Saya kira mereka mungkin menyadari juga hal itu. Namun penularan ke yang 
lain-lain, termasuk istri dan anak-anak, bisa jadi dipandang sebagai resiko 
yang mau tak mau mesti ditanggung akibat seks bebas. Semacam "collateral 
damage" begitulah. Tetap saja yang patut disalahkan adalah seks bebasnya itu, 
dan kondom sebagai pihak yang membuat seks bebas ini menjadi tidak lagi 
menakutkan, haruslah dipersalahkan dan dicegah perannya. Terkenanya istri, anak 
atau yang lain-lain, akan dibaca sebagai bukti betapa mengerikannya seks bebas. 
Semakin banyak yang terkena, semakin menguatkan justifikasi betapa urgennya 
perang terhadap seks bebas ini. Seks aman - walaupun dengan pasangan sah - 
rasanya tetap saja tidak akan mereka setujui, kalau secara teknis seks aman ini 
juga bisa dilakukan dengan yang bukan pasangan sah. Dengan kata lain, apapun 
metodenya, kalau metode itu masih membuat seks bebas ikut menjadi aman, atau 
dengan resiko minimal, mereka tetap tak mau.

Saya ingat dulu Amien Rais pernah berdoa supaya HIV/AIDS tidak ada obatnya, 
sehingga orang-orang pelaku seks bebas itu pada kapok, walaupun kemudian Amien 
menyatakan menyesal dengan ucapannya itu setelah bener-bener diberi informasi 
yang akurat tentang HIV/AIDS. Cara pandang awal seperti Pak Amien inilah yang 
kebanyakan dianut para anti kondom ini. HIV/AIDS dipandang sebagai ancaman 
hukuman yang diperlukan keberadaannya agar tidak terjadi seks bebas.



--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "aishayasmina2002" 
<aishayasmina2...@...> wrote:
>
> Yang namanya mahasiswa itu kan siswa yang maha, bukan siswa biasa saja, 
> prihatin lihat pola pikir dan tindakan mereka yang lebih mengedepankan 
> ototnya (misalnya disini bakar kondom) dibanding otaknya untuk mikir.
> 
> Contohnya kita lihat berita hari ini dari Republika yang judulnya "Pengidap 
> HIV- AIDS di Jawa Barat Tertinggi se Indonesia", coba kita lihat tulisan ini 
> "Pengurus Klinik Teratai, Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung, Teddy 
> Hidayat mengatakan, penularan tertinggi HIV-AIDS di Jabar disebabkan hubungan 
> heteroseksual yaitu 48,8 persen disusul pengguna narkoba suntik sebesar 41,5 
> persen dan homoseksual 3,3 persen. "Sebagian besar pengidap HIV-AIDS terdapat 
> pada kelompok usia 20-29 tahun (50 persen) dan 30-39 (29,6 persen)," tuturnya.
> 
> Mahasiswa Sukabumi kan ada di wilayah Jabar yang pengidapnya paling tinggi 
> saat ini dan ternyata persentase pengidap karena hubungan heteroseksual tidak 
> beda jauh dengan pengidap yang penyebabnya narkoba suntik. Mereka ini ada di 
> range umur 20-29 dan 30-39 tahun, umur2 seperti itu umumnya aktif secara 
> seksual, mungkin mereka punya istri, apalagi kalau nurut sama kelompok orang 
> yang suka poligami, maka mereka punya istri-istri. Nah kalau mereka sudah 
> tertular, entah karena seks bebas atau karena narkoba suntik, apa mereka 
> bebas merdeka saja tanpa kondom dan menulari istri-istrinya? mikir dong mikir 
> para mahasiswa! :-(
> 
> salam
> AY
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "miftahalzaman" <miftahalzaman@> 
> wrote:
> >
> > Yang menjadi sasaran tembak mereka ini kan sebenarnya seks bebas-nya itu. 
> > Bukan HIV/AIDS atau penyakit lainnya. Mereka ini kalau disuruh memilih, 
> > apakah berbagai penyakit venereal semacam itu (HIV/AIDS, PMS lain) perlu 
> > diberantas atau tetap terus ada, mereka pasti memilih yang terakhir. 
> > Tujuannya jelas, supaya orang jadi takut seks bebas. Jadi upaya apapun, 
> > termasuk di antaranya pakai kondom, yang menyebabkan penyakit2 tersebut 
> > menjadi minimal atau bahkan menjadi hilang, akan menyebabkan seks bebas 
> > tidak lagi menakutkan. Ini yang mereka tidak mau. Biarkan penyakit2 itu 
> > terus ada biar orang takut. Usaha untuk membuat penyakit2 itu menjadi 
> > minimal, termasuk dengan pakai kondom, sama dengan mendukung perilaku seks 
> > bebas. Mereka tentu tak setuju dengan anjuran safe sex. Bagi mereka, 
> > masalahnya itu di 'sex'nya, bukan 'safe'-nya.
>


Kirim email ke