Riau Pos Senin, 02 Pebruari 2009
Mesir Blokade Gaza Beli Roti Gandum Harus Jalan Empat Kilometer KAIRO (RP) - Pemerintah Mesir mengambil langkah kontroversial. Kementerian Luar Negeri Mesir mengumumkan bakal menutup makbar Rafah (gerbang perbatasan Rafah Mesir) Palestina terhitung mulai Kamis (5/2) mendatang. Penutupan makbar Rafah tersebut berlaku untuk semua arus manusia dan lalu-lintas barang. ''Semua bantuan kemanusiaan atau pun relawan juga di-stop,'' ujar Second Secretary Bidang Penerangan Sosial Budaya KBRI Mesir, Danang Waskito. ''Namun, belum ada penjelasan resmi dari Pemerintah Mesir soal kenapa mereka tiba-tiba menutup pintu makbar,'' tambahnya. Yang membuat bingung, semua arus bantuan kemanusiaan, infrastruktur dan manusia, semuanya harus melalui Kareem Abu Shalom dan El Auga (dua-duanya dari Israel). Langkah Mesir ini jelas sulit dipahami. Karena satu-satunya pintu perbatasan non-Israel ke Jalur Gaza adalah Rafah. Bila ditutup, maka satu-satunya jalan mencapai Jalur Gaza adalah melalui Israel. Tentu saja, ini menyulitkan arus bantuan. Karena mayoritas donasi berasal dari negara-negara muslim -yang rata-rata tak mempunyai hubungan dengan Israel. Ini juga tentunya menyulitkan sejumlah warga Indonesia yang hendak mengirim bantuan. Salah satunya adalah ACT (Aksi Cepat Tanggap). Tiga orang relawan ATC hingga kemarin masih tertahan di Mesir. Tentu saja, mengurus visa Israel selain tidak mudah (karena Israel curiga terhadap pemohon visa yang muslim), juga ada hambatan psikologis tertentu. Apakah KBRI Mesir tidak akan melayangkan protes atas penutupan tersebut? Danang menggeleng. ''Untuk saat ini, tidak. Kami masih menunggu briefing dulu. Baru setelah jelas apa alasannya, kami akan mengevaluasinya,'' ujarnya. Sebuah sumber di KBRI menyebutkan, bahwa penutupan pintu makbar ini hanya berujung pada dua kemungkinan. Pertama, Israel bakal kembali melakukan agresinya. ''Namun, agak kecil kemungkinannya. Israel masih wait and see, dan menyerang lagi bakal menjadi blunder,'' tuturnya. Kemungkinan kedua adalah Israel ingin memperketat blokade sekaligus mengawasi arus barang dan manusia yang masuk ke Jalur Gaza. ''Kalau lewat Mesir, Israel agak repot mengawasinya. Buktinya, setelah mengizinkan 160 wartawan masuk ke Gaza, Mesir langsung diprotes Israel,'' ucapnya. Selain itu, yang dikhawatirkan Israel adalah soal Hamas kembali mendapatkan pasokan senjata dan logistik dari lalu lalangnya arus barang. Setelah nekat mengebom selama 22 hari untuk menghancurkan terowongan-terowongan yang dibuat Brigade Izzudin Al Qassam, sayap militer Hamas, Israel tak ingin Hamas tetap mendapat pasokan. ''Singkat kata, Israel ingin Hamas betul-betul sekarat kehabisan logistik dan senjata. Meski harus mengorbankan rakyat Palestina sekalipun,'' tambahnya. Di bagian lain, Mesir juga meminta semua relawan dan wartawan yang masuk ke Jalur Gaza via Mesir untuk kembali selambat-lambatnya pada 5 Februari mendatang. Lagi-lagi, KBRI tak mengetahui alasannya. ''Itu merupakan taklimat (pengumuman) dari Kemlu. Dalam waktu dekat, kabarnya Kemlu Mesir mengundang semua perwakilan negara asing untuk mem-briefing terkait hal ini. Mungkin di sana akan dijelaskan,'' tuturnya. Danang mengatakan, pihaknya sudah menginformasikan ke sejumlah LSM yang masuk, antara lain Mer-C (Medical Emergency Rescue Committee) dan BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), untuk segera menarik relawannya keluar. ''Sepertinya, setelah tanggal 5 Februari, tidak ada yang bisa keluar masuk dari Rafah. Khawatirnya, relawan-relawan itu terjebak di Gaza dan terjadi hal-hal yang tak diinginkan,'' tuturnya. Sepanjang krisis Gaza ini, tercatat ada 48 WNI yang masuk. Yakni, dari unsur relawan dan wartawan. Sebagian besar sudah keluar. Tapi, masih ada yang di dalam Gaza. Farid Abdul Mutholib, salah satu anggota presidium Mer-C mengatakan sudah mendengar kabar terkait hal tersebut. ''Namun, kami kesulitan koordinasi dengan yang di dalam. SMS maupun telepon tak bisa menjangkau. Bagaimana kami bisa berkoordinasi?'' urainya. Tapi, Farid mengatakan pihaknya akan terus berusaha menghubungi koleganya. Hingga kemarin, masih ada 6 relawan Mer-C yang masih ada di Gaza, yakni empat orang dokter dan dua orang logistik. Selain itu, masih ada sejumlah relawan lainnya dari BSMI. Pihak KBRI memperkirakan jumlah WNI yang masih ada di dalam sekitar 15 orang. ''Secepatnya kami akan melakukan pendataan dan mencari cara berkoordinasi dengan yang di dalam,'' ucapnya. Pasang Sensor di Perbatasan Selain itu, desakan negeri zionis itu agar Mesir menjaga ketat perbatasan dilaksanakan dengan sepenuh hati. Sumber di departemen pertahanan mengatakan Negeri Piramida telah memasang kamera pengintai dan alat sensor di seluruh perbatasan dengan Gaza untuk mencegah Hamas menyelundupkan senjata. ''Kabel-kabel telah dipasang di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir untuk mendeteksi bangunan di terowongan-terowongan,'' ujar sumber seperti dilansir harian Israel Haaretz edisi online, Ahad (1/2). Peralatan pemantau itu ditempatkan terutama di terowongan-terowongan yang membelah Gaza dan Mesir di Rafah. Selama ini, tempat itu dicurigai sebagai sumber penyelundupan senjata-senjata Hamas dari sekutunya, Iran. Israel mensyaratkan gencatan senjata jangka panjang hanya bisa terjadi jika saluran penyelundupan senjata ilegal Hamas ditutup dan diawasi ketat. Pemasangan alat pemantau itu atas bantuan Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Sebelumnya, Amerika berjanji akan mencairkan bantuan senilai 32 juta dolar AS (sekitar Rp364,7 miliar) untuk semua peralatan pemantau ditambah mendatangkan ahli militer sebagai konsultan. Agresi 22 hari di Jalur Gaza yang telah menewaskan setidaknya 1.300 warga itu salah satunya bertujuan untuk menghancurkan terowongan-terowongan yang menjadi urat nadi kehidupan warga Gaza. Padahal, sejak Gaza menjadi ''penjara terbuka'' akibat semua perbatasan ditutup rapat, warga mengandalkan terowongan-terowongan itu untuk berinteraksi dengan dunia luar dan membeli berbagai kebutuhan baik makanan dan obat-obatan. Di sisi lain, pengusiran diplomat Venezuela dari kedutaan besar mereka di Jerusalem, Israel, pada Rabu lalu (28/1), memantik sikap anti-Yahudi di Venezuela kian membuncah. Insiden terbaru, Jumat (30/1) sekitar 15 pria bersenjata mengamuk di sebuah sinagog tua di Venezuela. Mereka menghancurkan segala properti dan mencoret-coret dinding dengan grafiti antisemit. ''Kami tak ingin para pembunuh,'' bunyi tulisan grafiti di dinding. Selain itu tertulis pula, ''Yahudi, enyahlah kalian.'' Petinggi komunitas Yahudi di Venezuela mengatakan, insiden ini adalah peristiwa terburuk sepanjang sejarah berdirinya perkumpulan Yahudi di negeri pimpinan Hugo Chavez itu. Menurut Abraham Levy Benshimol, Presiden Venezuelan Confederation of Israelite Associations, sikap keras pemerintah Venezuela yang terus mengutuk agresi militer Israel di Jalur Gaza, ditambah tayangan televisi yang memprovokasi, bisa jadi penyulut utama amarah warga. Sementara itu, dua diplomat Venezuela yang diusir dari Israel, Jonathan Velasco dan Roland Betancourt, kemarin, telah menginjakkan kaki kembali di Venezuela. Kementrian luar negeri menggelar pesta penyambutan (welcome party) untuk kedua diplomat itu. Mereka dihadiahi bunga dan kalungan syal bertulisan ''Palestina''. Pada background syal itu terdapat gambar bendera Palestina. Beli Roti Gandum Harus Jalan Empat Kilometer Sementara itu reporter JPNN Kardono Setyo dari Kota Gaza melaporkan, kehidupan tidak pernah mudah bagi warga Jalur Gaza. Perang selama sekitar tiga pekan dengan Israel semakin memperberat hidup. Hancurnya infrastruktur akibat pengeboman musuh menggenapi penderitaan akibat blokade yang sudah berlangsung sekitar dua tahun. Malam hari adalah saat yang sulit bagi Ahmad, penghuni kompleks perumahan di kawasan Jabaliya. Kawasan itu termasuk yang paling parah menjadi korban perang. Listrik sering mati, sehingga kalau berjalan harus hati-hati, karena jalan di kawasan itu pun bolong-bolong akibat muntahan bom saat agresi Israel. Makanan pokok juga susah didapat. Bahkan, untuk mencari roti buat makan malam, karyawan imigrasi Palestina di Jalur Gaza tersebut harus berjalan kaki empat kilometer. ''Makanya saya membeli langsung dalam jumlah banyak,'' kata Ahmad ketika ditemui JPNN pada Kamis (29/1) malam lalu. Dia kemudian menunjukkan satu bungkus besar roti ish. Roti gandum yang menjadi makanan pokok orang Arab itu dibeli seharga 15 sheqilam (baca: sekel, mata uang Israel yang berlaku di Gaza). Padahal, sebelumnya hanya 7 sekel (satu sekel setara dengan sekitar Rp3 ribu). Ketika di rumah, keluarga Ahmad hanya bisa bercengkerama dalam gelap. Satu-satunya penerangan di rumah yang sepertiganya rusak itu adalah dua cahaya lilin. ''Mereka (Israel) membuat hidup semakin sulit. Jangan salahkan kalau kami terus melawan,'' katanya. Ahmad pantas marah karena salah satu anaknya, Naseem (15), ikut tewas terkena bom di dekat rumahnya pada 8 Januari lalu. Hingga kini dia belum menerima bantuan apa pun dari pihak luar. ''Kami hanya mendapat bantuan seadanya dari Islamic Centre (sebuah organisasi sosial milik Hamas di Jalur Gaza, red),'' tuturnya. Karena Hamas memang tak punya uang banyak, bantuan yang diterimanya hanya 1.000 dolar AS atau sekitar Rp11 juta. Ahmad tak sendiri. Boleh dikatakan 1,5 juta jiwa penduduk Gaza memang menderita. Sejak diembargo habis-habisan oleh Israel (dan secara tak langsung oleh Mesir dengan menutup perbatasan Rafah) pada 2006 lalu, penduduk di Jalur Gaza memang betul-betul hidup dalam kekurangan. Lebih-lebih setelah serangan 22 hari Israel pada Januari lalu. Ekonomi tak berputar lancar dan pendapatan juga tak menentu. Bahkan, pegawai negeri pun sering tak terima gaji. Seperti yang dialami Naseer. Pria yang sehari-hari bertugas sebagai polisi itu sudah delapan bulan tak menerima gaji. ''Per bulan saya seharusnya mendapat 1.000 sekel,'' katanya. Untuk hidup, sehari-hari Naseer hanya mendapat ransum makan dari kantor. Kendati demikian, bukan berarti semangatnya merosot. Dia tetap dinas dan menjalankan tugas. ''Semuanya gara-gara Israel,'' kata pendukung Hamas itu. Penduduk Gaza memang pantas nelangsa. Harga-harga barang membubung tinggi. Ikan segar, misalnya, yang biasanya hanya 10 sekel mendadak menjadi 35 sekel (sekitar Rp100 ribu) per kilogramnya. Harga daging juga melambung tinggi. Dari yang semula 25 sekel menjadi 40 sekel. Seperti yang dialami JPNN, harga makan dua kerat daging -lengkap dengan roti dan sayur serta secangkir teh hangat- di sebuah warung sederhana pinggir jalan Jalur Gaza adalah 15 sekel. Untuk porsi dengan isi yang sama (nasi campur dengan lauk daging) di Surabaya di warung pinggir jalan tak sampai Rp10 ribu. Yang menjadi masalah adalah elpiji. Berbeda halnya dengan kelangkaan elpiji di Indonesia (yang lebih karena salah urus), kelangkaan gas di Jalur Gaza memang karena betul-betul barangnya tidak ada. Kalaupun ada, harganya pun di luar kewajaran. Satu tabung elpiji kosong dijual 150 dolar AS (lebih dari Rp1,65 juta). Sedangkan harga elpiji ukuran 12,5 Kg mencapai 60 sekel (sekitar Rp180 ribu). Demikian pula pulsa ponsel sangat mahal di Palestina. Satu-satunya operator ponsel di Palestina, Jawwal, tarifnya pun tinggi. Untuk lokal, biayanya 1 sekel per menit. Harga kebutuhan harian pun melonjak. Beban itu semakin bertambah berat bagi para mudammar (orang yang rumahnya hancur terkena bom). Abdullah Muhamad, misalnya. Rumahnya di Beit Hanoun hancur lebur diterjang buldozer Israel saat meratakan jalan bagi tank-tank Merkava untuk melintas. ''Padahal, rumah itu hasil menabung 13 tahun saat saya merantau di Arab Saudi,'' ucap pria 52 tahun yang juga salah satu anaknya tewas ditembak tentara Israel tersebut. Celakanya, rumah tersebut tak bisa segera direnovasi. Sebab, hampir mustahil mendapatkan bahan material bangunan. Mesir dan Israel hanya membatasi bantuan bahan makanan dan obat-obatan dulu yang bisa masuk. Abdullah sendiri memperkirakan untuk membuat rumah tingkat duanya menjadi kembali utuh perlu biaya lebih 100 ribu dolar AS. Lalu, bagaimana merenovasinya? Abdullah Muhammad angkat bahu. ''Saya tak tahu,'' tuturnya. Kondisi itu diperparah dengan ketiadaan pekerjaan yang layak bagi para pencari kerja. Praktis, semua sektor riil di Jalur Gaza 90 persen lumpuh. Hingga Jumat (30/1) lalu, masih banyak warung yang tutup. Toko pun hanya sebagian yang buka. Satu-satunya jenis pekerjaan yang tersedia adalah terkait dengan masalah krisis ini. Seperti relawan, pengantar para wartawan maupun relawan, dan para pekerja media. Semua penduduk di Gaza City kalau tidak menjadi perawat, relawan tim medis, ya menjadi guide dan sopir. Menurut Mahmood Said, salah satu relawan perawat, dia mendapat upah 300 dolar AS per bulan. Karena masih bujang, Mahmood tak terlalu pusing. Namun, tetap saja uang yang diterima itu pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ''Meski saya masih bujang, uang sebesar itu mepet,'' ungkapnya. Menurut dia, seorang bujangan idealnya mempunyai pendapatan di atas 500 dolar AS. Sebab, biaya hidup di Jalur Gaza tinggi. ''Itu sudah bisa sewa flat, menabung, dan hidup pas-pasan,'' tuturnya. Mahmood berharap sekali proses rekonstruksi segera selesai dan perikehidupan kembali normal. Namun, harapan Mahmood tampaknya bakal sulit kesampaian. Sebab, Mesir justru menutup perbatasannya dengan Palestina mulai Kamis (5/2) mendatang. Artinya, warga Jalur Gaza harus hidup dalam keterasingan seperti dulu lagi.(.(ano/ape/ami/fia/el/jpnn [Non-text portions of this message have been removed]