Puasa hari pertama di Boston

PUASA di Boston tahun ini membawa sebuah kejutan yang tak pernah saya duga dan 
sekaligus sangat mengharukan. 

Beberapa hari sebelum puasa mulai pada Senin lalu 1/9, saya mengirim
undangan buka puasa hari pertama untuk merayakan dimulainya bulan
Ramadan. Undangan itu saya kirim ke teman-teman dekat saya yang tinggal
di apartemen yang sama.

Saya adalah satu-satunya keluarga Indonesia, dan sekaligus satu-satunya
keluarga Muslim di apartemen itu. Selebihnya adalah keluarga Kristen
dengan pelbagai denominasinya. Sebagian besar yang tinggal di sana
adalah keluarga Amerika, tetapi ada juga satu keluarga Korea dan
seorang profesor bujangan asal Zimbabwe. 

Suasana kekeluargaan di gedung apartemen saya itu sangat kuat sekali.
Secara informal, saya kerap "ngobrol" dengan mereka mengenai isu-isu
agama. Karena tahu saya seorang Muslim, mereka tertarik belajar
pelbagai aspek tentang ajaran Islam dari saya. 

Kurt Walker, seorang Amerika kulit putih yang tinggal persis di samping
apartemen saya, tertarik untuk belajar banyak hal mengenai Islam. Dia
adalah mahasiswa teologi dan calon pendeta. Beberapa waktu lalu, dia
diminta untuk memberikan ceramah dalam sebuah pertemuan tahunan para
pendeta di Vermont. Dia diminta untuk berbicara mengenai konsep
keadilan dalam Kristen dan Islam. Selama mempersiapkan ceramah itu, dia
banyak sekali diskusi dan "ngobrol" dengan saya. 

Minat Kurt yang besar pada Islam bermula dari obrolan santai dengan
saya. Semester musim semi tahun ini dia mengambil sebuah mata kuliah
tentang Islam yang diampu oleh Dr. Fareed Essack, seorang sarjana
Muslim yang cukup terkenal dari Afrika Selatan. 

Minat Kurt terhadap Islam bukan dilandasi oleh "motif apologetis",
yakni mempelajari agama lain untuk mencari kelemahan-kelemahan di sana
dan pada gilirannya melakukan "serangan mematikan" atas agama itu
seperti selama ini dilakukan oleh kaum apologetis baik di pihak Kristen
atau Islam. Dia seorang Kristen yang sangat saleh, tetapi dia dengan
sungguh-sungguh ingin belajar mengenai tradisi agama lain dengan
simpati yang jujur. 

Pada Kurt, saya menemukan teman dialog yang sangat menyenangkan. Saya
belajar banyak hal tentang Kristen, terutama mengenai tradisi kaum
Kristen puritan di kawasan negara bagian Massachusetts. Saat ngobrol
dengan Kurt, kadang-kadang teman-teman lain yang tinggal di gedung sama
bergabung. 

Saya kirimkan undangan buka puasa hari pertama itu kepada empat teman satu 
apartemen yang saya anggap paling dekat dengan saya. 

Ienas Tsuroiya, isteri saya, dengan penuh semangat menyiapkan masakan
untuk buka hari itu. Dia menyiapkan nasi uduk, ayam goreng, kerupuk
bawang, sambal terasi, puding, dan sandwich. Makanan yang terakhir ini
terpaksi disiapkan oleh isteri saya sebagai semacam "exit plan" kalau-kalau 
teman-teman bule itu tak menyukai nasi uduk. 

HARI pertama bulan puasa kali ini mengejutkan karena beberapa jam
menjelang "bedug buka" (tentu di Boston tak ada bedug; tetapi bedug
selalu hadir secara "mental" dalam benak saya), Kurt memberi tahu saya
bahwa dia ikut puasa hari itu. Ha?!

Saya sungguh terperanjat, sebab saya tak pernah berharap dia bertindak
hingga "sejauh" itu. Dia bilang, dia ingin menunjukkan solidaritas pada
saya sebagai satu-satunya orang Muslim di gedung apartemen itu. Dia
juga ingin merasakan bagaimana "penderitaan" seorang yang sedang
berpuasa. "I want to know how it feels like to be a Muslim," kata dia.

Ada anekdot kecil yang diceritakan oleh Kurt selama dia puasa pada hari
itu. Dia mengatakan dengan terus terang kepada keluarganya bahwa hari
itu dia ingin menghormati seorang tetangganya yang Muslim (yakni
keluarga saya) dan ikut puasa. Dia juga memberi tahu kedua anak
kembarnya yang masih berumur 6 tahun tentang apa itu puasa dan apa
maknanya bagi seorang Muslim. 

Yang lucu, beberapa kali kedua anaknya itu menggoda dia dengan
memamerkan makanan-makanan kesukaannya selama dia berpuasa hari itu.
Saya tertawa mendengar anekdot itu. 

Tahun ini, bulan puasa jatuh di ujung musim panas, sehingga waktu siang
lebih panjang ketimbang malam. Waktu Imsak masuk pukul 4:37 am dan
Subuh 4:47 am. Sementara itu matahari terbenam pada pukul 7:22 pm.
Dengan demikian, total waktu puasa selama satu hari hampir 16 jam, jauh
lebih panjang dari waktu puasa di Indonesia.

Dua tahun mendatang, sudah pasti bulan puasa akan jatuh persis di
tengah-tengah musim panas, sekitar bulan Juni-Juli. Sebagaimana kita
tahu, waktu siang pada musim panas jauh lebih panjang. Pada puncak
musim panas, waktu Subuh masuk kira-kira pukul 3:30 am, dan Maghrib
nyaris mendekati pukul 8:30 pm. Bisa dibayangkan betapa beratnya
melaksanakan ibadah puasa pada musim panas di negeri-negeri empat musim
seperti Amerika. 

Teman-teman Amerika terheran-heran bagaimana kami bisa menahan makan
dan minum sepanjang itu. Saya bilang pada mereka, dengan latihan sejak
kecil, puasa menjadi sama sekali tak berat. Setelah menjajal sendiri
puasa selama satu hari, Kurt, teman saya itu, menjadi tahu betapa
ritual puasa tak mudah dilaksanakan oleh umat Islam, apalagi di
tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar bukan Muslim seperti
Amerika. 

KEKHAWATIRAN isteri saya bahwa jangan-jangan orang bule tak menyukai
nasi uduk meleset sama sekali. Seluruh masakan yang dihidangkan oleh
Ienas, isteri saya, ludes sama sekali. Saat menyantap nasi uduk, anak
perempuan Kurt berkata, "Dad, the rice is yummy, I like it." Tentu isteri saya 
senang bukan main karena masakannya mendapatkan sambutan positif dari lidah 
orang bule. 

Malam itu, isteri saya menyediakan piring yang khas dan sudah tentu
jarang dilihat oleh orang Amerika. Yaitu piring rotan dengan alas daun
pisang yang dipotong begitu rupa sehingga berbentuk bundar. Sekedar
catatan: daun pisang tidak mudah didapat di kota Boston. Di kampung
dulu, ibu saya tinggal mengambilnya dari kebun di belakang rumah.
Tetapi di Boston, daun pisang adalah benda berharga.

Makan nasi uduk, ayam bakar, sambal terasi dan kerupuk dengan piring
rotan beralaskan daun pisang -- tentu ini pengalaman eksotik bagi orang
"bule". Malam itu kami menyantap makanan sambil duduk melingkar di
sekitar api unggun kecil yang disiapkan oleh isteri Kurt. Karena hari
cerah, saya sengaja mengadakan buka puasa di ruang terbuka di hamalam
rumput yang ada di depan apartemen. 

Seraya menyantap makanan kami berdiskusi tentang apa saja, termasuk
tentang "filosofi puasa" sebagaimana dipahami oleh umat Islam. Sekitar
pukul 10 malam, kami bubaran dan masuk ke apartemen masing-masing. 

Saya menonton pertandingan tennis Piala US Open sebentar, lalu membaca "The 
Prophet and the Messiah: An Arab Christian's Perpsective on Islam and 
Christianity" karangan Chawkat Moucarry. Tak berapa lama, saya jatuh tertidur 
karena kelelahan. 

Saya bangun kembali beberapa jam menjelang waktu sahur untuk
melaksanakan salat tarawih. Saya memang orang NU, tetapi selama ini
saya selalu salat tarawih versi Muhammadiyah, yaitu sebelas raka'at,
bukan dua puluh tiga.

Hari itu sangat mengesankan buat saya, terutama karena simpati teman
saya yang beragama Kristen itu. Pelajaran yang saya petik dari sana: membangun
jalan dialog dengan agama lain sangat mungkin asal kita mau membuka
diri dan tidak mengembangkan mentalitas "serba curiga" pada agama lain. 

Ulil Abshar Abdalla

Kirim email ke