http://202.169.46.231/spnews/News/2009/02/01/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Puan Maharani: 

Pemberdayaan Perempuan Harus Sinkron dengan Realitas

 

SP/Aditya L Djono 

Puan Maharani bersama kedua orangtuanya, Taufiq Kiemas dan Megawati 
Soekarnoputri, berfoto di depan piramida Mesir, di sela-sela kunjungan Presiden 
Megawati ke Mesir pada September 2002. 

Masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah rendahnya kualitas sumber daya 
manusia. Kentalnya budaya patriarki berimbas pada rendahnya kualitas perempuan 
Indonesia. Tersubordinasinya perempuan di seluruh lini kehidupan menciptakan 
disharmonisasi, termasuk dua persoalan serius, yakni masih besarnya jumlah 
perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta huruf dan rendahnya partisipasi 
perempuan dalam pendidikan. Perkawinan usia dini dan rendahnya mutu kesehatan 
ibu dan anak. 

Dari sisi ini, politisi muda PDI-P, Puan Maharani ingin merangkak dan merajut 
kebangsaannya dengan semangat gender. Namun, sejauh mana perempuan kelahiran 
Jakarta, 6 September 1973, ingin mengejawantahkan pemikiran moderatnya kepada 
kaumnya, wartawan SP, berusaha mengorek keterangan dari ibu dua anak ini di 
sela-sela Rapat Kerja Nasional PDI-P yang berlangsung di Solo, Jateng, Selasa 
hingga Rabu (27-28/1). 


Pemberdayaan perempuan sampai saat ini masih menjadi daya jual yang seksi bagi 
para calon legislatif khsususnya para caleg laki-laki. Bagaimana menurut Anda? 

Memang benar, pemilih perempuan lebih banyak dari laki-laki, sesuai jumlah 
penduduknya yang satu banding dua (1:2). Tetapi, saya tidak mau berspekulatif 
dan tidak mau sesumbar. Bahwa saya membidangi hal itu di DPP PDI-P benar, 
tetapi itu baru berjalan tiga tahun ini. Namun yang jelas, saya setuju kalau 
semua caleg membawanya ke dalam program kampanyenya, tetapi jangan hanya 
propaganda, sebab faktanya, di lapangan perempuan tidak punya daya saing dengan 
laki-laki secara maksimal. 

Ternyata, mereka terstruktur dalam kultur yang beragam, dan kultur itulah yang 
menghambat pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, meski punya kemampuan, 
tetap tidak bisa sejajar dengan lelaki, karena memang begitu. 


Mengapa kultur? 

Pada sisi lain, berbicara soal kultur, pasti akan membiaskan soal kearifan 
lokal yang notabene menjadi modal dasar pembentukan moral bangsa. Tetapi, ada 
kalanya budaya itu dijadikan alat sebagai legalitas penindasan perempuan dengan 
memberikan stigma yang steriotipe, kepada behavior masyarakat. Tetapi, jangan 
salah mengartikan, budaya bukan kultur. Dalam bahasa Inggris, culture memang 
berarti budaya, tetapi frasanya dengan kondisi sosial tidak sama. 

Bisa dikatakan, kultur ini adalah produk dari sebuah masyarakat yang berkembang 
setelah terjadinya kontak sosial. Sedangkan budaya, ada jauh sebelum terjadi 
kontak itu, dan terpatri sebagai sebuah pola kehidupan. Nah pada tataran ini, 
"pemaksaan" peran perempuan dengan dalil-dalil keberadaban itulah yang 
menimbulkan penyeragaman normatif. 


Awal kesetaraan gender? 

Tidak lain berasal dari keluarga. Saya merasa sangat beruntung, lahir dan 
tumbuh di tengah keluarga moderat yang tidak membedakan peran anak perempuan 
dan laki-laki. Saya tiga bersaudara, kedua kakak saya laki-laki. Tetapi, soal 
pilihan kehidupan termasuk pendidikan, hak kami sama. 

Dari kerangka inilah, saya ingin menerapkan kepada masyarakat yang lebih luas, 
bahwasan kesempatan dalam berperan dan mengambil peran itu harus sama, karena 
perempuan sesungguhnya memiliki power yang setara dengan laki-laki. Tetapi, 
persoalannya kemudian, ketika si anak perempuan ini lepas dari keluarganya dan 
membentuk keluarga baru, faktor pasangan hidup juga sangat mempengaruhinya. 
Perempuan dengan titel kesarjanaannya, tetap akan mendapat hambatan ketika 
suami tidak berkenan berbagi peran. Itulah masalahnya. 

Ya itulah, mau menuntut pemberdayaan perempuan secara umum, paling tidak kita 
harus berawal dari keluarga dulu. 


Perempuan sampai saat ini masih terkungkung dalam posisi subordinasi? 

Ya, saya akui itu, tetapi kita perlu waktu. Saya tidak bisa membalik keadaan 
secara frontal, butuh waktu dan butuh perjuangan yang panjang. Memang, sebagai 
caleg, saya jelas juga akan membawa-bawa program ini sampai ke tingkat pemangku 
keputusan. Tetapi, kalau ada teman aktivis perempuan yang mengharuskan, itu 
tidak justu akan menghancurkan perjuangan dan hanya akan sia-sia. Seperti kuota 
30 persen perempuan di legislatif. Ternyata setelah MK (Mahkamah Konstitusi, 
Red) mengeluarkan keputusan suara terbanyak, kelompok perempuan terhenyak dan 
memastikan bahwa kuota 30 persen itu menjadi sia-sia. 

Tetapi, UU sudah final dan kita tidak bisa lagi mengubahnya. Akhirnya, 
perjuangan caleg perempuan menjadi berat, karena bersaing dengan caleg 
laki-laki yang jelas-jelas lebih diuntungkan. 



 

Apakah ada solusinya? 

Ya, tidak ada kata lain, selain berjuang sampai darah penghabisan. Memang 
penetapan nomor zig-zag atau satu di antara tiga caleg nomor jadi harus 
perempuan, itu juga tidak mendidik caleg perempuan. Mengapa? Karena tanpa 
bekerja secara optimal pun caleg perempuan itu bakal jadi. 

Nah, dengan penetapan suara terbanyak ini, dengan sangat terpaksa caleg 
perempuan pun harus berjuang sama kerasnya dengan laki-laki.Barangkali ini yang 
membuat kebanyakan orang terus berpikir bahwa dengan suara terbanyak, merugikan 
caleg perempuan. 

Memang pada kenyataannya, keberadaan kaum ibu di tengah sektor publik ini tidak 
sepenuhnya terjamin leluasa. Sekali lagi, ibu, punya beban ganda. Dia harus 
mengayomi anak, tetapi juga harus berperan dalam masyarakat. 

Sebenarnya dan seharusnya tidak demikian. Ayah pun harus punya peran yang sama 
dengan ibu. Bersinergilah, begitu intinya. 

Soal ketetapan MK, tidak bisa diselesaikan dengan perdebatan. Perempuan, dengan 
keputusan apa pun harus siap. Jadikan ini sebagai tantangan, kalau tidak, hanya 
akan ngelokro. 


Apa pendapat Anda tentang UU Pornogarafi dan Porno Aksi ? 

Ya itu, satu fakta tentang ketidakberdayaan kultural. Sebetulnya, efek dari UU 
tersebut juga akan menyerempet pada masalah suci atau tidaknya seorang 
perempuan dilihat dari penampilan. Bayangkan, dengan melekatnya UU itu dalam 
kehidupan berbangsa, perempuan seperti saya, yang tidak menutup rambutnya, akan 
mendapat stigma tidak suci. Ini yang berbahaya, karena makna kesucian perempuan 
itu hanya dilihat dari penampilan fisik. Apakah perempuan yang tidak 
berkerudung pasti mesum? 

Apa aktualisasi program pemberdayaan Anda? 

Sebenarnya, saya tidak mau terjebak pada masalah perempuan atau bukan 
perempuan. Saya ingin berpikir secara rasionalitas dan menglobal, bahwasannya 
pemberdayaan perempuan itu tidak bisa dilepaskan dari pemberdayaan lingkungan. 

Kunci utama pemberdayaan itu sebernarnya terletak pada daya kreativitas kaum 
perempuan. Toh tidak harus program pemberdayaan perempuan diartikan sebagai 
keleluasaan perempuan di sektor publik, tetapi lebih kepada bagaimana 
menciptakan perempuan yang berdikari dan mandiri. Ketika lingkungan si 
perempuan ini berdaya, sosok perempuan yang punya peran ganda itu pun akhirnya 
masuk pada lingkaran keberdayaan. 

Hemat saya, program pemberdayaan, juga harus diawali dari perbaikan ekonomi, 
karena indikator berdaya ini juga meretas dari sektor ini. 


Bagaimana konkretnya? 

Yang jelas, program yang diusung harus berpijak pada kenyataan di lapangan. 
Kampung nelayan misalnya. Bagaimana menciptakan akses kesehatan, pendidikan, 
dan pasar induk di kampung tersebut. 

Meningkatkan harkat petani dengan mempermudah sarana produksi mereka. Hal itu 
jelas akan melebar ke perempuan petani. Istri-istri petani harus dilibatkan 
dalam program ekonomis pendamping. Inilah sinergitas. Program harus sinkron 
dengan kebutuhan. 


Dari mana Anda mendapatkan materi itu? 

Ilmu saya dari alam, sebab rumus-rumus berpolitik itu tidak ada dalam kamus 
mana pun. Sejak kecil, saya selalu ikut Ibu (Megawati Soekarnoputri) ke 
mana-mana, termasuk ketemu kader PDI-P. Dari sanalah saya belajar. 


Apakah sudah ada wacana regenerasi di tampuk pimpinan PDI-P? 

Wah itu tidak ada dalam kerangka pikiran saya. Kalaupun nantinya harus, itu 
tetap harus dengan proses. Prinsip saya, hidup itu ibarat aliran air. Jadi, 
saya mengalir saja. 


PEWAWANCARA Fuska Sani Evani dan Jeis Montesori


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke