Refleksi : Kesulitan penanganan dan deradikasi terorisme ialah apabila para petinggi negara "bermain lempar batu sembunyi tangan".
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=18695 2010-05-18 Penanganan Terorisme Lakukan Deradikalisme Sistematis dan Intensif Bachtiar Aly Said Abdullah "Kurikulum agama harus dibenahi, menjadi lebih inklusif yang mengakui bahwa dalam agama lain pun ada kebenaran. [JAKARTA] Pola penanganan masalah terorisme selama ini hanya fokus pada akibatnya, sementara akar penyebabnya diabaikan. Cikal bakal, terorisme adalah radikalisme, yakni pemutlakan atau pemaksaan ideologi tertentu, karena itu harus diatasi dengan deradikalisme. Gerakan kontra atau deradikalisasi tersebut, selama ini tidak optimal, bahkan diabaikan pemerintah. Kunci mencegah terorisme di Indonesia adalah melakukan deradikalisme secara sistematis dan intensif dengan melibatkan banyak pihak lalu dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. Demikian rangkuman pendapat dari anggota Komisi VIII DPR MH Said Abdullah dan penasihat Kapolri Bachtiar Aly secara terpisah di Jakarta, Senin (17/5). Keduanya sepakat penanganan terorisme, tidak cukup dengan pendekatan keamanan."Hampir sembilan tahun pemerintah tak pernah melakukan program konkret, baik oleh Kementerian Agama maupun kementerian terkait lainnya, seperti Kementerian Pendidikan Nasional soal pencegahan radikalisme tersebut. Akibatnya, paham radikalisme yang menjadi cikal bakal terorisme itu tumbuh subur di masyarakat, termasuk di sekolah-sekolah," tegas mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu. Said Abdullah yang juga Ketua Baitul Muslimin Indonesia (BMI) itu mengatakan, seharusnya pemerintah mempunyai program nyata soal pendidikan kebangsaan dan keagamaan yang inklusif. Pola pendidikan agama yang eksklusif seolah-olah hanya agama tertentu yang paling benar seperti yang terjadi belakangan ini di sekolah yang dikelola Kemdiknas maupun Kemag, harus dirombak total. "Kurikulum agama harus dibenahi, menjadi lebih inklusif yang mengakui bahwa dalam agama lain pun ada kebenaran. Ini hal mendasar yang seharusnya dilakukan serius, sistematis, tetapi selama ini diabaikan, padahal kondisinya mengancam eksistensi negara," ujar Said Abdullah. Buktinya, kata Wakil rakyat dari Madura, Jawa Timur itu, dari Rp 30 triliun anggaran di Kemag, hanya 1,2 persen untuk pos bimbingan masyarakat dan agama. Itu menunjukkan, pemerintah mengabaikan atau membiarkan berkembangnya paham terorisme di Indonesia. "Seharusnya terjadinya radikalisme ini, diikuti langkah konkret deradikalisme terhadap paham eksklusif yang jadi cikal bakal terorisme. Itu, jauh lebih penting dan harus dimotori oleh Kemag, Majelis Ulama Indonesia, bekerja sama dengan organisasi lainnya," ujarnya. Ketika gelombang globalisasi yang semakin dahsyat kata Said, peran ideologi bangsa, seharusnya ditempatkan lebih penting. Seharusnya, pendidikan kewarganegaraan dicanangkan di sekolah, jangan berkutat pada pasar ekonomi saja, sementara identitas bangsa hilang. "Saya menghargai pernyataan tegas Presiden SBY yang menyatakan Indonesia bukan negara Islam, tetapi jauh lebih penting adalah tindakan konkret, bukan retorika. Buktikan pernyataan itu lewat tindakan tegas, jangan biarkan perusakan tempat ibadah, atau aksi mengganggu orang beribadah, sebab radikalisme yang tidak mau menerima agama lain, itulah cikal bakal terorisme," tegas anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) itu. Kurang Optimal Terkait mantan terpidana teroris yang kedapatan kembali lagi ke ideologi kerasnya tersebut, penasihat Kapolri Bachtiar Aly menyatakan ini adalah bukti bahwa program deradikalisasi yang dijalankan kepolisian belum optimal. "Kembalinya seorang bekas narapidana teroris yang telah melalui program deradikalisasi menjadi seorang teroris bukan salah kepolisian sepenuhnya," kata Bachtiar. Menurutnya, ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa seorang bekas teroris kembali pada ideologi lamanya. Seorang bekas teroris kembali berkumpul dengan teman-teman lama dengan ideologi lama, sangat besar kemungkinan dia kembali terseret ke dalam ideologi lamanya. [NOV/M-15] [Non-text portions of this message have been removed]