1. Kalo menurut saya sih sebenernya ada pola saling membutuhkan. Perkara dijadikan obyek, menjadikan dirinya obyek itu kan cuma istilah saja. Tergantung sapa yg ngomong :-) Film 'cowboys in paradise', yg jadi obyek kan juga para pria. 2. Perkara potret memotret rasanya juga gitu. Sapa tahu dari para amatiran itu bisa jadi tukang foto profesional. Dan yg sekarang sedang laris kan obyek foto untuk urusan permodelingan- cover majalah, disain grafis. Dan trennya memang dari dulu perempuan2 yg banyak dibutuhkan. Karena perempuan itu keindahan :-) Kan nggak usah urusan ini, coba saja liat di pameran2 industri, mobil, mesin dari RRC, yg jaga stand juga kebanyakan perempuan yg mungkin gak ngerti mesin, mereka cuma jadi daya tarik saja. Apa mereka menjadi obyek, menurut saya enggak. Waktu lamar kerjaan ini kan juga pake foto yg tentunya gak dibuat di studio foto. Lha wong korban2 FB [ pelecehan seksual] juga gara2 foto yg di pajang sangatlah aduhai lain gitu dengan aslinya. Itu kan juga kejelian-pintarnya yg motret. Ada seseorang yg suka jadi tk foto mayat yg dibalsem. Ia bisa kasih instruksi kepada perias, untuk tambah perona sebelah mana, sisi mana; jadi ketika difoto tampak mayat itu 'hidup' hanya seolah tidur. Tapi yg paling susah adalah mengambil gambar binatang rumahan. 3. Perkara Sri Mulyani, saya sih mendukung kalo ia hijrah ke AS. Disini susah kalo nggak ikutan parpol maka akan terus dicari-cari kesalahannya.
salam :-) l.meilany ----- Original Message ----- From: Ari Condro To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, May 19, 2010 11:00 AM Subject: [wanita-muslimah] Obyektifikasi Perempuan Bicara tentang domestifikasi wanita ... eh, kok kayak kucing. domestifikasi. kayaknya salah istilah nih. bentar, hehehe .. buka tulisan mas dwi dulu, ok, ketemu, istilah yang benar, obyektifikasi perempuan. Saya kan beberapa waktu ini belajar motret. ceritanya sejak 2007 beli pocket canon A630 buat motretin anak istri, akhirnya kepingin juga upgrade ke dslr, pingin supaya bisa bikin potret yang bisa kayak belakangnya kabur, terus obyek fotonya jelas banget kayak yang loncat keluar (ternyata istilahnya bokeh dalam fotografi). Dilema batin mulai terjadi ketika mulai melihat beberapa milis penggemas fotografi, ternyata banyak sekali acara hunting. dari hunting tempat bersejarah (kota tua), hunting alam terbuka (nature) buat foto foto lanscape, foto makro (itu tuh jepret mata serangga), motret hewan, birding, dll, tapi yang paling laris dan banyak penggemarnya ternyata hunting model. apalagi kalau motretnya yang di kolam renang atau motret privat session yg kategori KT (cari tahu sendiri deh apa singkatannya hehehe ...). Malah orang filipin, Spore dan Malay banyak yg ke Indoensia khusus buat hunting model rame rame ini, soalnya di indonesia marak sekali dan modelnya cantik cantik .... wah, daya tarik turisme jenis baru nih .... tapi ketika pertama kali ikutan motret, gratisan, yg ngadain sebuah sekolah model, dilemanya jadi muncul. pakaian sih ndak aneh aneh ya, casual, kebaya, dan gaun. motetnya pun siang hari, di tempat terbuka, siang hari di pabrik gula eks belanda. saya dilemanya, kan modelnya ada yang remaja dan anak anak. kepikir aja, kok dari kecil sudah di eksplotasi ama ortunya yak ? lha kalau yg anak gede (remaja dan mahasiswi) mereka ikutan model modelan karena apa yah ? pas hunting sih sistemnya simbiosisi mutualisme. fotografer dapat kesempatan gratis belajar motret model, sementara si model dapat portofolio, sementara sekolah modellingnya dapat cara bagus untuk mereview kelebihan dan kekurangan modelnya dalam bergaya di depan kamera. kebetulan yg jadi obyek foto saya ternyata adik kelas kuliah saya di salah satu perguruan tinggi di sby. anak s1 nya. dia bilang sih dari ikutan model (dia jadi instruktur), dia bisa ngebantuin ibunya - dia broken home, lumayan buat tabungan kuliahnya. meskipun pacarnya ndak setuju dia jadi model, dan ngelarang dia. tapi dia masih lanjut sih jadi instruktur, meski diam diam. errr, sampai di sini sih, pandangan saya positif, ada manfaatnya sih jadi model. belakangan, saya jadi tertarik memberdayakan adik adik kelas alumni sma yg cewek buat ikutan hunting foto. Kalau yang motret adik adik kelas sih, fun fun aja. cuman suka bete malah, ternyata bedanya model dengan yg bukan model adalah kemampuannya bergaya di depan kamera. mati gaya .... hehehe ... :)) balik ke dilema yang ada, dari sisi si model sendiri, memang ada sih dorongan untuk show of force, ini lho saya cantik. dan kalau portofolio fotonya bagus bagus, dia bangga, fotografer bangga. foto foto bisa jadi jalan untuk dapat order baru, baik sebagai model, maupun buat di foto foto, di satu sisi di sisi pribadi, dia juga suka kalau orang kagum dengan penampilannya. tapi ini ternyata juga terjadi di model pakaian muslimah kok ... (kan sekarang industri pakaian muslimah juga lagi booming, model yg terlibat juga booming dong, dan perasaaan yang terlibat yah sami mawon seh, apalagi kalau orangnya ternyata itu itu saja). balik ke mis usa yang muslim, jeng rima fakih, dilema terbesar obyektifikasi perempuan adalah ketika keinginan untuk tampil itu dieksploitasi oleh sebuah industri (industri fashion, kecantikan, kosmetik) untuk shape sebuah worlview, ini lho cantik, ini lho yang namanya keren, kudunya wanita tuh kayak gini, kalau gak kayak gini, berarti kamu ndak normal. nah, kalau sudah di level begini, kelasnya ternyata beda je. yang satu adalah hal yang privat dan personal, sementara di sisi lain skalanya sebuah industri. jadi kalau si personal ingin menafikkan skenario yang dibuat sebuah industri, gimana caranya yah ? paling paling sebatas pilihan, gue ikut sebatas ini dan itu, atau kalau ndak, gue out aja deh. kayak sri mulyani, huh ? kalau ndak nyaman lagi dengan dpr dan kpk, yah, udah saatnya cari lahan lain ? personal vs sistem, berat euy. kudu jadi iron man 2 dulu biar bisa, hehehe :)) [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]