----- Original Message ----- 
From: ChanCT 
To: GELORA_In 
Sent: Tuesday, August 03, 2010 9:17 AM
Subject: [sastra_tki] 轉寄: Bara Dari Tanah Merah ==> banner diskusi geladak 
sastra mojokerto 3 Agustus 2010 [4 Attachments]


  
[Attachment(s) from ChanCT included below]
 
 


----- 原始郵件----- 
寄件者: tambora 
收件者: ChanCT 
傳送日期: 2010年8月3日 14:33
主旨: Fw: banner diskusi geladak sastra mojokerto 3agustus2010

 
Tri Ramidjo, “Api yang tetap menyala”

Oleh: Chamim Kohari *)





“Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, tetapi tumbuh dan mati di tangan 
politisi”

(Iqbal, Tulip dari Sinai)



“Bila Politik menyesaki kehidupan bangsa dan kotoran, 

maka sastralah yang mampu membersihkannya”

(John F. Kennedy)



I

        Tri Ramidjo, Lahir di Grabag Mutihan, Kutoardjo Jawa Tengah, 27 
Pebruari 1926. Di Zaman pendudukan Jepang mengikuti Sekolah Latihan Perwira AD 
dan lulus terbaik. Pada tahun 1948-1949 pernah menjadi penarik becak sambil 
belajar sendiri hingga lulus SMP dan SMA. Pernah belajar tentang ekonomi di 
Jepang, lulusan Fakultas Ekonomi dari Universitas Waseda, Tokyo, angkatan 
1962-1967. Pekerjaan yang terberat adalah bekerja di “Proyek Kemanusiaan” --- 
Soeharto Orba --- di pulau Buru sebagai petani paksa kalau tidak mau dikatakan 
sebagai “Tapol”, ia adalah “korban” dari perjuangan kemerdekaan orang tuanya, 
dan orang tuanya adalah “korban” dari perjuangan ideologisnya. Ia taat 
beragama, ---sebagaimana masyarakat muslim Digul---, tetapi mereka tertarik 
berjuang menentang kolonialisme  Belanda dengan cara-cara sosialis-komunis. 



        Tri Ramidjo  adalah cucu dari Kiai Chatibanum, KH. Imam Rofi’i, Kiai 
Asnawi, Kiai Hasan Prawiro dan Kiai R. Abdul Rahman. Cucu dari keluarga kiai 
ini, telah menulis 30 judul Cerpen yang dikumpulkan dalam “Kisah-kisah dari 
Tanah Merah”  yang semua itu ditulis sekitar tahun 2006, 2007, dan 2008 setelah 
 usianya di ujung senja dan sakit-sakitan. 



        Luar biasa, dalam usianya yang sudah 83 tahun, Tri Ramidjo mampu 
membongkar memorinya yang telah terpendam dan menguraikannya ke dalam 
cerita-serita yang menarik dan rinci untuk yang sifatnya pengetahuan empiric, 
seperti tempat, rumah, jarak, teman, saudara dan lain sebagainya, tetapi untuk 
yang pengetahuan agama ---meskipun ia keluarga kiai— ia tak mampu menguraikan 
alasan dengan baik, seperti kenapa harus memelihara anjing dan bagaimana cara 
menjaganya dari najis, ia cenderung menganggapnya memelihara anjing seperti 
memelihara binatang-binatang lain yang tanpa beban “najis mughaladhoh”, 
sehingga terkesan mencampur adukkan yang baik dan yang tidak baik, yang 
seharusnya hati-hati menjadi terkesan diremehkan, sampai-sampai ia “tidak 
mampu” memahami konsep “keadilan” dengan benar. Sebagaimana yang terdapat dalam 
penggalan  cerpen “Anjing Kami namanya Tupon”, terdapat ungkapan: “tanah dan 
alam raya seisinya ini diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa untuk kita semua. 
Tuhan tidak mungkin membagikannya satu persatu kepada kita. Tetapi umat manusia 
dibekali otak agar kita berpikir. Nah, kitalah yang harus menggunakan akal 
pikiran kita membagi semuanya secara rata dan adil”. 



Membaca kumpulan cerpen “Kisah-kisah dari Tanah Merah” karya Tri Ramidjo yang 
diterbitkan oleh Ultimus (2009)  seperti melayari waktu di tengah suatu era 
atau zaman ketika hak asasi dan kebebasan manusia (rakyat) dengan sangat mudah 
diinjak dan disingkirkan oleh kekuasaan, di dalam dada Tri Ramidjo seolah ada 
gemertak api yang menyala-nyala yang tertahan oleh waktu. Maksud hati hendak 
berteriak lantang menggugat perilaku yang cenderung tidak memberi ruang bagi 
kesejahteraan (kemerdekaan) rakyat, tetapi apa daya kekuasaan secara sistemik 
telah merampas segalanya.





 



*) Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Madrasah Aliyah Unggulan  Darul Falah 
Jerukmacan Sawo Jetis Mojokerto,   

     Aktivis Komunitas Sastrawan Pesantren Jawa Timur. Tulisan ini disampaikan  
pada  acara  Geladak Sastra # 06, 

     Bedah Buku Kumpulan Cerpen “Kisah-Kisah dari Tanah Merah” Cerita Digul 
Cerita Buru,  Penerbit  Ultimus, 

     Bandung.  Kerjasama  Komunitas “Lembah Pring”  dengan  Dewan Kesenian 
Kabupaten Mojokerto,   pada  hari  

     Selasa, 3 Agustus 2010, pukul 19.00 BBWI   di  DISPORABUDPAR  Jl. 
Jayanegara  4  Mojokerto.



Itulah sebabnya, sebagai bentuk kepedulian terhadap situasi yang terjadi Tri 
Ramidjo mengungkapkan ceritanya dengan apa adanya, tetapi juga ada yang 
menggunakan simbol-simbol, misalnya  “anjing” yang  galak, serakah,  mau menang 
sendiri dan menjilat kepada tuannya, tetapi kalau dididik bisa rukun dengan 
binatang piaraan yang lain, masak manusia dididik, serakahnya malah melebihi 
anjing.   Juga simbol ‘monyet”,  dan semacamnya. 



Tri Ramidjo telah berjuang mengangkat realitas dengan caranya sendiri, ia telah 
berusaha memahami, menghayati dan mengekspresikan diri dan obyek di 
lingkungannya dengan cukup fenomenal dan monumental, tetapi barangkali masih 
bersifat ---istilah Umar Kayam---“Reportase dari dalam”  atau baru semacam 
jurnalisme saja. 





II



Bila seorang sastrawan / pengarang hanya mampu melihat obyek luarnya saja, maka 
 -- kata Budi Darma—itu hanya akan menjadi dongeng. Dan begitu habis pengalaman 
pengarang, maka habis pulalah kemampuan pengarang untuk mendongeng.

Selanjutnya Budi Darma mengatakan “Tentu saja pengarang yang baik tidak tabu 
mengangkat realitas harafiah ke dalam novelnya –termasuk cerpen—selama yang 
menjadi tumpuan baginya bukan fakta semata-mata. Pengarang mempunyai imajinasi 
dan aspirasi. Dengan imajinasinya dia dapat menciptakan realitas yang bukan 
harafiah, meskipun yang diangkatnya adalah realitas harafiah. Setelah menjadi 
novel realitas harafiah ini sudah mengalami metamorphose melalui kekuatan 
imajinasi pengarangnya”. (Harmonium 1975 : 74).



Karya-karya sastra yang dianggap besar dan banyak dibaca oleh orang, adalah 
karya-karya yang bisa menawan rasa seni pembacanya, dapat menumbuhkan 
kesadaran, menimbulkan keberanian, mengangkat nilai-nilai harkat manusia dan 
bisa memberikan pemikiran-pemikiran penting yang menyangkut kebutuhan dasar 
manusia dalam hidupnya. 



“Karya sastra yang baik tidak selamanya menyenangkan, tetapi penuh dengan 
ledakan yang menyebabkan dia resah terhadap dirinya sendiri, orang-orang 
sekitarnya dan alam tempatnya bernafas, Karya sastra yang baik dapat membawanya 
ke dunia yang sublim, dan hanya dapat dirasakan tanpa dapat banyak dipikirkan”, 
 kata – Nirdawat-- Budi Darma.



Berbeda dengan sastra hiburan. Sastra hiburan menjadikan masyarakat hidup penuh 
hayal, penuh yang enak-enak, penuh kemudahan, agar tidak sempat ngurus politik, 
agar tidak ngurus kepincangan, agar terus dikendalikan oleh nikmatnya 
angan-angan, dan seterusnya. Sastra yang demikian ini membawa pembacanya 
berjalan di tempat, kalau tidak mau dibilang mandeg jegreg.



Dalam proses kreatif, pengarang yang baik setidaknya ia memiliki:

1. Kepekaan, pandangan yang berbeda, dan konflik yang bisa membangun imajinasi;

2. Selalu akrab dan menghayati  bahan / obyek. Sedang bahan tidak selalu berupa 
materi, akan

    tetapi bisa juga berupa gagasan atau obsesi;

3. Punya ciri   identitas khusus, Orisinalitas;

4. Intelektual yang baik, selalu mencari, belajar dan berkembang, punya daya 
serap, daya

    seleksi dan daya susun yang tinggi.





III



Untuk mengukur eksistensi sastrawan, orang harus mengetahui latar belakang dan 
proses kreatifnya, serta memahami dulu bobot karya sastranya, sampai di mana 
karya-karyanya dapat berpengaruh   terhadap   dirinya   dan   masyarakatnya.    
Sebagaimana   ucapan   penyair   Warga 

Negara Inggris   kelahiran  Amerika,  T.S. Eliot,   yang   dikutip    oleh    
novelis   Mochtar Lubis,

“Kesusasteraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra 
diukur dengan kriteria di luar estetika”.                                       
              



Sekian, semoga barokah.

Mojokerto, 1 Agustus 2010.   




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke