Melacak Jejak Liberal di IAIN
  
 
  Katagori : Kritik & Investigasi
Oleh : Redaksi 08 Mar 2004 - 10:21 am 
  
IAIN memiliki cita-cita luhur: menghasilkan ulama yang disegani. Namun dalam 
perkembangannya, malah berubah menjadi sarang pergumulan beragam pemikiran, 
dengan alasan wacana, ijtihad dan kebebasan berpikir.

"Saya Saidiman, mahasiswa Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin. Hari ini juga 
keluar dari Islam." Ucapan lantang itu membuat peserta acara Dialog Publik 
bertajuk "Jilbab Yes or No: Problematika Pewajiban Berjilbab di UIN Jakarta", 
Jum'at (24/05), terhenyak. 
   
  Aula Insan Cita, Ciputat, menjadi senyap seketika. Saidiman bermaksud 
menanggapi protes keras atas bergulirnya wacana penghapusan pewajiban jilbab. 
Menurutnya, Islam sangat menjunjung kebebasan bagi siapa pun untuk memaknai 
kehidupan ini dengan penghayatan keagamaan model apa pun, sesuai dengan tafsir 
yang diyakininya. 

Cuma, harus atas dasar pilihannya sendiri dan tidak di bawah paksaan seseorang 
atau institusi. "Seandainya saya mempunyai keyakinan bahwa orang yang tidak 
memakai jilbab akan membuat ia masuk neraka, tetap saja saya tidak bisa 
memaksanya untuk ke surga," tambahnya.

Kasus di atas, cuma sekelumit contoh pergulatan pemikiran yang sedang 
berkembang di IAIN. Dimulai dari Harun Nasution dengan pemikiran Islam 
Rasionalnya-yang terinspirasi dari pemikiran Mu'tazilah yang dibawa Washil bin 
Atha' dan mendapat penetangan habis-habisan oleh para ulama generasi awal, lalu 
berlanjut dengan Nurcholis Madjid dengan ide-ide sekularisasinya. 
   
  Dan kini ada Islam Liberal yang juga diawaki oleh sebagian civitas akademika 
IAIN. Tahun 1986, Munawir Sadzali, yang kala itu menjabat Menteri Agama, 
mengirim enam orang dosen se-Jawa ke Amerika Serikat mengambil pasca sarjana 
untuk mata kuliah studi keislaman (Islamic Studies) dengan dalih peningkatan 
kualitas ulama yang nantinya dihasilkan IAIN.

Hasilnya? Pemikiran-pemikiran nyeleneh dan menyimpang dari mainstream keyakinan 
Islam terus berkembang dari rahim institusi ini. 
   
  Apa yang datang dari Barat selalu dicap sebagai ilmiah dan punya metodologi. 
Padahal, metodologi yang digunakan Barat adalah filsafat yang menggunakan 
pendekatan sesuai dengan karakter sosial dan sejarah mereka.

Ide pemisahan wilayah publik dan wilayah privat yang diusung kelompok liberal, 
misalnya, adalah model dikotomi yang berlaku di Barat (agama adalah soal 
individu, sedang soal publik adalah hak negara). Hal seperti itu, di sana wajar 
saja. Sebab, agama Kristen yang dianut mayoritas bangsa Eropa tidak mempunyai 
penjelasan integral tentang berbagai aspek kehidupan.

Pengaruh para dosen alumnus Barat ini diakui Daud Rasyid, pakar hadits yang di 
masa Harun pernah mengajar di Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. 
Menurutnya, ide-ide liberal itu dimulai sejak zaman Harun (laknatullah-ri2)

Namun pendapat ini ditampik Prof. Endang Soemantri, Rektor IAIN Sunan Gunung 
Djati, Bandung. "Jangan menganggap kalau dosennya banyak lulusan Barat maka 
pemikirannya akan menjadi Barat. Kita tetap akan berusaha mempertahankan jati 
diri yang sudah ada," bantahnya.

Tapi, apa yang terungkap dalam acara Seminar Islam Rasional bertajuk 
"Membincang Pembaharuan Pemikiran Islam Prof. Dr. Harun Nasution," Kamis 
(23/05), barangkali membuka mata kita. Dalam sesi tanya jawab, seorang 
mahasiswa semester II jurusan Akidah-Filsafat, mempertanyakan rasionalitas 
dosen-dosen agama. Ia mengaku sering mendapat arahan di kelas untuk berpikir 
rasional. 
   
  Tapi ketika terjun langsung di masyarakat, ia bersinggungan langsung dengan 
cap-cap kafir, murtad, dan lain sebagainya. "Dosen-dosen sih enak, cuma di 
kampus saja," keluhnya yang disambut tawa hadirin.

Fakta lain, juga diungkapkan oleh Nur Hasanah, Ketua Keputrian LDK-IAIN. 
Menurutnya, ia tidak banyak mendapatkan nilai-nilai keimanan, akhlak, di bangku 
kuliah. Yang banyak justru kebebasan berpikir. Ia mencontohkan mata kuliah 
Teologi Islam yang membebaskan mahasiswa menggali berbagai macam aliran. 
Sementara dosennya membiarkan semua mengambang dan menyerahkan sepenuhnya 
pilihan pada mahasiswa. "Ada banyak teman-teman yang malah jadi gamang, Ada 
banyak juga yang menggali filsafat, kemudian malah tidak shalat. Yang sering 
didengung-dengungkan adalah bahwa agama itu adalah hak individu," jelasnya.

Ide-ide liberal yang berkembang di IAIN semakin mengkristal dengan munculnya 
protes atas diwajibkannya jilbab oleh pihak UIN yang dimotori Forum Mahasiswa 
Ciputat (Formaci), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Lembaga 
Studi Arus Demokrasi Indonesia (LS-Adi). Menurut Formaci, seperti diungkapkan 
beberapa pengurusnya dalam diskusi dengan SABILI, harus ada pemisahan antara 
wilayah privat yang merupakan hak individu dengan wilayah publik yang merupakan 
hak umum. Jilbab adalah wilayah privat, yang karenanya tidak boleh 
diinstitusionalisasikan.

Formaci membuat wacana tandingan sekaligus gerakan menolak campur tangan ke 
dalam wilayah publik atas nama agama. "Ruang publik harus bebas dari 
teologial," tegas Iqbal Hasanuddin, Ketua Formaci. 

Alasan lain, jilbab mempunyai banyak penafsiran, seperti pendapat bahwa jilbab 
adalah kultur Arab. "Jika IAIN mewajibkan jilbab, berarti memihak pada salah 
satu penafsiran dan menolak penafsiran lain. Harus ada kesejajaran tafsir wajib 
dan tidak wajib atas jilbab. Dalam perspektif civil liberty (kebebasan sipil), 
IAIN itu milik publik" ujar Iqbal.


  Betulkah kewajiban jilbab soal penafsiran saja?  

Dalam al-Qur'an, Allah tegas memerintahkan kepada setiap muslimah yang sudah 
baligh untuk mengenakan jilbab. "Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, 
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka 
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,'" (QS al-Ahzab: 59). 
   
  Para ulama sejak generasi sahabat hingga saat ini sepakat tentang wajibnya 
jilbab. Konsensus ini dikenal dalam khazanah yurisprudensi Islam dengan Ijma', 
yang merupakan salah satu sumber hukum yang disepakati umat. Sehingga, 
kewajiban jilbab adalah qath'i (mutlak) dan tidak bisa diinterpretasi lagi.

Kebebasan berpendapat tidak boleh menjadi dalih untuk menafsirkan sesuatu yang 
sudah baku dalam Islam. Seperti diungkapkan Dr. Daud Rasyid, awalnya kebebasan 
di IAIN itu disepakati secara salah. Kebebasan dalam Islam itu bukan bebas 
berpikir semaunya. 
   
  Harus ada koridor berpikir yang didasarkan pada kaidah al-Qur'an dan Sunnah 
Rasul dengan bingkai pemahaman ulama. Baru setelah itu diberi kebebasan 
menelaah berbagai persoalan sehingga tidak bebas tanpa koridor.

Yang menggelikan, Harun Nasution yang selama ini dijadikan kiblat bagi ide-ide 
liberal oleh kalangan IAIN, masih mengakui adanya koridor dalam penafsiran. 
Menurutnya, perbedaan yang terjadi di antara ulama itu bukan pada persoalan 
yang absolut, baik al-Qur'an atau hadits. Perbedaan mereka terletak pada cara 
menginterpretasi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memang terbuka untuk 
diinterpretasikan.

Kalangan Formaci juga mengaku berijtihad dengan ide-idenya. Untuk diketahui, 
ijtihad merupakan proses elaborasi terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam 
al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan perangkat bantu yang telah disepakati, 
semisal ilmu fiqh, ushul fiqh, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, 
dll. 
   
  Tidak semua orang berhak melakukan proses ijtihad. Ketatnya proses ijtihad 
inilah yang menjaga kualitas produk hukum yang dihasilkannya dari kemungkinan 
sesat apalagi menyesatkan.

Tak heran jika Rasulullah saw menjamin bahwa mujtahid yang benar mendapat dua 
pahala, sedang yang salah tetap mendapat satu pahala (HR Hakim).

Tentang penerapan Syariat Islam, Formaci tegas menolak. "Bagi orang seperti 
saya, tak setuju. Jika syariat Islam berlaku di IAIN, maka itu akan 
mengeksekusi orang seperti saya. Teman-teman di HMI, PMII, Forkot, nggak setuju 
juga," jelas Iqbal Hasanuddin. Hal ini dapat dipahami, sebab menurut mereka 
segala sesuatu yang datang dari al-Qur'an dan Sunnah harus ditimbang dulu 
sebelum diterima. "Sami'na wa fakkarna, baru wa atha'na," (kami dengar, kami 
pikirkan baru kami taati-red) tutur salah seorang pengurus Formaci pada SABILI.

Persoalannya sekarang, bukan sekadar wacana dan diskusi, tapi pemikiran yang 
sudah diyakini dan sedang bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan bernuansa 
liberal. Model pemikiran liberal yang meniru seniornya, Jaringan Islam Liberal 
yang dipelopori Ulil Abshar Abdalla juga jauh dari metodologi apalagi 
orisinalitas. Sangat sulit untuk bisa survive sebagai pemikiran yang disegani.

Banyak kalangan berharap agar masalah protes terhadap pewajiban jilbab ini 
segera berakhir. "Mudah-mudahan tidak terlalu berkepanjangan," tutur Prof. 
Nasaruddin Umar, Pembantu Rektor III UIN Syarif Hidayatullah.

Sebagian mahasiswi berpendapat lain lagi. Menurut mereka, tindakan Formaci dan 
kawan-kawan hanya sekadar mencari sensasi. "Ngapain kita begitu-begitu segala, 
sudah tahu kita kuliah di IAIN yang Islam," ujar Nisa, mahasiswi semester VI 
jurusan Manajemen Pendidikan Islam.

Para civitas akademika IAIN se-Indonesia diharapkan dapat serius melahirkan 
produk ulama yang merupakan ide awal didirikannya IAIN. Hal ini diungkapkan 
oleh Menteri Agama Prof Said Agil al-Munawwar. "Agama ini basic. Ini kita 
kembangkan dalam rangka globalisasi. Mau tidak mau kita harus bersaing," tutur 
Prof. Said yang juga menjabat Direktur Pasca Sarjana UIN. 
   
  Akhirnya, semua kalangan harus terus mengingatkan lembaga keilmuan Islam ini, 
yang diharapkan melahirkan dai-dai yang dapat menjelaskan Islam di 
tengah-tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan Sunnah. Bukan 
malah membingungkan masyarakat. (Sabili)

M. Nurkholis Ridwan 


       
---------------------------------
Get the name you always wanted with the new y7mail email address.

Kirim email ke