Walaupun ada beberapa fakta yang agak menyimpang tapi saya memandang positif 
terhadap upload tulisan tsb karena selama ini Kristen menuduh bahwa Islamlah 
sebagai sumber sisi gelapnya.
 
Memang menjadi fakta sejarah bahwa beberapa pemimpin khilafah pasca era 
Kulafaur Raasyidin mengalami degradasi moral dan aqidah tetapi semata-mata hal 
itu akibat sifat tamak dan euforia pemimpin2 tsb. Masa2 seperti itu juga pernah 
dialami oleh pihak Kristen yang merupakan sisi gelap Kristen.
 
Tidak semua pemimpin khilafah pasca era kulafaur raasyidin mengalami degradasi 
moral dan aqidah tetapi masih banyak pemimpin khilafah yang masih memegang 
nilai2 Islami sesuai nilai2 yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. sehingga 
Islam memasuki era kegemilangannya kembali sebagai agama rahmatan lil 'alamin.
 
Yang menjadi keberatan Muslim sekarang ini terhadap tuduhan2 keji Kristen bukan 
dalam rangka menutupi sisi gelap tsb melainkan menolak mentah2 tunduhan Kristen 
yang secara membabi buta menuduh bahwa penyebabnya agama Islam itu sendiri. 
Seharusnya Kristen bersikap fair apakah sisi gelap tsb merupakan cerminan dari 
agama Islam atau sikap dasar para pemimpin khilafah yang telah mengalami 
degradasi moral dan aqidah.

--- On Fri, 8/8/08, Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Sunny <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [zamanku] Sisi Gelap Itu Jangan Ditutupi
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Friday, August 8, 2008, 12:51 PM








http://www.gatra. com/artikel. php?id=117175
 
 
Sisi Gelap Itu Jangan Ditutupi

Kekuasaan, dalam bentuk apa pun, hampir selalu dibangun dengan kekerasan, tidak 
terkecuali oleh mereka yang memakai jubah agama yang mengatasnamakan Tuhan. 
Tidak ada satu agama pun yang bisa melepaskan diri dari kelakuan penguasa yang 
amoral, tetapi sering didukung oleh fatwa ulama yang membenarkan sang penguasa 
untuk bertindak kejam.

Adapun era Nabi Muhammad SAW tampaknya sebuah perkecualian. Perang memang 
terjadi, tetapi semata-mata untuk mempertahankan diri, demi tegaknya keadilan, 
keamanan, kebenaran, dan persamaan. Kebijakan Nabi selalu diarahkan untuk 
terwujudnya nilai-nilai mulia sebagai cerminan rahmat Allah untuk seluruh 
manusia, termasuk mereka yang tidak beriman.

Di era Al-khulafaa' al-raasyiduun (632-661), pilar-pilar moral itu sampai 
batas-batas tertentu masih bertahan, khususnya sampai masa 'Umar ibn Khattab 
(634-644). Era berikutnya, keadaan sudah mulai kacau, tetapi belum seburuk era 
sesudah itu, era Umayyah (661-750) dan era 'Abbasiyah (750-1258). Khalifah 
'Usman bin 'Affan dan Khalifah 'Ali bin Abi Thalib sama-sama berkuah darah di 
tangan umat kaum muslimin sendiri yang tidak puas dengan kebijakan yang 
ditempuh.

Oleh sebab itu, saya sudah lama berpendapat agar umat Islam jangan 
"memberhalakan" masa silam, seakan-akan semuanya itu bebas dari cacat. 
Tampaknya sudah menjadi aksioma bahwa setiap kekuasaan sering benar bersahabat 
dengan kekerasan. Agama dalam banyak kasus hanya dipakai untuk menopang sistem 
kekuasaan yang korup sekalipun.

Dalam buku-buku sejarah muslim, kejahatan yang ditonjolkan adalah yang sudah 
sangat keterlaluan. Misalnya, kepala Hussein dipersembahkan kepada Yazid bin 
Mu'awiyah di Damaskus, dan Yazid bukan main senangnya karena saingannya dari 
Bani Hasyim, musuh bebuyutan Bani Umayyah, telah dapat dilumpuhkan. Sedangkan 
Hassan, abang Hussein, sebelumnya malah berdamai dengan Mu'awiyah bin Abi 
Sufyan, pendiri dinasti, saingan ayahnya, 'Ali bin Abi Thalib, dengan imbalan 
tertentu, mungkin demi menjaga keutuhan umat yang sudah sangat sulit 
dipertautkan gara-gara kekuasaan.

Yazid yang juga dipanggil oleh pendukungnya sebagai amir al-mu'miniin (pemimpin 
kaum beriman) dikenal sebagai pemabuk ulung dalam pesta-pora, main perempuan, 
dan sangat kejam. Tidak saja Hussein yang dibinasakan, siapa saja yang tidak 
patuh kepadanya harus dipancung dengan pedang. Adalah penulis Mesir, Faraj 
Fouda (dibunuh di kantornya pada 8 Juni 1992 karena dituduh murtad), dalam 
karyanya, al-Haqiiqa al-Ghaaibah (Kebenaran yang Hilang) --sebentar lagi 
penerbit Paramadina akan mengedarkan terjemahannya- - yang dengan sangat berani 
membongkar sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau itu.

Fouda memusatkan perhatian pada era Al-khulafaa' al-raasyiduun, Umayyah, dan 
'Abbasiyah. Tentu sisi positifnya tidak kurang, seperti semakin meluasnya 
radius pengaruh Islam. Di era 'Abbasiyah, perkembangan ilmu pengetahuan, 
kesenian, filsafat, sufisme, dan teknologi sungguh spektakuler, sehingga dalam 
perspektif ini, dunia Islam adalah dunia yang paling maju ketika itu. Tentang 
segi gemerlapan ini telah banyak ditulis orang, dan sebagian umat Islam malah 
mengidolakannya.

Fouda menengok dari sudut yang buram, berdasarkan sumber-sumber Arab, seperti 
Ibn Atsir, al-Mas'udi, Ibn Katsir, al-Thabari, al-Suyuthi, al-Syaristani, 
al-Dinuri, dan banyak yang lain. Sumber-sumber Barat dikesampingkan, sekalipun 
penulis Barat itu sebenarnya juga mengambil dari sumber-sumber Arab, tentu 
dengan tafsirannya sendiri. Tentang Yazid, di sisi keganasannya, Ibn Katsir 
mengungkapkan penyimpangan kelakuannya dengan mencium mayat kekasihnya yang 
meninggal mendadak karena tercekik. Kita kutip:

"Pada suatu hari, Yazid juga pernah mengutarakan hasratnya untuk tinggal berdua 
saja dengan Habbabah di istananya, untuk selamanya, tanpa ada yang lain 
tersisa. Ia pun mewujudkan impiannya itu. Di istananya yang megah, 
didatangkanlah Habbabah seorang diri. Berbagai kasur nan empuk digelar, 
permadani dibentang. Tatkala mereguk nikmat kebersamaannya dengan Habbabah dan 
dalam suasana romansa dan cinta, ia melemparkan anggur ke mulut Habbabah yang 
sedang tertawa. Kontan, ia tersedak, lalu mati. Selama berhari-hari, Yazid tak 
putus mencium dan memeluk mayat Habbabah. Ketika mayat itu telah membusuk, 
barulah ia memerintahkan penguburannya. Setelah mayat itu dikubur, ia pun 
menginap di sana selama berhari-hari. Sejak itu, ia tidak keluar rumah kecuali 
lembap kelopak matanya" (lihat Fouda, halaman 104-105).

Kecuali 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, khalifah-khalifah yang lain, baik Umayyah 
maupun 'Abbasiyah, hampir semua berkubang dalam kemewahan, kekejaman, dan 
pesta-pora. Saya harap, pengusung bendera khilafah juga mau membaca karya Fouda 
ini sebagai cermin untuk berkaca. Di mata Shah Wali-Allah, kekhilafahan 
pasca-Al-khulafaa' al-raasyiduun hanya berbeda sedikit dari kekaisaran Romawi 
dan kekaisaran Persi kuno.

Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah, pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 31 Juli 2008] 
 














      

Kirim email ke