http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/02/nus02.html

Malaysia Terus Memburu Naskah Melayu Kuno Indonesia

Oleh
Denny Winson



Pekanbaru - Pemerintah Malaysia terus memburu naskah-naskah kebudayaan Melayu 
kuno Indonesia ke berbagai tempat, dari mulai Riau, Kepulauan Riau (Kepri), 
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan hingga ke Sumbawa. 
Naskah-naskah kuno tersebut nantinya dipatenkan dan diklaim sebagai warisan 
budaya Malaysia.

"Hingga kini sudah ratusan naskah kuno Melayu Indonesia yang berpindah tangan 
ke negara jiran itu. Ini sangat memprihatinkan. Karena nanti, jika generasi 
kita ingin mempelajari jati diri mereka, ya, terpaksa mereka ke Malaysia dulu," 
ujar Al Azhar, budayawan Riau dalam obrolannya dengan SH, Senin (2/2).
Menurut lulusan doktor dari Universitas Leiden, Belanda ini, Malaysia tidak 
sepenuhnya bisa disalahkan. Mereka kini adalah orang kaya baru yang agresif. 
Semua ingin terdepan. Mereka terus memburu naskah-naskah kebudayaan dan seni 
Melayu Indonesia melalui universitas dan lembaga penelitian.


"Malaysia tidak sepenuhnya disalahkan. Mereka punya uang untuk membeli 
naskah-naskah Melayu kuno itu dari tangan kolektor. Sementara itu, pemerintah 
kita cenderung bersikap tidak peduli. Kasus serupa bisa dilihat ketika 
mengklaim seni reog itu adalah kebudayaan mereka. Pemerintah kita maunya 
gratis, sedangkan Malaysia mau membayar mahal untuk koleksi naskah Melayu kuno 
itu," tuturnya.


Al Azhar lalu mencontohkan apa yang terjadi dengan naskah-naskah kebudayaan 
budayawan Riau, Tenas Effendy. Naskah kebudayaan buah karya Tenas ini dibawa ke 
University Kebangsaan Malaysia (UKM) dan dibuat portalnya. "Kalau ingin 
mengakses portal UKM ini, kita mesti membayar. Ini kan menunjukkan suatu hal 
yang ironis. Karya dari budayawan Indonesia, tetapi Malaysia yang mendapat 
untung," tuturnya. 

Kurang Perhatian Pemprov
Al Azhar juga menyayangkan pemerintah terutama Pemerintah Provinsi (Pemprov) 
Riau yang kurang memerhatikan seniman/ budayawan dan hasil karyanya. Contoh 
nyata yang dialami Tenas Effendy, setelah lama berkarya dan menjadi acuan bagi 
kebudayaan Melayu, tetapi tidak satu pun pihak universitas di Riau yang 
memberikan apresiasi. "Malah Malaysia yang menghargai karya-karya Tenas Effendy 
dengan memberikan beliau penghargaan gelar doktor honoris causa dari UKM," 
tambahnya 


Sikap tidak peduli ini juga diperlihatkan Pemprov Riau melalui Dinas Kebudayaan 
dan Pariwisata yang membiarkan naskah-naskah yang tersimpan di Museum Sang Nila 
Utama Pekanbaru tidak terawat dengan baik. Al Azhar pernah meminta Dinas 
Kebudayaan dan Pariwisata Riau untuk membantu menyelamatkan naskah tersebut 
dengan melakukan pemotretan, namun diabaikan. Parahnya lagi, ketika pemerintah 
Belanda menawarkan membantu secara gratis juga ditolak mentah-mentah oleh dinas 
ini.


Al Azhar juga merasa prihatin dengan maraknya perdagangan naskah-naskah Melayu 
di Kepri. Pihak Malaysia terus bergerilya ke daerah-daerah di Kepri yang 
menyimpan naskah Melayu kuno. Di Pulau Penyengat, pemburu naskah kuno itu tidak 
bisa berkutik karena "dijaga" oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). 
Tetapi, tidak di daerah lain di Kepri seperti Dabo Singkep, Natuna, Tanjung 
Balai Karimun dan tempat lainnya.


"Biasanya para pemburu naskah kuno itu membelinya dari kolektor, bukan seniman. 
Bagi pemilik atau kolektor, mungkin naskah-naskah kuno itu tidak begitu 
penting. Padahal, naskah itu memiliki nilai yang cukup tinggi sehingga pembeli 
berani memasang harga tinggi," tutur Al Azhar lagi.


Namun, Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) Eddy Ahmad RM berpendapat lain. Dia 
tidak begitu mengkhawatirkan adanya upaya pemerintah Malaysia memburu 
naskah-naskah Melayu kuno itu. Toh, itu menunjukkan budaya Melayu Riau 
(Indonesia) itu besar. "Tidak perlu dirisaukan. Biarkan saja. Karena itu 
menunjukkan budaya Melayu itu besar. 
Soal klaim-mengklaim hak cipta itu wajar saja. Melayu Riau juga pernah 
melakukannya. Misalnya pada karya tari Zapin yang nyata-nyata berasal dari 
Timur Tengah. Tetapi ketika itu dimainkan oleh seniman Melayu dan di Indonesia, 
lalu kita berani menyebutkan tarian tersebut seni Melayu," tukasnya.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke