Hello Gank, Dibawah ini pendapat lengkap Dr. Ayu Sutarto yang saya comot dari internet. Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat Dr. Ayu ini.
Kalau masalah goyang Inul ini sedemikian menjadi pergunjingan pro-kontra masyarakat yang tak henti-henti, betapa hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mencerdaskan bangsa negeri ini memang masih amat panjang dan betapa akan semakin sulit, karena disatu sisi dengan merebaknya internet, dunia menjadi lebih transanparant, lebih terbuka, menjadi tanpa batas dan tak kenal sensor, yang menciptakan kelompok masyarakat yang open minded sampai dengan yang mengumbar hedonisme, sementara disisi lain sebagian masyarakat yang tak kenal internet tetap hidup dengan cara pandang yang 'konvensional'. Ditengah mulai terjadinya perbenturan antara dua kelompok itu, ada satu kelompok masyarakat lagi yang hidup dengan sikap oportunis. Mereka ini adalah para pelaku KKN, white colar criminals, orang2 yang menunggangi agama untuk tujuan politiknya, pokoknya yang serba abu2 dan mau enak sendiri. Masyarakat bawah bagaimana?, mereka ini adalah masyarakat yang akan melakukan apa saja yang dapat membuat mereka lupa pada lapar, yang dapat membuat hati mereka senang walau hanya untuk sesaat, yang dapat membuat mereka lupa pada hutang dan yang dapat meluapkan segala tekanan kehidupan yang menghimpit. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi pasar bagi musik2 rakyat. Mereka inilah yang mempopulerkan Inul, Elvy Sukaesih, Iwan Fals, dsb. Lalu, ke 3 kelompok kecil masyarakat yang disebutkan sebelumnya, yang berkedok intelektuallah, yang berkedok agamalah, yang berkedok kebudayaan Indonesialah, saling bersilang pendapat dan membingungkan rakyat. Mereka lupa bahwa kalau mereka khawatir akan pengaruh Inul, Iwan Fals dll terhadap perilaku masyarakat, justru masyarakat itulah yang perlu ditingkatkan daya nalar dan kecerdasannya, yang perlu ditingkatkan kemampuan mengapresiasikan seninya, yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya, yang perlu ditingkatkan moral dan etikanya. Bukan Inul atau Iwan Falsnya yang dilarang mengembangkan apresiasi seni mereka dan mencari nafkah dengan ketrampilannya itu. Bukan tidak mungkin silang pendapat ke 3 kelompok kecil itu akan berakibat pada terbentuknya pengelompokan2 masyarakat bawah, yang ditengah-tengah kesulitan ekonomi tiada henti, ditambah dengan kemungkinan bencana ekonomi yang lebih besar lagi akibat perak Irak-US, benar-benar akan dapat menimbulkan perang saudara yang dikhawatirkan Pak Priyo. Menurut saya, tidak usah kita hiraukan hiruk pikuk soal goyang Inul ini. Kita nikmati saja. Jangan kita ikut taburkan bibit perang saudara. Biarkan pasar yang menentukan apakah suatu produk akan laku atau tidak. Lebih baik lagi, kita ikut mengeducate pasar supaya mereka dapat memilih produk seni yang berkualitas. Sex adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari manusia selama manusia hidup. Jadi sex bukanlah sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Otak dapat saja menginterpretasikan goyang ngebor dan goyang molennya Inul itu sebagai sesuatu yang menimbulkan sensasi sexual yang sangat nikmat. Ini menurut saya tidak salah, boleh-boleh saja, silakan saja. Sensasi sexual itu kan dibangkitkan oleh otak mereka sendiri, yang mengenai diri mereka sendiri bukan orang lain. Tapi, pada tingkat kerumitan dan kecerdasan otak yang lain bisa saja otak itu tidak membangkitkan rangsangan sexual, akan tetapi membangkitkan persepsi bahwa goyang ngebor nya Inul itu sebagai suatu karya seni yang indah, sama sekali tidak ada hubungannya dengan sensasi seksual. Salam hangat, HermanSyah XIV Jawa Pos Sabtu, 01 Feb 2003 Goyang Inul, Pasar, dan Pengadilan Budaya Oleh Ayu Sutarto * Politik tubuh bukan hanya digunakan penguasa sebagai strategi punitif yang terkait dengan siksaan, hukuman, dan disiplin seperti dikemukakan Michel Foucault, melainkan juga dimanfaatkan seniman sebagai alat untuk "menghipnotis" pasar agar produk kesenian yang ditawarkannya mendapat respons positif. Inul Daratista, penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jatim, merupakan salah satu contoh seniman yang mampu mengelola politik tubuhnya untuk memasarkan ekspresi kesenian sehingga laku jual. Goyang pinggul, goyang dada, dan lirikan mata menggoda merupakan ekspresi politik tubuh yang digunakan penyanyi dangdut Indonesia, termasuk Inul Daratista, sebagai alat menaklukkan pasar dan mengikat pelanggan (baca: pemirsa/penikmat kesenian). Inul tidak sendirian. Elvie Sukaesih, misalnya, tercatat sebagai penyanyi dangdut senior yang berhasil mengekspresikan politik tubuhnya dengan apik tanpa harus mendapat respons negatif para penggemarnya. Goyang pinggul dan lirikan mata Elvie masih dianggap santun. Hal serupa dialami Camelia Malik. Goyang pinggul dan goyang dada pelantun lagu Colak-Colek ini, yang konon terilhami goyang jaipong, cukup memesona dan tidak dituduh berbau asusila. Namun, goyang pinggul Inul bernasib lain. Goyangnya yang sangat unik bukan hanya menuai decak kagum penggemarnya, melainkan juga mengundang protes beberapa elemen masyarakat karena dinilai merusak moral bangsa. Setelah Muhammadiyah Kota Blitar memprotesnya dan mengusulkan agar yang berwajib mencekalnya, kini Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Mojokerto juga bertekad mencekal goyangan mautnya. Inul tidak boleh tampil di beberapa daerah (Jawa Pos, 27 Januari 2003). Masyarakat penggemar Inul terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang memberikan respons positif. Kelompok ini dengan suka cita menikmati dan memahami ekspresi seninya. Kedua, mereka yang memberikan respons negatif karena menganggap goyang Inul sebagai representasi simbolis dari suatu entitas yang asusila. Inul menjadi sebuah fenomena sosiokultural yang diperhitungkan. Namun, siapa pun dan seperti apa Inul, dia telanjur diterima pasar sebagai komoditas laris manis dan pemuas kebutuhan manusia akan kreasi estetik simboliknya. Dia berhasil memadukan musik dangdut dengan bahasa tubuh erotik-seksual yang berbeda dari penyanyi dangdut pendahulunya. Goyang Inul yang unik mampu menggeser ke pinggir goyang jaipong dan goyang dombret. Goyang pinggulnya sangat unik dan sensasional, sehingga menjadi komoditas yang dapat menangguk uang. Goyangnya juga tak tertandingi oleh goyang gaya Jawa Timuran yang lain, misalnya, goyang gandrung Banyuwangi atau goyang tayub dari Nganjuk dan Tuban. Goyang pinggul Inul, yang mendapat tanggapan luas dari masyarakat, merupakan prestasi Inul dalam menaklukkan pasar yang terkenal sangat perkasa dan tidak berkompromi. Bahkan, keunikan goyangnya membuahkan dua kosa kata baru. Yaitu ngebor dan molen (pencampur bahan beton). Goyang pinggul Inul disebut ngebor karena ekspresi estetik simbolik dari politik tubuhnya menyerupai gerakan bor putar yang bergerak memutar dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Bor putar adalah alat pembuat lubang yang menggunakan gerak perputaran batang dan matanya untuk menembus kayu atau batu. Ekspresi politik tubuhnya juga disebut gaya molen, yakni alat yang digunakan untuk mencampur dan mengaduk bahan bangunan yang terdiri atas semen, batu, dan pasir yang bergerak memutar. Tentu saja dua kosa kata baru tersebut memiliki makna seksual yang sangat kental. Perjalanan karir Inul memang sangat hebat karena penyanyi dangdut yang satu ini berhasil mendongkrak popularitasnya dari penyanyi tingkat kondangan dan hajatan di kampung-kampung menjadi penyanyi dangdut kelas nasional. Tetapi, strategi politik tubuh yang unik tersebut sekarang ini harus berhadapan dengan pengadilan budaya dari pasar lain yang memberikan respons negatif. Pengadilan budaya dalam kasus Inul berangkat dari dua pendekatan, yakni etno estetik dan religio estetik. Dari kaca mata etno estetik, apa yang dilakukan Inul dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Sebab, ekspresi estetik simbolik seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai jenis tari di Indonesia. Misalnya, jaipong, tayub, gandrung, lengger, dan lain-lain. Karena itu, hukum positif akan sulit diterapkan terhadap ekspresi berkesenian Inul. Apalagi, jika gerakan tubuh itu dikaitkan dengan masalah erotika, pornografi, atau perusak moral bangsa. Agaknya, dakwaan itu terlalu dicari-cari. Tetapi, bila penilaian itu berangkat dari religio estetik, persoalannya akan menjadi lain. Sebab, agama memang sudah mempunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batas-batas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik tidak akan memberi ruang sedikit pun kepada Inul. Menyalahkan Inul saja, tampaknya, tidak adil. Sebab, sikap seperti itu sama saja dengan menyalahkan pelacur di lokalisasi. Artinya, Inul tidak akan laku atau pelacuran pasti akan bubar bila pasar tidak merespons positif. Penerimaan pasar kepada Inul menunjukkan bahwa apa yang disajikan Inul pas dengan selera sebagian masyarakat. Karena itu, masyarakat mengonsumsi ekspresi simboliknya. Inul hanyalah seorang pencari rezeki yang berprofesi sebagai penyanyi dangdut. Dia hanya sebuah produk; yang menentukan hidup matinya adalah pelanggan. Dari kasus Inul, kita dapat berkaca dan memetik beberapa pelajaran penting. Pertama, untuk mendongkrak popularitas berkesenian, seniman di negeri ini masih menggunakan politik tubuh dan bahasa tubuh yang beraroma seksual. Mereka masih yakin bahwa pasar meminatinya. Karena itu, jika ingin memberantas gejala tersebut, yang harus dihilangkan bukan hanya produk keseniannya, melainkan juga selera rendah masyarakat pemirsa atau penikmatnya. Kedua, produk kesenian etnik sebagai sebuah entitas yang terkait dengan kreasi estetis simbolis tidak hanya harus dilihat dari perspektif religio estetik. Sebab, para senimannya hampir tidak pernah menggunakan takaran itu. Ketiga, pengadilan budaya sulit dilaksanakan dalam suatu negara yang masyarakatnya berbudaya majemuk. Meskipun demikian, toleransi dapat dibangun berdasarkan sikap saling menghargai. Solusinya, jika show diselenggarakan di tempat terbuka, hendaknya Inul mengurangi kualitas ekspresinya dengan tidak harus melepas semua keunikannya. Tetapi, jika show diselenggarakan di tempat-tempat hiburan tertutup, seperti kelab malam, karaoke, diskotek, atau restoran, dia dapat tampil semaksimal mungkin. Toh di sana banyak hal yang lebih "seram" dari itu. Saya bukannya membela Inul, tetapi menuduhnya sebagai perusak moral bangsa sangatlah menggelikan. Di sekitar kita terdapat banyak gejala sosial dan kultural lain yang lebih parah dari fenomena Inul. Lebih merusak moral bangsa. Gitu saja kok repot! *** * Dr Ayu Sutarto, ahli humaniora pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember. "Rastihat" <[EMAIL PROTECTED]> 02/16/2003 15:02 Please respond to anggota To: [EMAIL PROTECTED] cc: Subject: [anggota] Goyang Jember, Minggu Pengamat budaya dan sastra dari Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej), Dr Ayu Sutarto, meminta agar kontroversi goyang pinggul Inul Daratista tidak dijadikan isu sentral oleh bangsa Indonesia yang sedang dihadapkan pada persoalan bangsa yang lebih penting dan multidimensional. "Hal ini agar berbagai persoalan bangsa yang lebih membutuhkan perhatian dan lebih penting, yakni kemiskinan, banyaknya pengangguran, dan berbagai persoalan bangsa lainnya segera terselesaikan," katanya menjawab pertanyaan Antara di Jember, Menurut dia, goyang "molen" atau "ngebor" dari penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur itu jangan diributkan terus karena hal itu hanya merupakan salah satu dari produk budaya yang sifatnya fashion dan sesaat, serta hanya akan bertahan sejalan dengan kesukaan publik. Untuk itu, katanya, pro-kontra Inul hendaknya dipandang sebagai pluralisme beradab dari sebuah bangsa yang kaya akan ragam budaya sehingga tidak menimbulkan pertentangan yang fatal. "Artinya, dalam melihat persoalan goyang "ngebor" Inul, perlu dilakukan kompromi atau kesepahaman budaya antara masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra dan Inul sendiri sebagai produk budaya. Dengan demikian tidak akan terjadi ketersinggungan karena goyang tersebut akan disesuaikan dengan keadaan di mana goyang itu dilakukan," ujarnya. Meski diakui, goyang "ngebor" Inul mampu menimbulkan kecemburuan bagi kaum hawa, namun yang penting kita harus melihat persoalan ini secara arif sehingga tidak menimbulkan benturan. --[YONSATU - ITB]---------------------------------------------------------- Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net> Moderators : <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Unsubscribe : <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Vacation : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=vacation%20yonsatu>