Enam tahun berlalu sudah, Enam tahun pula kita berkutat dengan kesibukan masing-masing, Idealisme di awal berdirinya Provinsi, Sirna ditelan kegelapan.
Satu dua letupan terdengar, Secepat angin meniup hilang tak terdengar. Sementara kebanyakan orang tua sibuk mewarisi anak turunannya dengan harta yang berlimpah, tanah dan rumah mewah, gelar yang tinggi dipersiapkan tanpa terfikir untuk mewarisi keteladanan dan budi pekerti yang tinggi. Lalu apa yang kita akan pilih untuk mewarisi anak turunan kita kelak? Apa yang akan kita torehkan guna tanah tercinta ini kelak? Setelah sembuh dari sakit yang membuat saya harus merasakan empuknya tempat tidur rumah sakit untuk yang pertama kalinya, saya menyempatkan diri mengantar puteri saya untuk menari bersama sanggar Raksa Budaya di Hari Ulang Tahun Taman Mini Indonesia Indah di jakarta. Pikiran saya tiba-tiba tertarik kembali kebelakang setelah mendengar sepatah kata dari Wakil Manager TMII yang menyebutkan bahwa telah disiapkan sebidang tanah untuk Provinsi Banten. Mata terpejam, otak me"rewind" kejadian-kejadian masa lalu. Ada yang kurang!!!! Yah. Ada yang kurang. Bahkan ini sangat penting sebagai identitas suatu kelompok. Kita belum punya jati diri! Baik secara de facto dan de jure memang kita belum punya jati diri. Dari fakta yang ada kita masih bingung dengan bahasa yang akan dimunculkan sebagai bahasa Banten. Jawa Serang atau Sunda? Atau keduanya? secara hukum, belum ada perda yang menguatkan hal tersebut. Seburuk apapun seharusnya pada tahun-tahun pertama Provinsi Banten terbentuk, perangkat yang mengatur semua itu telah dipersiapkan dengan matang. Apa yang menyebabkan orang dari daerah lain jika bertemu kita langsung dapat menyebutkan, "Dari Banten ya mas" Ga ada itu,... Ga adaa,..... (Harun Al Jaim) Orang luar lebih mengenal Baduy ketimbang Bantennya persis sama ketika orang luar lebih mengenal Bali dari pada Indonesianya. Banten lebih parah lagi karena sebagian orang yang belum pernah berkunjung ke Banten akan "melihat" Banten sebagai sebuah tempat yang gelap, masih terbelakang, banyak jagoan dan penuh dengan mistis/santet. Eh tambah dua lagi 'ding' sebagai sarang teroris dan pabrik narkoba. Bayangkan itu!!! Semua berjalan mulus tanpa ada "perlawanan" dari masyarakat Banten sendiri. Sebagian masyarakatnya justru bangga disebut sebagai tempat penuh mistis/santet, bangga disebut sebagai jagoan. Dan sepertinya kita-kita yang dulu berjuang juga seakan ikut menghilang hingga ucapan dari Wakil manager TMII itu menyentak saya. Islami Kulitnya Ketika orang makan kacang atau kuaci biasanya akan memilih kulit yang baik dengan perkiraan isinya juga baik. Tapi kenyataannya sering kecewa karena biarpun kulitnya baik namun isinya kering, keriput bahkan pahit dan busuk. Jika dapat yang pahit biasanya orang penasaran untuk mencari lagi dan lagi. Orang makan durian ketika membeli sudah tidak peduli dengan kulitnya yang tajam dan rupanya yang buruk. Yang jelas perjanjiannya "Saya beli kalau matang dan manis". Orang cari isinya, bukan kulitnya. Kita sering makan durian tapi berperilaku seperti pemakan kacang atau kuaci. Dalam perjalannya, semua kebijakan yang diambil hampir dipastikan haruslah berlandaskan Islami. Hingga akhirnya bingung sendiri bahkan sekarang menjadi blunder. Bayangkan saja dalam kenyataannya provinsi yang menggunakan motto "Iman Taqwa" dalam putaran pertamanya saja sudah menyeret Gubernur dan pimpinan DPRD Provinsi Banten. Benar atau salah demikian yang terjadi dan terbaca. Sementara banyak yang menghambur-hamburkan uang untuk urusan tak jelas, diperempatan lampu merah anak jalanan masih bertambah. Ketimpangan-ketimpangan lain yang pasti dirasakan. Teringat ketika saya memenangi sayembara Logo Provinsi Banten (Juara 1 dan 3), ketika tidak lama setelah dipublikasikan, langsung mencuat motto Banten itu tidak Islami. Ketika itu saya menggunakan "Nagari Rahayu Jaya Santika" Ramailah dan berlombalah menggolkan motto yang "Islami" dengan Darussalam, Iman Taqwa dan lainnya. Ketika itu bola panas selalu berpindah antara legislatif dan eksekutif. Akhirnya judul lagu dangdut yang terpilih kata Gola Gong. Dalam "wawancara" dengan radio Sigma Stain Serang ketika itu, saya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan asal usul motto pemenang, namun digiring untuk mengakui bahwa motto itu tidak Islami. Ketika saya tanyakan dimana ketidak Islaminya motto tadi, mereka enggan meneruskan "wawancara". Bahkan setelah mengetahui siapa yang menang,.... hingga detik ini saya belum pernah menerima piagam yang meyatakan kemenangan tersebut. Padahal sangat saya idam-idamkan karena menjadi bukti otentik untuk anak cucu saya kelak. Bayangkan juara mewarnai tingkat TK juga mendapat setifikat. Sebenarnya "pengakuan" itu yang lebih saya harapkan. Karena bagi saya, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Bukan dimana bumi dipijak saya diinjak. Itu adalah sekedar contoh yang saya alami sendiri. Tentunya rekan-rekan juga merasakan hal yang sama dalam peristiwa yang berbeda. Apakah ini sudah menjadi sebuah harga mati sehingga dari kalangan cendikia hingga birokrat selalu mengedepankan kulit Islami-nya ketimbang isi dari kulit tadi. Saya bukan penentang dalam masalah ini namun ketika perangkatnya selalu tidak mendukung, janganlah berlindung diketiak Agama dan Agama menjadi alasan. Ketika perangkat kerjanya lepas kontrol sehingga tidak bekerja seperti yang diharapkan -seperti sekarang ini, maka landasan tadi dapat menjadi bumerang untuk landasan itu sendiri bukan pada perangkatnya. Jati Diri Beberapa tahun lalu ketika pemilik salon dikumpulkan guna membahas "pakaian khas Banten" timbul polemik yang gak ada juntrungnya hingga saat ini. Sederhana saja. Ketika itu wanita di Banten menggunakan sanggul atau kerudung? Hebatnya pertemuan ini tidak melibatkan ahli sejarah dan arkeologi. Jika membahas pakaian pada saat jaman Kesultanan semestinya kita punya patokan dalam stata apa pakaian itu dan dalam kelompok mana pakaian itu. Karena Kesultanan Banten pada saat itu terdiri dari bermacam strata dan golongan sehingga dalam berpakaianpun akan sangat berbeda. Dalam sebuah buku terbitan belanda tergambar suasana ketika Sultan Abdul Mafakir menyunatkan anaknya. Dalam gambar tersebut anak Sultan tampak digendong namun pada latar belakangnya terdapat gambar seperti arca bertangan delapan. Yang sangat mencolok adalah gambar seorang perempuan di sebelah kiri depan yang tidak menggunakan baju sehingga terlihat payudaranya. Dalam beberapa buku Halawani Michrob, gambar tersebut ditusir ulang sehingga hilang patung tangan delapannya dan sang perempuan sudah mengenakan baju. Ketika itu terdengar bahwa buku itu terbitan Belanda dan ingin mengacaukan sejarah Banten. Pertama saya setuju saja hingga saya mendapati kenyataan bahwa buku Belanda itu sebagai rujukan pertama (berdasarkan filologi) yang sahih menurut arkeologi. Kemudian didasari bahwa Sultan Abdul Mafakir mempunyai tempat tinggal sendiri di Kenari. Dalam peninggalannya gerbang Kenari lain dari gerbang Bentar dan Paduraksa yang ada di Kaibon. Di Kenari lebih bernuansa Bali. Dengan itu sekitar Kenari pasti ada komunitas Bali yang notabene memeluk Hindu. Sehingga tidak salah jika pembuat gambar (lithograph) ketika itu "memotret" keadaan sebenarnya dimana arak-arakan sunat melintas di muka rumah seseorang yang memeluk Hindu. Mengenai perempuan telanjang dada dapat dijelaskan bahwa Bali tahun 70-an saja masih banyak wanita Bali yang bertelanjang dada. Kampung orang Bali terbesar di Banten adalah dekat Surosowan yaitu kampung Kebalen. Jadi siapa yang membelokan sejarah? Apalagi menggunakan karya orang kemudian "dirusak" menurut versinya sendiri. Untuk ringkasnya mau pakai kerudung kek, mau pakai sanggul kek, mau pakai blue jeans kek yang penting adalah keberanian politik eksekutif dan legislatif untuk membuat payung hukum segala sesuatu yang dapat membangkitkan jati diri Banten. "Wah rumah adat kita hanya ada di Baduy. Masa kita punya rumah adat seperti itu", kata rekan saya. Nah ini, mau rumahnya dari bambu kek, mau dari beton kek, mau tingkat tiga kek, mau tingkat sepuluh kek yang penting ada payung hukumnya. Setali tiga uang dengan bahasa, nyanyian dan lain sebagainya yang penting payung hukum. Teringat ketika final KDI di TPI atau puteri Indonesia (agak lupa) tahun 2005 kalau gak salah. Ketika itu Ibu Atut Chosiyah datang memberi dukungan untuk kontestan dari Banten. Ketika disuruh menyanyikan lagu dari Banten, kontestan kita terlihat kebingungan, padahal sudah digembleng masalah ke-Bantenan. Padahal kalo jlinger nyanyiin aja lagu Katuran Sholat,.... ahuehuahuehuahe.... Kita yang provinsi, lagu saja tidak punya. Cirebon, "nenek"nya Banten yang Kota Madya sudah ber kontainer-kontainer memproduksi Tarling. Yang mutakhir ya "Kucing Garong" Tarik manggg,.... Kalah Terus Tanpa Perlawanan Dibidang pembentukan jati diri Banten selalu kalah dari DKI Jakarta. Beberapa hal yang seharusnya bisa kita lawan sampai titik darah penghabisan ialah kepulauan Seribu yang secara historis masuk dalam Kesultanan Banten kemudian Ondel-ondel Betawi yang berasal dari pepetan wewe Kemang dan terakhir adalah Babad Betawi yang mirip "sejarah Banten". Kepulauan Seribu ada sedikit perlawanan tapi sepertinya hanya basa-basi saja. Beberapa peninggalan sejarah menyatakan -salah satunya- adalah pulau Onrust (bener gak nulisnya soalnya lagi ga liat buku) yang akan dijadikan "bengkel kapal" oleh Belanda diharuskan minta izin ke Banten oleh penguasa Sunda Kelapa saat itu. Belum lagi dengan batas sungai Cisadane. Tapi perlawanan kita melempem. Apalagi dengan Ondel-ondel dan Babad Betawi yang mirip "sejarah Banten" nya Drs Yosep Iskandar. Tahun 1960 Jakarta meminjam Pepetan Wewe Kemang untuk HUT Jakarta. Selepas itu didandanin dibuatkan perda, resmilah dengan nama Ondel-ondel, sebuah seni tradisional Betawi. Kemudian tidak mengerti siapa yang mulai, Babad Betawi-pun menngacu pada sumber yang sama dengan "sejarah Banten" yaitu naskah Wangsakerta. Padahal naskah tersebut sempat dinyatakan tidak valid oleh Arkeologi Nasional. Setelah peneliti naskah Wangsakerta meninggal dunia dan hanya menyisakan satu orang, datanglah Drs Yosep Iskandar ke Banten dengan membungkusnya sebagai "sejarah Banten". Dua tahun setelah itu saya menemukan buku Babad Betawi yang juga berdasarkan naskah Wangsakerta namun yang menjadi rujukan adalah Betawi. Jika dalam "sejarah Banten" Salakanegara itu di gunung Pulasari, maka dalam Babad Betawi, Salakanegara ada di gunung Salak. Rajanya sama Dewawarman dan mertuannya juga sama Aki Tirem. Jangan-jangan nih dalangnya sama. Saya sangat menerti, boro-boro ngurusin sejarah orang, wong sejarah sendiri saja amburadul bahkan banyak yang tidak masuk akal. Tapi yang mengherankan mengapa Babad banten tidak pernah dipublikasikan. Ada apakah gerangan. Simpang siur keberadaan Babad banten hingga sampai ada yang menyebutkan ada jilid satu dan dua. Tapi sejauh ini ada informasi Babad Banten dipegang oleh bapak Uki Sandjadirdja mantan Kepala Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Serang. Saya pernah menemuinya untuk sekedar melihat. Namun dijawab dengan ngalor-ngidul, sehingga saya balik ngalor ke rumah sendiri. Dalam sejarah kita sudah sangat capai melawan rekan sendiri. jeruk makan jeruk namun yang kenyang orang lain, terus berlangsung di Banten. Dua kali kita diberi kepercayaan untuk memimpin daerah sendiri, dua kali pula kita gagal. pertama dalam kesultanan yang kemudian hancur kemudian ketika Achmad Chatib residen pertama Banten juga amburadul dengan isu PKI, apakah kita mau mengalami nasib yang sama sekarang ini? Keberanian Luar dalam Perlu keberanian luar dalam untuk membangun jati diri Banten. Termasuk pencarian fakta beberapa kejadian yang krusial di Banten seperti kapan dan dimana pertama kali gelar Tubagus digunakan, apakah gelar Tubagus menunjukan seseorang pada keturunan Sultan Banten atau bagaimana. Kapan pula istilah Jawara mulai dimunculkan sehingga kini melekat Ulama, Umaro dan jawara. Banyak lainnya yang membutuhkan keberanian luar biasa untuk membawanhya ke publik untuk dibahas secara ilmiah dan dapat dipertanggung-jawabkan. Sekali lagi mengenang, menggali sejarah bukan mengorek kembali luka lama, namun sejarah tetaplah sejarah, sepedih apapun harus kita sikapi dengan penuh kearifan, agar menjadi pegangan untuk menggapai cita-cita mengangkat Banten sebagai provinsi terkemuka yang menjadi panutan provinsi lain di jagad ini. Dan akankah kita wariskan provinsi ini tanpa jati diri? Jangan beraninya mengenakan topeng saja. ____________________________________________________________________________________You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck in the all-new Yahoo! Mail Beta. http://advision.webevents.yahoo.com/mailbeta/newmail_html.html