. Kalau aturan main ditaati, malah sebaliknya perempuan akan semakin banyak yang menjadi pemenang. Karena lebih luwes dan dekat dengan masyarakat. Tapi ngomong-ngomong, karena persaingan semakin ketat dan bebas itu, apakah Anda akan semakin meningkatkan fkrewensi komunikasi dengan masyarakat konsituen? Kalau komunikasi itu pasti. Tapi soal frekwensi saya enggak ada peningkatan yang besar. Karena emang sejak dari dulu saya sudah melakukan komunikasi dengan mereka. Saya lahir di Jakarta Selatan, saat ini tinggal di sana, sehari-hari saya ketemu mereka. Ya, Insya Allah enggak ada persoalan. Kalau pun ada peningkatan itu lebih pada kualitasnya. Kita lebih serius ngomong soal kepentingan masyarakat, serta visi dan misi saya secara pribadi maupun partai. Soal pendekatan tetap, saya lebih sreg dengan pendekatan personal, karena bisa langsung menyentuh keinginan dan kepentingan masyarakat. ARIF ARIANTO [Non-text portions of this message have been removed]