http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=51977:raden-adjeng-kartini-mungkin-menangis&catid=78:umum&Itemid=139


      Raden Adjeng Kartini (mungkin) Menangis      
      Oleh : Iwan Guntara 

      Dia adalah perempuan dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, 
putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. 
Ngasirah. 

      Raden Adjeng Kartini, begitulah dia dikenal. Lahir di Jepara, Jawa 
Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904, 
pada umur 25 tahun. Kartini pandai berbahasa Belanda dan gemar membaca buku 
serta berkirim surat.

      Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang dibacanya, Kartini tertarik 
pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Sehingga, timbullah keinginannya untuk 
memajukan perempuan pribumi. Karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada 
pada status sosial yang rendah.

      Kartini ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. 
Surat-surat Kartini kepada beberapa sahabatnya di luar negeri, berisi harapan 
untuk memperoleh pertolongan dari luar. Ia menggambarkan penderitaan perempuan 
Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, 
harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus 
bersedia dimadu.

      Itulah sekelumit kisah Kartini. Yang selalu dikenang dan dituturkan 
kembali setiap tanggal 21 April. Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan 
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tertanggal 2 Mei 1964, yang 
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan 
hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai 
hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Kartini juga dikenal 
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

      Ya..setiap tahun, berbagai acara pun digelar untuk mengenang Kartini oleh 
berbagai kalangan. Baik di sekolah-sekolah maupun di instansi pemerintah. 
Terkadang berbagai lomba pun digelar untuk memeriahkan acara peringatan itu. 
Mulai dari lomba memasak hingga lomba berkebaya dan berkonde, ala Kartini.

      Sayangnya peringatan yang digelar setiap tahun itu, terkesan hanya 
seremonial dan berhura-hura. Sementara, pemikiran dan semangat untuk melakukan 
perubahan serta memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan yang 
digelorakan Kartini sejak 131 tahun lalu, sering terlupakan. 

      Padahal, kondisi perempuan yang dilihat Kartini, ketika itu, masih 
menyata hingga saat ini. Kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, 
kesehatan, ekonomi, dan politik saat ini masih lebih rendah, jika dibandingkan 
dengan laki-laki. Perempuan juga belum sepenuhnya terlindungi dari berbagai 
bentuk diskriminasi dan kekerasan. Selain itu, masih banyaknya hukum dan 
peraturan perundang-undangan yang bias gender dan diskriminatif terhadap 
perempuan. 

      Perangkat hukum pidana yang ada, juga belum cukup lengkap dalam 
melindungi setiap individu, terutama tindak kekerasan dalam rumah tangga. 
Peraturan perundang-undangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsisten 
untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan, termasuk memberikan 
perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. 

      Bersedih

      Jika boleh berandai-andai, Kartini mungkin akan bersedih hati. Atau 
bahkan menangis. Seandainya dia hidup dan melihat kondisi kaumnya saat ini. 
Bagaimana tidak, kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan kaum perempuan 
jauh tertinggal dibanding laki-laki. Lihat saja, data persentase penduduk 
perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah, yaitu sebesar 
10,90 persen pada tahun 2004, sedangkan besarnya persentase penduduk laki-laki 
hanya setengahnya yaitu 4,92 persen. Begitu juga dengan perempuan yang buta 
huruf, persentasenya sekitar 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki hanya 
sebesar 5,34 persen. 

      Tidak hanya itu, kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan juga masih 
memprihatinkan. Buktinya, angka kematian ibu (AKI) melahirkan masih tinggi, 
yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan 
Indonesia/SDKI tahun 2002-2003). 

      Di bindang ekonomi, peran perempuan juga masih sangat rendah, jika 
dibandingkan dengan laki-laki. Itu terlihat dari tingkat partisipasi angkatan 
kerja (TPAK). TPAK perempuan masih relatif rendah, yaitu 50,19 persen bila 
dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang sebesar 85,68 persen. 

      Selain itu, keterwakilan perempuan di bidang politik juga masih lebih 
rendah daripada laki-laki. Berdasarkan hasil pemilu tahun 2004, keterwakilan 
perempuan di lembaga legislatif hanya 11 persen di DPR dan 19,8 persen di DPD. 
Sementara itu, di lembaga yudikatif, komposisi perempuan hanya 20 persen dari 
hakim yang ada, 18 persen sebagai hakim agung dan 27 persen sebagai jaksa 
(2004). 

      Ironisnya lagi, perlindungan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi 
dan kekerasan juga masih belum memadai. Hal itu ditandai dengan masih tingginya 
tindak kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data Pusat Krisis Terpadu 
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, jumlah kekerasan terhadap perempuan terus 
meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. 

      Seandainya, Kartini hidup di Kota Medan , Sumatera Utara, hatinya pasti 
semakin terluka. Lihat saja, temuan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) 
Sumut, antara tahun 2007-2008. Sedikitnya 3.000 anak perempuan baru gede (ABG) 
di Medan, yang dieksploitasi dan dimanfaatkan secara seksual dan komersil oleh 
oknum tidak bertanggungjawab. Jumlah itu tersebar di sejumlah daerah, termasuk 
di Medan, Tanjungbalai, Serdang Bedagai, Langkat dan Nias/Nias Selatan. Jumlah 
tersebut diperkirakan akan terus meningkat, seiring meningkatnya beban hidup 
masyarakat, akibat naiknya harga BBM dan harga berbagai bahan kebutuhan pokok.

      Bertindak

      Lantas, kira-kira apa yang akan dilakukan Kartini, saat ini, setelah 
melihat kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa nasib kaumnya tidak jauh berbeda 
dengan yang dilihat dan dialaminya di masa lalu. Tentu Kartini tidak akan 
tinggal diam. Dan diam bukanlah sifat dan karakter dari seorang Kartini. 
Kartini pasti akan melakukan apapun untuk memperjuangkan kaumnya, termasuk 
mengorbankan kepentingan pribadinya.

      Mungkin Kartini, akan ikut berkompetisi dan mencalonkan diri dalam 
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Setidaknya, dengan menjadi Kepala Daerah 
(KDh), peluangnya untuk memperjuangkan nasib perempuan semakin terbuka lebar. 
Termasuk menyusun berbagai kebijakan yang dapat menjamin terwujudnya kesetaraan 
gender. Peningkatan kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, 
ekonomi dan politik. Serta perlindungan terhadap perempuan dari tindak 
kekeresan dan diskriminasi.

      Dengan menjadi kepala daerah, Kartini juga akan lebih leluasa 
mengalokasikan anggaran pemerintah daerah. Terutama untuk pendidikan dan 
sosial. Sehingga anggaran untuk pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi 
prioritas pembangunan. Termasuk pendidikan gratis dan mendirikan sekolah untuk 
semua kalangan. Seperti yang pernah dia cita-citakan ketika menerima tawaran 
orang tuanya untuk menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih 
Djojo Adhiningrat.

      Kartini juga akan memanfaatkan seluruh sahabat dan relasinya, baik di 
dalam maupun di luar negeri. Untuk membantu dan mendukung cita-citanya dalam 
meningkatkan kesejahteraan dan derajat kaum perempuan di daerahnya. Baik 
dukungan moril maupun dukungan materil.

      Kartini juga pasti ingin menjadi pengusaha sukses. Sehingga dapat membuka 
lapangan pekerjaan untuk kaum perempuan. Dan tidak ada lagi penyiksaan serta 
pelecehan seksual oleh majikan di luar negeri.

      Sayangnya, secara fisik, Kartini mustahil hidup kembali ke dunia ini. 
Namun, semangat dan pemikirannya untuk memperjuangkan kaum perempuan akan terus 
bergelora sampai kapanpun, selama pemikiran-pemikiran itu direkonstruksi dalam 
kondisi ke-kini-an. Bahkan, tidak hanya satu Kartini, yang lahir. Tetapi, 
Kartini-Kartini baru akan lahir di setiap waktu, setiap kesempatan dan di 
setiap lapisan masyarakat. Selamat untukmu, Ibu! Selamat untuk kaum 
Perempuan!***

      *Penulis adalah wartawan yang tinggal di Kota Medan.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke