Relokasi Frekuensi dan Kebijakan Regulasi Abdul Salam Taba
PENATAAN ulang frekuensi radio siaran FM yang dilakukan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi/Ditjen Postel per 1 Agustus 2004 menyebabkan kualitas siaran beberapa stasiun radio menurun. Gangguan frekuensi FM terjadi karena ketidaktegasan Ditjen Postel melaksanakan Keputusan Menteri Nomor 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Penyelenggara Telekomunikasi Khusus, dan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No 15.A/DIRJEN/2004 tentang Pengalihan Kanal Frekuensi Radio Siaran FM. Ada tumpang tindih penggunaan frequency modulation (FM) karena ada stasiun radio FM yang tetap mengudara meski tidak terdaftar pada lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi tadi. Kontroversi itu menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya yang menyebabkan timbulnya interferensi terhadap frekuensi radio siaran FM. Mengapa banyak stasiun radio yang tetap mengudara meski tidak mengantongi izin Dephub cq Ditjen Postel dan apakah mereka memperoleh izin dari instansi lain? Bila ya, apakah izin tersebut sah dalam arti tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Pada dasarnya, upaya relokasi frekuensi FM yang dilakukan Ditjen Postel bertujuan lebih meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pita frekuensi agar tidak boros. Berdasarkan rekomendasi International Telecommunication Union, rentang pita yang digunakan di Indonesia untuk relokasi frekuensi FM secara nasional berada di kisaran 87,5 MHz-108 MHz. Berdasarkan rentang pita itu dan setelah dilakukan pembagian kanal dengan kelipatan 400 kHz, khusus Jakarta diperoleh 201 kanal. Jumlah kanal itu diperuntukkan bagi 42 stasiun radio RRI maupun swasta yang terdaftar pada tabel master plan frekuensi FM yang dibuat Ditjen Postel, yang tidak bertambah karena sejak 2001 pemberian izin stasiun radio baru ditutup. Jika pembagian kanal berdasarkan master plan frekuensi Ditjen Postel tersebut dipatuhi-yang boleh mengudara hanya stasiun radio yang sudah berizin dan mendapat jatah alokasi frekuensi dari Ditjen Postel-dapat dipastikan gangguan frekuensi tak akan terjadi. Namun kenyataannya ada beberapa stasiun radio yang ngotot mengudara tanpa izin Ditjen Postel. Gangguan frekuensi yang dialami beberapa stasiun radio mendorong Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) melakukan tuntutan terhadap pemerintah. Alasannya, lembaga tersebut tidak mampu melindungi dan menertibkan frekuensi FM sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang dimilikinya. Seharusnya dilakukan penertiban dan/atau penyegelan stasiun radio yang tidak mendapat izin dan alokasi frekuensi dari Ditjen Postel. Apalagi secara yuridis-berdasarkan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi-lembaga ini ditugasi mengatur masalah pertelekomunikasian (frekuensi) secara nasional. Eksistensi Ditjen Postel dan peningkatan gangguan frekuensi FM akan menjadi taruhan bila tindakan penertiban dan atau penyegelan tidak dilakukan. Pasalnya, Dinas Perhubungan di berbagai daerah cenderung berlomba mengeluarkan izin (karena merasa berhak) sehingga jumlah stasiun radio yang beroperasi tanpa izin semakin meningkat, yang pada gilirannya memicu peningkatan interferensi. Untuk meredam gangguan frekuensi, tindakan penertiban seyogianya dilakukan tanpa pandang bulu. Artinya, semua stasiun radio yang mengudara tanpa izin-termasuk Radio Suara Metro dan radio lain yang beroperasi berdasarkan izin Dishub-harus ditertibkan dan atau disegel. Manfaat tindakan tegas tersebut selain dapat menepis opini yang menganggap keengganan Ditjen Postel menertibkan Radio Suara Metro karena radio tersebut "milik" Polda Metro Jaya, juga dapat mengatasi gangguan frekuensi FM. Tindakan penertiban-dan penyegelan-terhadap Radio Suara Metro dan radio-radio lain yang beroperasi berdasarkan izin Dishub, kemungkinan besar akan "dilawan" oleh pemiliknya. Alasannya, mereka mengantongi izin yang secara yuridis juga sah karena berdasarkan ketentuan bagian 17 (aa) dari Pasal 2 (3) Peraturan Pemerintah (PP) No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pada intinya, ketentuan PP tersebut menyatakan pemerintah (pusat) yang berwenang melakukan pengaturan sistem pertelekomunikasian nasional dan pemberian orbit dan frekuensi radio, kecuali radio dan TV lokal. Ketentuan pengecualian inilah yang menjadi pemicu pemerintah provinsi di berbagai daerah menerbitkan izin alokasi frekuensi dan penyelenggaraan siaran radio. Padahal, berdasarkan ketentuan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi beserta aturan pelaksanaannya, sudah jelas dinyatakan bahwa Ditjen Postel yang berwenang menerbitkan izin alokasi frekuensi. Sedangkan menurut UU No 32/2002 tentang Penyiaran, secara tegas dinyatakan izin penyelenggaraan siaran radio diberikan oleh negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pertanyaannya, manakah di antara lembaga tersebut yang paling berhak menerbitkan izin alokasi frekuensi dan izin penyelenggaraan siaran radio? Secara yuridis, jawabannya masih debatable. Dalam arti, keputusan mengenai siapa yang paling berhak sepenuhnya terlebih dahulu harus diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang berwenang melakukan uji materil terhadap ketentuan hukum yang tingkatannya berada di bawah UU. Dalam konteks tersebut timbul pertanyaan: pihak mana saja yang berwenang mengajukan fatwa hukum ke MA? Ada dua pihak yang seyogianya melakukan upaya hukum untuk mengatasi gangguan frekuensi FM yang disebabkan oleh munculnya izin Dishub. Pertama, Ditjen Postel-sebagai lembaga yang selama ini berwenang mengatur dan memonitor penggunaan frekuensi-mengajukan fatwa hukum yang berisi permohonan agar secara nasional izin yang dikeluarkan Dishub (termasuk di DKI Jakarta) yang berbentuk peraturan daerah (perda) dengan mengacu pada PP No 25/2002 dianulir dan dinyatakan batal demi hukum. Alasannya, karena PP tadi melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan hukum yang lebih rendah (perda dan PP No 25/2000) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi (UU No 36/1999 dan UU No 32/2002). Kedua, bila upaya permohonan fatwa hukum ke MK oleh Ditjen mengalami hambatan-dengan alasan baik Ditjen Postel maupun Dishub keduanya merupakan lembaga negara-maka Pengurus PRSSNI bersama anggotanya (termasuk SPFM) harus melakukan upaya hukum yang proaktif. Caranya, dengan meminta fatwa hukum kepada MA agar izin Dishub yang dikeluarkan berbagai pemda dinyatakan tidak berlaku. Terlepas siapa yang nantinya mengajukan fatwa hukum ke MA tersebut, keberhasilan menganulir izin Dishub akan berdampak positif, baik bagi pihak Ditjen Postel maupun PRSSNI dan para anggotanya. Penganuliran izin Dishub selain dapat meningkatkan kredibilitas Ditjen Postel di mata masyarakat juga akan semakin memperkokoh keberadaannya sebagai lembaga teknis satu-satunya yang berwenang langsung mengatur dan mengawasi masalah pertelekomunikasian (frekuensi) secara nasional. Sedangkan keuntungan yang akan diperoleh PRSSNI dan anggotanya ialah kualitas siaran meningkat dan berkurangnya keluhan pendengar radio yang disebabkan adanya gangguan frekuensi. Abdul Salam Taba Alumnus School of Economics The University of Newcastle, Australia --- Visit www.warnet2000.net for directory of internet cafes. ============================================= Netkuis Instan untuk wilayah Bandung (kode area 022) - SD,SMP,SMA Berhadiah total puluhan juta rupiah... periode I dimulai 1 April 2004 ============================================= ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $9.95 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/IHFolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Visit our website at http://www.warnet2000.net Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/warnet2000/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/