Media Indonesia Selasa, 20 Januari 2009 00:01 WIB Menata Masa Depan DPR
BERULANG kali kritik pedas ditujukan ke DPR, tapi lembaga wakil rakyat itu seperti tak pernah mendengar. Cercaan, bahkan sumpah serapah, umumnya menyangkut dua hal. Pertama terkait dengan produk legislasi dan kedua mengenai tabiat anggota dewan. Produk legislasi dinilai bermutu rendah, tidak perspektif, dan hanya mengabdi kelompok tertentu, bukan pada pluralitas. Itu sebabnya, sejumlah UU mudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji kemudian dibatalkan oleh MK. Perilaku anggota DPR pun banyak yang tak patut ditiru. Sejumlah wakil rakyat yang terhormat itu kini mendekam di tahanan karena kasus korupsi. Ada yang menerima aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp31,5 miliar dan ada yang terjerat kasus suap alih fungsi hutan lindung. Kini terungkap pangkal penyebab berbagai penyimpangan itu. Ternyata lebih dari 60% anggota DPR tidak berkualitas. Kritik itu bukan datang dari orang luar, melainkan dari dalam DPR sendiri. Forumnya pun tidak sembarangan, tapi sebuah forum ilmiah di sebuah universitas terkemuka. Adalah Idrus Marham, anggota DPR dari Partai Golkar yang mengemukakan itu dalam disertasi doktor yang dipertahankannya di depan Senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Sabtu (17/1) lalu. Dia kemudian dinyatakan lulus dengan nilai cum laude. Kita menjadi lebih paham itu sebabnya DPR tidak memiliki tradisi perdebatan konseptual dalam proses legislasi. Justru yang mencuat adalah perdebatan sikap politik yang bermuara pada negosiasi, barter, dan intrik politik. Rapat-rapat pun hanya menjadi formalitas. Yang selalu mengemuka di DPR adalah pertarungan kepentingan subjektif antarfraksi. Kondisi itu sangat berpengaruh pada kualitas perundang-undangan yang dihasilkan dewan. Itu semakin diperparah dengan sikap anggota DPR yang menempatkan diri sebagai klien yang bergantung pada patron politiknya. Pasal-pasal UU yang disetujui pun secara substansial sering jauh dari semangat dan hakikat demokrasi. Mekanisme dan prosedur pengambilan keputusan sering kali dijadikan instrumen memproteksi kepentingan elite politik. Apa yang dikemukakan Idrus bukan lagi persepsi, melainkan fakta ilmiah. Apa yang menjadi asumsi khalayak telah memperoleh pembenaran akademik. Meski anggota DPR dipilih melalui proses pemilu demokratis, ternyata tidak otomatis mendorong terjadinya rezim demokratis. Mereka malah terjerembap dalam pelacuran politik yakni menerima bayaran sesuai pesanan pihak tertentu. Membicarakan kebusukan DPR tidak ada habisnya. Yang dibutuhkan adalah memperbaiki DPR. Tapi reformasi yang efektif di DPR memerlukan anggota dewan yang secara kuantitatif memiliki konsep. Partai politik adalah pihak yang paling bertanggung jawab memperbaiki kualitas DPR. Partai politik harus menempatkan kader yang benar-benar bermutu, baik dalam wawasan maupun dalam tabiat dan perilaku. Dalam wawasan, partai harus mencalonkan kader yang basis pengetahuannya kuat dan memiliki sikap politik kenegaraan yang menjunjung asas pluralitas. Sedangkan dalam perilaku, harus diajukan calon yang memiliki tabiat yang patut ditiru dan menjadi anutan. Tapi disayangkan karena masyarakat juga bersikap anomali. Di satu sisi menuntut DPR berkualitas, di sisi lain memilih calon anggota legislatif berdasarkan popularitas. Memilih caleg yang populer bukanlah aib, tapi yang diutamakan adalah yang berkualitas. ++++ Media Indonesia Selasa, 06 Januari 2009 00:01 WIB Anggota DPR Tetap Merawat Kemalasan PEMILU sebentar lagi, namun ada satu daftar yang tiada kunjung berkurang. Bahkan bertambah panjang. Itulah daftar tabiat buruk anggota DPR. Adalah bukan fakta baru ruang sidang hanya berisi deretan kursi kosong melompong. Adalah pula bukan perkara luar biasa pengesahan undang-undang ditunda karena tidak memenuhi kuorum. Tak hanya itu. Anggota DPR menjadi autistik dan asyik dengan dirinya sendiri. Mereka tak peduli dengan desakan agar menghentikan pelesiran ke luar negeri atas biaya negara. Bahkan, tak sedikit yang berlaku bak preman. Memeras mitra kerja sebagai imbalan meloloskan suatu kebijakan atau RUU. Di saat lain mereka berubah menjadi calo. Kasus alih fungsi hutan lindung di Bintan, Riau, dan Tanjung Api-Api, Sumatra Selatan, serta aliran dana Bank Indonesia adalah contoh nyata perilaku anggota dewan yang miring. Kasus-kasus itu sedang disidangkan. Tabiat buruk itu tidak sebanding dengan setumpuk fasilitas yang diterima anggota DPR. Selain uang kehormatan ditingkatkan, anggota DPR mengarang aneka tunjangan untuk mereka. Misalnya tunjangan komunikasi intensif, tunjangan listrik dan telepon, dan biaya perjalanan ke daerah pemilihan. Juga masih banyak fasilitas lain. Setiap anggota DPR kini dibantu satu tenaga ahli. Adapun Badan Legislasi diperkuat 30 tenaga ahli. Paling kurang 580 tenaga ahli berkumpul di Senayan. Tapi kualitas produk undang-undang tetap saja rawan untuk ditinjau ulang di Mahkamah Konstitusi. Semua fasilitas wah itu ternyata tidak juga mengubah perangai buruk anggota dewan. Mereka tetap saja merawat kemalasan. Tidak ada upaya nyata dari pimpinan DPR, pimpinan fraksi, ataupun pimpinan komisi untuk memperbaiki citra parlemen. Memang muncul niat agar anggota DPR yang malas diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Namun, gagasan itu ditentang. Muncul resistensi dengan berbagai alasan. Alasan yang pertama anggota DPR bukanlah pegawai yang harus selalu ada di kantor. Mereka memiliki konstituen yang harus ditemui. Alasan yang mengada-ada. Sebab bukankah DPR punya masa reses, yang dipakai untuk mengunjungi daerah pemilihan? Alasan lain menyangkut kewenangan. Siapa yang berwenang mengumumkan nama anggota dewan yang malas itu? Badan Kehormatan? Fraksi? Sekjen atau pimpinan DPR? Semuanya saling melempar dan merasa tidak berhak. Intinya tidak ada kesungguhan untuk memperbaiki citra DPR. Malah sebaliknya, beramai-ramai membenamkannya. Karena itu, masyarakat harus memberi sanksi sosial dengan mempermalukan anggota dewan yang malas itu. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu lebih aktif menghimpun data secara akurat dan memublikasikan nama dan fraksi anggota DPR yang malas. Hukuman seperti itu mestinya membuat anggota dewan berubah tabiat. Apalagi di masa depan, terpilihnya seorang calon legislatif ditentukan suara terbanyak. Berarti pertanggungjawaban individual harus lebih serius. Sikap malas anggota DPR menyangkut moralitas. Sikap pemalas sebenarnya bertentangan dengan asumsi dasar bahwa anggota dewan adalah orang-orang terhormat dan terpandang. Sekarang DPR sedang membahas RUU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU itu seharusnya diatur dengan tegas dan jelas kewenangan siapa untuk mengumumkan anggota DPR yang malas. Itu kalau ingin DPR hasil Pemilu 2009 menjadi lebih baik. [Non-text portions of this message have been removed]