Walau Melambat, Masih Jadi yang Tercepat MOCH S HENDROWIJONO
Pertumbuhan industri telekomunikasi di tahun 2006 walau melambat, namun diyakini masih akan tetap menjadi industri yang tumbuh tercepat dibanding industri lain termasuk perbankan. Teknologi-teknologi baru diperkenalkan, baik untuk sistem, jaringan maupun consumer premises equipment atau CPE semisal ponsel. Tetapi beberapa kebijakan yang ditetapkan pemerintah diperkirakan akan ikut mengerem tumbuhnya jumlah pelanggan, khususnya seluler dan nirkabel tetap. Perkiraan kenaikan biaya hidup sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan masih terasa sampai bulan April 2006. Hal itu akan turut melambatkan pertumbuhan telekomunikasi. Sementara itu, telepon tetap tidak akan beranjak banyak, apalagi PT Telkom tidak berniat mengembangkan telepon tetap (fixed line) karena biaya modalnya yang sangat tinggi dibanding telepon nirkabel tetap (fixed wireless). Terlebih karena tahun ini Telkom berencana melakukan rebalancing, menaikkan tarif telepon lokal. Alasannya, tarif telepon lokal masih di bawah biaya produksi, sementara tarif telepon sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) terlalu tinggi. PT Indosat yang diharapkan akan menutupi beberapa kekosongan akibat Telkom tidak mampu meningkatkan teledensitas (perbandingan antara jumlah nomor telepon tetap dengan penduduk), tidak bisa diharap banyak. Kendalanya, membangun harus di tempat potensial. Itu artinya di pusat bisnis atau setidaknya di perkotaan, yang nyatanya sudah dikuasai penuh PT Telkom, sementara peluang di daerah remote tidak terlalu menjanjikan. Pertumbuhan paling tinggi terjadi di industri seluler, terutama sejak tahun 2000, dengan tingkat sekitar 60 persen setahun, sementara di industri telepon tetap yang dimonopoli PT Telkom tumbuh dengan 5 persen sampai 10 persen setahun. Namun, demikian, menurut hitungan ekonomi, pertumbuhan telepon tetap PT Telkom merupakan pertumbuhan âbersihâ, sementara pertumbuhan di seluler sangat semu. Masalah pokok semuanya pertumbuhan seluler ada di prabayar yang membuat orang tidak loyal terhadap nomor seluler mereka karena mudahnya churn, pindah ke operator lain atau membuang nomor lama mengganti nomor baru. Di telepon tetap, begitu telepon tidak aktif atau menunggak, operator langsung memutusnya, dan data pelanggan pun ikut hapus. Di seluler prabayar, penghapusan paling cepat tiga bulan sejak diaktifkan, padahal bisa saja nomor hanya digunakan seminggu dan begitu pulsa habis langsung dibuang. Karena itu, dari jumlah pelanggan yang bulan Desember 2005 mencapai 46 juta, bisa jadi akan tetap sejumlah itu, atau bahkan akan menurun jumlahnya pada tahun 2006. Indikasinya, dari 46 juta pelanggan seluler, 44 juta merupakan pelanggan prabayar. Selain itu, menurut perkiraan Sekjen ATSI, Asosiasi Telepon Seluler Indonesia, Rudiantara, jumlah capex (capital expenditure belanja modal) tahun 2006 seluler turun menjadi hanya 1,5 miliar dollar AS dari 1,8 miliar dollar AS tahun 2005. Kartu prabayar menempati posisi dominan dalam pertumbuhan pelanggan seluler, meskipun angka sebenarnya tidak sebesar itu. Jika tahun 2005 tumbuh dengan 16 juta pelanggan baru, dan 98 persen di antaranya adalah prabayar, sementara 60 persen sampai 90 persen kartunya dibuang begitu pulsa habis. Ini berarti tahun 2005 ini jumlah pelanggan tidak 46 juta, tetapi riel hanya sekitar 30 juta saja. Pelanggan pascabayar tumbuh kurang dari setengah juta sementara pelanggan prabayar yang tetap memakai nomornya dan mengisi ulang hanya 7,6 juta. Indikasi lainnya, total penjualan ponsel baru sampai akhir tahun 2005 ini hanya 9 juta sehingga pertumbuhan riil pelanggan hanya sejumlah itu pula, bukan 16 juta. Promosi operator telekomunikasi, baik telepon tetap maupun seluler, GSM dan CDMA akan tetap kencang karena pertumbuhan pelanggan bisa berarti pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan keuntungan. Walaupun yang terakhir ini belum bisa dijamin dengan tumbuhnya jumlah pelanggan sebab pertumbuhan pelanggan akan menambah biaya modal sementara pendapatan dari tiap pelanggan (ARPU) bisa jadi berkurang. Akan tetapi, operator umumnya saat ini tidak peduli pada ARPU melainkan AMPU (average margin per user), yang dihitung dari berapa besar pemakaian jaringan, tidak hanya dari telepon keluar (outgoing), tetapi juga incoming. Contohnya di telepon tetap. Ketika teledensitas satu kota dengan penduduk 100.000 mencapai 2 persen, atau 2 telepon tiap 100 penduduk, ARPU (average revenue per user) katakan Rp 200.000 per bulan. Tetapi ketika jumlah pelanggan bertambah 500 saja atau teledensitasnya 2,4 persen, ARPU otomatis menurun, tidak lagi Rp 200.000, tetapi bisa jadi hanya Rp 175.000. Penyebabnya, mereka yang tadinya menggunakan 2.000 telepon bersama- sama, kini bisa menggunakan 2.500 telepon sehingga kontribusi per nomor pun berkurang karena bebannya juga dibagi-bagi. Hal sama terjadi di seluler, setiap penambahan 1 juta pelanggan baru, ARPU rata-rata akan turun dengan Rp 1.000. Tahun 2002, ARPU seluler blended rata-rata operator GSM mencapai Rp 110.000, tetapi pada awal tahun 2005 hanya Rp 75.000. ARPU terendah terjadi di prabayar, misalnya Kartu As, Mentari, Jempol, atau Fren yang di antaranya hanya Rp 15.000 sampai Rp 20.000 saja. Pembuangan kartu prabayar yang hanya digunakan pulsa perdananya, turut menukikkan ARPU prabayar. Bagi operator ini merupakan mimpi buruk, sebab harga pokok satu kartu perdana prabayar mencapai Rp 13.500. Walau demikian, bagi operator besar yang bisa menggaruk pelanggan baru sampai di atas 5 juta setahun, keuntungan tipis itu masih lumayan. Tidak bagi operator yang pelanggannya baru sekitar 500.000, seperti Fren dan Esia yang mendapat banyak rintangan dalam upaya pertumbuhannya. Tak membangun Kebijakan PT Telkom untuk tidak membangun jaringan kabel bagi calon pelanggannya dan menggantinya dengan layanan telepon nirkabel tetap Flexi, turut menghambat pertumbuhan di industri telepon tetap ini. Apalagi kebijakan direksi baru yang lebih berkutat pada siapa yang membuat kebijakan masa lalu yang dinilai salah, ikut menghambat penetrasi Flexi di seluruh Nusantara. Budaya orang Indonesia yang masih lebih percaya pada telepon kabel juga ikut menghambat pertumbuhan Flexi, juga StarOne dari Indosat. Selain itu perluasan jangkauan layanan terhambat kinerja mitra pembangun prasarana Flexi yang iklim kerja sama dengan PT Telkom tidak nyaman, ikut ambil bagian. Dengan kendala ini, target 10 juta pelanggan baru Flexi pada akhir tahun 2006 juga tidak mudah tercapai. Di seluler masalah lebih banyak lagi, terutama karena industri ini sangat terbuka terhadap persaingan, beda dengan telepon tetap yang meski sudah duopoli, namun komando masih di tangan PT Telkom. Di industri dengan persaingan yang sangat sengit ini, belanja modal yang sedikit termasuk promosi minim dan inovasi yang terbatas, tak akan dapat mendongkrak jumlah pelanggan. Operator yang sudah melaju dengan lebih dari 10 juta pelanggan akan tetap melenggang meninggalkan lawan-lawannya, seperti Telkomsel (23 juta) dan Indosat (13,5 juta). Di tahun 2006 ini, bagi keduanya hanya perlu kiat bagaimana memelihara momentum dan posisi sebagai pemimpin pasar, walau tidak berarti boleh lengah dengan memperkecil biaya modalnya. Hantaman yang sangat telak akan terjadi di industri seluler karena kebijakan pendaftaran pelanggan prabayar, yang memang sudah menjadi kecenderungan dunia. Walau tidak seribet pendaftaran pascabayar, apa yang namanya registrasi tetap akan menjadi hambatan psikologis bagi pelanggan dan calon pelanggan. Apalagi banyak orang selama ini menggunakan kartu prabayar hanya karena butuh pulsanya yang sangat murah dibanding kalau harus mengisi ulang. Kebijakan operator yang mengaitkan penjualan pulsa dengan kewajiban memasarkan kartu perdana membuat distributor terpaksa menjual kartu perdana dengan murah, bahkan di bawah nilai pulsanya. Registrasi kartu prabayar selain mengurangi kemungkinan penggunaan untuk maksud kriminal, juga mengurangi beban operator yang terpaksa menanggung beban pelanggan bodong, pelanggan yang sudah tidak aktif. Dengan registrasi tak mudah orang membeli segepok perdana, tak mudah pula orang melakukan tindak kejahatan karena segera bisa diketahui siapa pemilik nomor yang memanggil. Kecuali kalau layanan nomor yang disembunyikan (hidden number) masih diberikan oleh operator, walaupun layanan ini bisa untuk panggilan suara, tidak untuk SMS. Ketika 60 persen pembeli kartu perdana satu operator memperkirakan 90 persen membuang kartunya begitu pulsa habis, juga orang yang berniat jahat masih sibuk memikirkan cara jahat lain, pertumbuhan seluler memang tidak akan tinggi. Akan tetapi, dengan registrasi mutu pelanggan para operator membaik, ARPU diperkirakan merambat naik karena akan terjadi pertumbuhan negatif. Pertumbuhan negatif terjadi akibat jumlah nomor yang terjual dan aktif lebih sedikit dari total nomor yang terjual. Misalnya, satu operator mampu menjual 1 juta nomor dalam satu bulan, tetapi bulan itu juga ada churn 1,1 juta karena orang berhenti berlangganan atau membuang kartunya, maka terjadi pertumbuhan negatif. Bulan-bulan pertama hingga April tahun 2006 akan terjadi pertumbuhan negatif karena operator juga akan melakukan pembersihan sebagaimana disyaratkan pemerintah, nomor pelanggan yang tidak melakukan registrasi dihapus. Tetapi di balik itu sejak Januari mereka yang membeli kartu perdana boleh diharap sebagai pelanggan betulan sehingga pertumbuhan pelanggan operator tidak semu lagi. Dengan kebijakan pemerintah ini, penghapusan nomor dan berkurangnya pelanggan baru membuat jumlah pelanggan seluler di Indonesia tidak bertambah, atau kalaupun tumbuh hanya sekitar 20 persen. Angka pertumbuhan ini didapat jika operator membuka daerah baru, berarti masuk ke pedalaman dan pinggiran. Dan, masuk ke pinggiran saat ini hanya bisa dilakukan operator besar, sebab perlu mengerahkan modal yang tidak kecil. Layanan-layanan baru, semisal 3G atau pengembangan MMS (multimedia messaging service), tampaknya juga tidak akan mulus di tahun 2006. Yang tumbuh justru kontribusi SMS terhadap pendapatan operator yang tidak hanya 30 persen seperti sekarang, tetapi bisa sampai di atas 35 persen. Peningkatan kontribusi SMS ini memberi sinyal kuat bahwa masyarakat kita lebih suka pada yang sangat sederhana dibanding MMS atau 3G yang ribet dan ongkosnya tinggi karena harga ponselnya juga masih mahal. Apalagi layanan berbasis SMS bisa dikembangkan ke banyak jasa yang tidak diperkirakan sebelumnya, misalnya mobile banking, e-commerce, e-payment, dan kuis. Kecuali di Jepang, 3G atau seluler generasi ketiga tidak berjalan mulus karena berbagai kendala, utamanya akibat keribetan dan biaya tinggi tadi. Jepang pun maju karena terjadinya pergeseran perilaku dari kebiasaan membaca di mana pun, menjadi main game yang didapat dari ponsel. Kebiasaan membaca di mana pun ini tidak terdapat pada rata-rata bangsa lain. Operator GSM yang eksis sudah mendapat frekuensi untuk uji coba 3G, sementara dua operator yang sudah mendapat lisensi 3G belum juga operasi secara komersial, baru sebatas uji coba. Tidak mudah mendapatkan pelanggan untuk layanan 3G, apalagi dua operator pemegang lisensi, Cyber Access Communication (CAC) sama sekali belum punya basis pelanggan karena sebelumnya bukan operator, tetapi pedagang makanan ayam. Natrindo Telepon Seluler (NTS) meski punya basis pelanggan, namun sangat kecil, tak sampai 25.000, itu pun sebatas di Surabaya. Upaya keduanya agar layanan 3G bisa dimanfaatkan masyarakat akan jauh lebih sulit dibanding operator yang sudah punya jutaan pelanggan. Padahal, dari pelanggan jutaan ini pun, yang mau memanfaatkan jasa, misalnya MMS yang setingkat di bawah 3G, tak sampai 5 persen, jumlah yang terlalu kecil untuk ditawari memanfaatkan layanan 3G. Bagi masyarakat Indonesia, juga masyarakat di banyak negara yang masih sangat memperhitungkan biaya (cost consciousness), 3G akan tetap menjadi sekadar wacana. Bagi operator layanan 3G hingga 2-3 tahun masih dianggap sebagai asal tidak ketinggalan dan lebih ke menaikkan pamor di mata pelanggan dan operator lain. Layanan 3G hanya bagi operator merupakan hygiene factor, seperti halnya gaji pegawai yang kalau tidak dinaikkan akan membuat pegawai tidak termotivasi. Tetapi kalau gaji dinaikkan juga, motivasi akan terjadi walau seminggu kemudian turun lagi, kembali ke normal. MOCH S HENDROWIJONO Wartawan, Tinggal di Cisarua, Bandung ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get Bzzzy! (real tools to help you find a job). Welcome to the Sweet Life. http://us.click.yahoo.com/KIlPFB/vlQLAA/TtwFAA/IHFolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Visit our website at http://www.warnet2000.net Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/warnet2000/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/