http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=60124
Demokrasi, persatuan atau kekacauan Tanggal : 19 Jan 2009 Sumber : Harian Terbit Oleh Prof Dr Haryono Suyono TAHUN ini adalah tahun politik yang gegap gempita. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan pemilihan umum untuk para anggota legislatif akan digelar di seluruh tanah air. Untuk persiapan pemilu itu Mahkamah Konstitusi menghasilkan keputusan politik yang mengukuhkan perolehan suara terbanyak sebagai salah satu syarat seorang calon bisa dipilih dan ditetapkan sebagai anggota legislatif. Putusan ini danggap sangat menarik karena mengandung makna sangat demokratis. Para calon dari sebuah partai politik diberi kesempatan berlomba sesama anggota partai politik yang sama. Para calon juga, seperti lazimnya, bersaing dengan jago dari partai politik lainnya. Secara ringkas, setiap calon, dengan diantar partai politiknya diberi kebebasan bersaing ketat secara demokratis. Dimasa lalu persaingan dalam satu partai dilakukan pertama-tama dalam memperebutkan pencalonan dan nomor urut. Idealnya nomor urut kecil merupakan pencerminan senioritas seorang calon dalam partainya. Sebagai strategi untuk menarik simpati rakyat ada kalanya nomor urut kecil diisi dengan nama tokoh terkenal. Dalam hal seperti ini, nama tokoh penarik simpati disyaratkan sebagai seseorang yang terkenal atau mempunyai pengaruh besar. Tokoh seperti itu diharapkan bisa menarik simpati pemilih untuk mencoblos partai yang mencantumkan namanya. Tidak jarang tokoh yang bersangkutan, pada akhirnya, tidak harus menjadi anggota legislatif karena ditugasi menjadi Menteri atau jabatan penting lain dalam pemerintahan. Godogan dalam internal partai politik itu dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan perjuangan seseorang untuk partainya, atau berdasarkan kapasitas calon yang bersangkutan dalam percaturan politik nasional atau daerah. Musyawarah untuk itu bisa sangat intens tetapi sifatnya sering tertutup dalam satu keluarga partai. Kebahagiaan bagi si pemenang bisa mencuat dan kekecewaan bagi yang kalah tidak jarang terjadi. Tetapi, setelah selesai perdebatan untuk menentukan pilihan dan urutan calon, biasanya yang kalah dan yang menang tetap bersatu dalam partainya untuk berjuang, biarpun kadar perjuangannya bisa berbeda-beda. Yang beruntung ditempatkan pada "nomor kecil" akan berjuang habis-habisan, sedangkan yang nangkring pada "nomor besar" juga tetap berjuang, dengan harapan ada luberan pemilih yang luar biasa menambah suara untuk partainya. Gejolak antar anggota suatu partai tidak terlampau mencuat keluar, kecuali diketahui oleh anggota lainnya. Ada juga yang kemudian membentuk faksi-faksi yang menyatu untuk berjuang pada masa pemilihan berikutnya. Di kalangan rakyat banyak perbedaan itu tidak terlalu atau bahkan di banyak daerah justru diusahakan tidak menyolok. Masyarakat awam diberi kesan bahwa dalam lingkungan partai politik yang dijagokan untuk memenangkan pemilu, seluruh anggota elite politiknya "sangat bersatu". Sehingga, karena secara internal bersatu, diharapakan rakyat banyak akan menaruh kepercayaan, memihak partai yang dijagokan, dan memilihnya secara mantab untuk mewakili mereka dalam forum DPR atau DPRD. Dengan keputusan pengukuhan pencalonan dengan pilihan suara terbanyak untuk pemilu tahun ini oleh Mahkamah Konstitusi (MK), setiap calon praktis harus berjuang secara terbuka. Perjuangan secara internal yang terbuka itu pertama-tama ditujukan untuk mengalahkan kawan sendiri. Secara eksternal perjuangan itu bertujuan mengalahkan lawan dari partai politik saingannya. Salah satu alasan kenapa sistem lama diubah, konon karena dalam lingkungan internal partai ada juga yang main curang, dan secara tidak elegan menghalalkan segala cara untuk memperoleh nomor kecil. Dengan adanya perubahan, idealnya permainan curang tersebut diharapkan hilang karena calon nomor besarpun, kalau populer dalam masyarakat luas, bisa terpilih menjadi anggota Dewan. "Pembelian nomor kecil" secara internal, seperti yang dituduhkan kalangan tertentu, berubah menjadi ajang adu populer untuk "menarik simpati" atau bukan untuk "membeli suara". Tetapi ada juga desas-desus di kalangan rakyat, bahwa sistem baru ini mengubah pemilu menjadi ajang "pembelian suara" rakyat secara terbuka. Oleh karena itu sejak beberapa waktu yang lalu seluruh pelosok tanah air marak dengan hiasan wajah-wajah tokoh daerah dan nasional "unjuk nama",unjuk nomor urut partai, dan simpati, menurut desas-desus, kesiapan calon membantu kelompok atau calon pemilih menyelesaikan masalahnya. Berbagai bentuk silaturahmi dilakukan oleh tokoh-tokoh calon tersebut meningkatkan "awareness" dan meyakinkan rakyat banyak bahwa yang bersangkutan berjuang untuk atau bersama mereka. Tokoh-tokoh yang tidak pernah kelihatan berjuang di suatu kampung atau desa, karena Daerah Pemilihannya atau Dapilnya menentukan, mendadak bersikap sangat ramah kepada penduduk di sekitarnya. Tidak jarang mereka mengumbar senyum seperti dalam spanduk yang terpampang di desa Dapil itu. Mereka menyapa rakyat dengan lemah lembut seakan sudah sangat akrab dan siap membela kepentingan rakyat banyak. Pesantren atau pengusaha dengan banyak anggota menjadi incaran mendapatkan "suara secara massal" dengan tidak perlu susah-susah melakukan pendekatan individual dari rumah ke rumah. Strategi yang dikemas untuk penjualan produk secara besar-besaran yang biasanya untuk menjual komoditas seperti minuman botol, rokok atau piza, hari-hari ini naik daun menjadi strategi perang visi, misi dan program perorangan dan partai politik untuk merebut simpati rakyat. Tujuannya bukan menjual komoditas tetapi mengajak rakyat mencontreng nama tokoh yang dijual secara massal tersebut. Para ahli pemasaran, sementara keadaan ekonomi buruk, mendapat pekerjaan baru, menjaul komoditas politik. Survey jajak pendapat, iklan dan spanduk indah dan menarik seakan merubah para tokoh politik menjadi lebih indah dari warna aslinya. Rakyat, seperti menghadapi iklan komersial, harus diingatkan "tidak boleh konsumtif". Harus waspada, perebutan simpati rakyat yang diusung dengan strategi komunikasi komersial modern dan "demokratis" itu harus disambut dengan kepala dingin dan ditanggapi sebagai olah politik tanpa emosi kebencian. Demokrasi yang diusung dengan pemilihan umum, kalau kita tanggapi secara emosional bisa merobek persatuan dan kesatuan bangsa, merubahnya menjadi kekacauan dan kebencian, konflik dan revolusi sosial yang pasti tidak akan menghantar bangsa yang besar ini kepada cita-cita masyarakat adil dan makmur dengan penuh kedamaian. (Penulis adalah ketua damandiri/haryono.com) [Non-text portions of this message have been removed]